Contoh Studi Kasus PPG 2025 500 Kata: Masalah Sistem Penilaian Kelas 6 SD
Awaliyah P August 18, 2025 03:30 AM

Contoh Studi Kasus PPG 2025 500 Kata: Masalah Sistem Penilaian Kelas 6 SD

TRIBUNJATENG.COM - Berikut ini conton studi kasus PPG 2025 cocok dijadikan inspirasi dalam menghadapi UMKPPG.

Penilaian bukan sekadar angka di rapor.

Dalam konteks pembelajaran Kurikulum Merdeka, penilaian harus mencerminkan perkembangan kompetensi siswa secara utuh.

Inilah yang menjadi perhatian peserta PPG 2025 saat menyusun studi kasus untuk Uji Kompetensi Mahasiswa PPG (UKMPPG), khususnya pada konteks penilaian.

Formatnya, esai tersebut harus menjawab empat pertanyaan utama:

1. Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?

2. Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?

3. Apa hasil dari upaya Anda tersebut?

4. Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik?

Berikut ini contoh studi kasus dari seorang guru SD yang berusaha memperbaiki sistem penilaiannya agar lebih adil dan menyeluruh.

 
Judul: Menyusun Penilaian Autentik untuk Mengukur Kompetensi Siswa Secara Menyeluruh

Permasalahan:

Saya mengajar kelas VI di SD Negeri Ceria. Saat pelaksanaan penilaian akhir tema "Globalisasi".

Saya menggunakan soal pilihan ganda dan uraian untuk mengukur pengetahuan siswa.

Hasilnya, banyak siswa mendapat nilai rendah, termasuk mereka yang sebenarnya aktif saat diskusi dan rajin menyelesaikan tugas proyek.

Beberapa siswa mengatakan mereka gugup saat ujian tertulis.

Saya menyadari bahwa selama ini saya terlalu berfokus pada penilaian kognitif, dan belum mengukur secara menyeluruh kompetensi sikap dan keterampilan siswa.

Akibatnya, penilaian yang saya berikan kurang mencerminkan kemampuan mereka secara utuh.

Saya merasa penilaian seperti ini tidak adil bagi siswa yang punya potensi kuat di aspek lain selain mengerjakan tes tertulis.

Upaya untuk Menyelesaikan Masalah:

Saya mulai dengan mempelajari kembali prinsip penilaian autentik dalam Kurikulum Merdeka.

Saya menyadari bahwa untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang kompetensi siswa, saya perlu menggabungkan berbagai teknik penilaian.

Maka, saya menyusun kembali rencana penilaian dengan tiga pendekatan:

Penilaian Pengetahuan:

Saya tetap menggunakan soal pilihan ganda dan uraian, tetapi saya sederhanakan bahasa dan sesuaikan dengan konteks nyata.

Penilaian Keterampilan:

Saya memberikan tugas proyek di mana siswa diminta membuat poster dampak globalisasi di lingkungan mereka, lalu mempresentasikannya di depan kelas.

Penilaian Sikap:

Saya menggunakan lembar observasi selama proses diskusi dan kerja kelompok.

Di situ saya mencatat sikap kerja sama, rasa tanggung jawab, dan keaktifan siswa.

Saya juga melibatkan siswa dalam refleksi diri melalui jurnal sederhana.

Mereka menuliskan apa yang sudah mereka pelajari dan bagaimana mereka merasa selama pembelajaran.

Hasil dari Upaya:

Setelah menerapkan penilaian yang lebih bervariasi dan autentik, saya melihat perbedaan yang nyata.

Siswa yang awalnya mendapat nilai rendah dari tes tulis bisa menunjukkan pemahaman melalui proyek dan presentasi.

Mereka menjadi lebih percaya diri karena diberi ruang untuk mengekspresikan pemahaman mereka dengan cara yang berbeda.

Rata-rata hasil belajar siswa meningkat, dan saya mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kekuatan dan kebutuhan masing-masing siswa.

Orang tua pun lebih memahami capaian anak karena saya lampirkan rubrik penilaian yang jelas dalam laporan perkembangan.

Pengalaman Berharga:

Saya belajar bahwa penilaian yang adil bukan berarti memberi nilai yang sama, tetapi memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan.

Menggunakan berbagai bentuk penilaian membuat pembelajaran menjadi lebih manusiawi dan bermakna.

Siswa tidak lagi takut ujian, karena mereka tahu ada banyak cara untuk menunjukkan apa yang mereka tahu dan bisa lakukan.

Sebagai guru, saya kini lebih yakin bahwa penilaian adalah bagian penting dari pembelajaran bukan hanya untuk mengukur, tetapi juga untuk memotivasi dan memahami siswa secara utuh. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.