Grid.ID – Pernikahan samara adalah perjalanan panjang yang membutuhkan ilmu, kesabaran, dan seni dalam menjalaninya. Bukan sekadar janji suci di pelaminan, tetapi sebuah komitmen untuk menjaga keharmonisan hidup bersama.
Hal ini menjadi sorotan dalam acara Sekolah Keluarga Samara (SAMARA) yang diinisiasi Forum Dakwah Perbatasan dan diisi oleh narasumber Penghulu Ahli Muda KUA Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar, Muhammad Nasril, Lc, MA, bersama pendakwah nasional Ustadz Adi Hidayat. Keduanya membagikan kiat-kiat membangun pernikahan samara (sakinah, mawaddah, rahmah) yang dapat menjadi bekal penting bagi pasangan suami istri maupun calon pengantin.
Apa saja? Berikut kiat-kiat membangun pernikahan samara(sakinah, mawaddah, rahmah) yang patut diketahui.
1. Muamalah yang Baik
Dikutip dari Serambinews.com, Selasa (19/8/2025), Muhammad Nasril menekankan bahwa salah satu kunci utama pernikahan samara adalah muamalah yang baik antara suami dan istri. Menurutnya, sikap saling menghargai dan memperlakukan pasangan dengan kelembutan akan menjaga komunikasi, membangun kepercayaan, serta membantu menyelesaikan persoalan rumah tangga dengan lebih bijak.
Ia menegaskan, pernikahan bukan sekadar mencari siapa yang benar dan salah, melainkan tentang menyatukan perbedaan dengan kasih sayang. Suami dan istri ibarat pakaian, yang saling melengkapi dan melekat erat, sehingga harus dijaga dengan penuh cinta dan kelembutan.
2. Jadikan Al Qur'an Sebagai Pedoman, Bukan Media Sosial
Ustadz Adi Hidayat mengutip firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, bahwa manusia diciptakan berpasangan dari laki-laki dan perempuan agar saling mengenal. Pernikahan adalah bentuk nyata dari ayat ini, di mana dua insan berbeda dipersatukan untuk membangun kehidupan yang harmonis.
Dengan kesadaran spiritual, pernikahan samara bukan hanya ikatan duniawi, tetapi juga jalan mendekatkan diri kepada Allah. Cinta yang hadir dalam rumah tangga bukan sekadar romantisme, melainkan ibadah yang membawa keberkahan. Oleh karena itu, jadikan firman Allah sebagai pedoman.
Sayangnya, banyak pasangan kini terjebak pada patokan atau pedoman yang mereka lihat dari kehidupan orang lain di media sosial.Hal ini sering kali menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap pernikahan, mengabaikan bahwa setiap rumah tangga memiliki perjalanan dan tantangannya sendiri yang unik.
Nasril mengingatkan, pernikahan samara tidak selalu dipenuhi momen manis, karena pada dasarnya kehidupan rumah tangga juga dipenuhi tantangan yang harus dihadapi bersama. Ada kalanya suami istri harus menghadapi kesulitan, konflik, bahkan ujian yang menguras emosi. Oleh sebab itu, calon pengantin perlu memiliki bekal ilmu agar siap menghadapi realitas.
Pernikahan bisa menjadi sangat indah, tetapi juga sebaliknya, tergantung pada bagaimana pasangan menjalaninya. Dengan ilmu, kesabaran, dan sikap syukur, rumah tangga bisa bertahan di segala situasi.
3. Punya Bekal Ilmu Pernikahan
Nasril menilai, membekali diri dengan ilmu pernikahan adalah langkah penting sebelum membina rumah tangga. Menurutnya, pasangan harus memahami hak dan kewajiban masing-masing agar tercipta keseimbangan.
Ia menganalogikan pernikahan sebagai membangun rumah baru, dengan pondasi agama dan takwa, dinding berupa keterbukaan dan saling memahami, serta atap berupa cinta dan kasih sayang. Dengan konsep ini, pernikahan samara bisa diwujudkan melalui kepercayaan, komunikasi terbuka, serta penguatan spiritual.
4. Tidak Ada Kompetisi dalam Rumah Tangga
Salah satu hal yang sering menimbulkan masalah adalah ego dan keinginan untuk menang sendiri. Nasril menegaskan, pernikahan bukanlah arena kompetisi. Suami dan istri memiliki kedudukan yang sama di mata Allah, meski dengan peran dan tanggung jawab yang berbeda.
Dengan mengedepankan musyawarah, sikap memaafkan, serta menghindari perdebatan yang berlarut, pasangan bisa membangun rumah tangga harmonis. Prinsip fiqh addhararu yuzal (yaitu segala hal yang dapat merusak rumah tangga harus dihilangkan), menjadi pedoman penting dalam menjaga keutuhan keluarga.
5. Agama dan Doa Jadi Fondasi
Dalam menghadapi masalah rumah tangga, Nasril menekankan pentingnya kembali kepada Allah. Jika masalah terasa sulit diselesaikan dengan kata-kata, maka jalan keluarnya adalah memperbanyak doa, shalat tahajud, dan memohon pertolongan-Nya.
Hal ini sejalan dengan visi pernikahan samara yang menempatkan agama sebagai fondasi utama. Dengan begitu, rumah tangga tidak hanya berlandaskan cinta duniawi, tetapi juga bernilai ibadah.
6. Saling Melengkapi
Dikutip dari Banjarmasin Post, Ustadz Adi Hidayat turut menambahkan bahwa dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri harus saling melengkapi. Kekurangan satu pihak hendaknya ditutupi oleh kelebihan pihak lain.
Ia menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berpasangan agar saling menyempurnakan, bukan untuk menyeragamkan peran. Suami bekerja, istri mendoakan. Istri mengurus rumah, suami mempercayai.
Membangun pernikahan samara tidak bisa dilakukan dengan modal cinta semata. Dibutuhkan ilmu, komitmen, komunikasi, saling melengkapi, serta kekuatan doa dan agama.
Pesan Muhammad Nasril dan Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa keharmonisan rumah tangga hanya akan tercapai bila suami dan istri mampu menjadikan pernikahan sebagai ladang ibadah, bukan sekadar status sosial. Dengan pondasi yang kokoh, pernikahan akan menjadi tempat tumbuhnya ketenangan, kasih sayang, dan cinta sejati.