Pajak, Buzzer, dan Gaji Guru Mengembalikan Kepercayaan Publik
Edi Nugroho August 20, 2025 08:33 AM

Oleh: Syaifullah, M.Pd
Dosen FKIP ULM

INDONESIA merayakan Hari Kemerdekaan. Seharusnya ini menjadi saat yang penuh suka cita: bendera merah putih berkibar di setiap sudut jalan, gapura dihiasi indah, dan anak-anak riang berlatih lomba tujuh belasan. Namun, suasana batin masyarakat hari-hari ini justru dipenuhi rasa cemas dan gusar.

Setiap kebijakan baru yang keluar dari pemerintah, bukannya memantik harapan, malah menambah beban pikiran. Salah satu contoh paling nyata datang dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Baru beberapa bulan menjabat, Bupati Sudewo memutuskan menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Kenaikan ini terasa memberatkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih. Harapan warga agar pemimpinnya mau mendengar keluh kesah justru pupus ketika sang bupati merespons dengan sikap yang dianggap angkuh. Gelombang protes pun meledak, menuntutnya mundur dari jabatan.

Kisah di Pati ini hanyalah potret kecil dari kegelisahan yang dirasakan di banyak daerah. Dari pusat pemerintahan, kebijakan fiskal pun kerap membuat rakyat mengernyit. Akhir tahun lalu, pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Rencana itu memang akhirnya ditunda, tetapi bayang-bayang kenaikan tetap membebani. Terbaru, pajak penghasilan (PPh) diberlakukan untuk emas perhiasan dan batangan. 

Sesungguhnya, pajak adalah instrumen penting dan mulia. Ia menjadi sumber pendanaan untuk membangun infrastruktur, menyediakan layanan kesehatan, dan membuka akses pendidikan yang merata. Namun, rakyat hanya dapat menerimanya dengan lapang dada jika kebijakan tersebut diterapkan pada waktu yang tepat, dengan transparansi, dan disertai peningkatan nyata dalam kesejahteraan.

Sulit meminta masyarakat bersabar ketika harga kebutuhan pokok terus melambung, lapangan pekerjaan makin sulit, dan pelayanan publik belum menunjukkan perbaikan berarti. Dalam keadaan demikian, kebijakan menaikkan pajak kerap terasa seperti memeras jeruk yang sudah kering airnya.

Lebih memprihatinkan lagi, di tengah kesulitan ini, perhatian elite politik justru banyak tersedot pada pengelolaan narasi di ruang publik, bukan pada pencarian solusi konkret. Fenomena buzzer kelompok atau individu di media sosial yang aktif membentuk opini publik untuk kepentingan politik tertentu kian mencuat. Baru-baru ini, Megawati Soekarnoputri mengungkapkan bahwa dirinya telah meminta Presiden Prabowo menertibkan keberadaan buzzer. Ia menilai kelompok ini hanya memecah belah masyarakat dan merusak kualitas demokrasi.

Selama satu dekade terakhir, buzzer telah menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa untuk mempengaruhi persepsi publik, bahkan membungkam perbedaan pendapat. Ruang demokrasi yang seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan sehat, berubah menjadi arena adu sentimen yang kerap memanas dan dangkal. Serangan personal, pelabelan negatif, dan polarisasi menggantikan argumentasi berbasis data dan logika.

Pemerintahan Presiden Prabowo tampaknya mencoba mengambil jarak dari praktik ini. Langkah pemberian amnesti dan abolisi kepada tokoh-tokoh yang pernah berseberangan dengan pemerintahan sebelumnya menjadi sinyal bahwa perbedaan pandangan tidak harus dihadapi dengan kriminalisasi. Namun, bayang-bayang pengaruh rezim lama, termasuk dinasti politik yang terbentuk, belum benar-benar hilang.

Selama mesin buzzer masih beroperasi dengan dukungan dana dan legitimasi politik, sulit membayangkan demokrasi kita akan benar-benar pulih. Demokrasi memerlukan ruang perdebatan yang bebas dari tekanan dan manipulasi, tempat ide diuji dengan argumentasi, bukan dihancurkan oleh propaganda berbayar.

Di tengah hiruk pikuk itu, muncul pula kontroversi dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia menyebut gaji guru dan dosen sebagai salah satu tantangan pengelolaan keuangan negara. Bagi banyak tenaga pendidik, ucapan ini terdengar menyakitkan, seakan menempatkan mereka sebagai beban anggaran, bukan sebagai pilar penopang pembangunan manusia.

Pernyataan ini memicu gelombang reaksi, baik di media sosial maupun forum-forum diskusi pendidikan. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriawan Salim, menilai Sri Mulyani tidak memahami semangat konstitusi yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar warga negara. Ia mengingatkan, guru dan dosen bukan sekadar profesi, melainkan ujung tombak pembentukan karakter dan kecerdasan bangsa.

Sri Mulyani memang telah mengklarifikasi bahwa ia tidak bermaksud merendahkan profesi tersebut, melainkan menekankan kompleksitas persoalan pembiayaan negara. Namun, klarifikasi itu tidak sepenuhnya menghapus kesan negatif yang telanjur melekat. Di tengah rendahnya kesejahteraan tenaga pendidik, komentar seperti itu menjadi luka yang mudah sekali membesar.

Apalagi, publik kerap melihat ironi anggaran negara bisa digelontorkan untuk proyek-proyek besar yang manfaatnya belum tentu dirasakan langsung oleh rakyat, sementara masalah gaji guru dan dosen terus menjadi perdebatan klasik tanpa solusi konkret.

Ketiga persoalan ini pajak yang memberatkan, buzzer yang merusak kualitas demokrasi, dan rendahnya penghargaan terhadap tenaga pendidik sesungguhnya berkelindan dalam satu benang merah krisis kepercayaan publik terhadap negara dan para pemimpinnya.

Rakyat membayar pajak, tetapi merasa pelayanan publik tidak sepadan. Rakyat mendambakan demokrasi yang sehat, tetapi justru dijejali propaganda yang memecah belah. Rakyat menjunjung tinggi pendidikan, tetapi pendidik masih bergulat dengan kesejahteraan yang jauh dari layak.

Momentum peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi waktu untuk menata ulang arah kebijakan. Pemerintah perlu mengembalikan kepercayaan publik melalui langkah-langkah nyata: menerapkan kebijakan pajak yang adil dan proporsional, menghentikan praktik buzzer yang merusak, serta meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen sebagai investasi utama masa depan bangsa.

Tugas ini bukan sekadar teknis, tetapi moral. Sebab, kemerdekaan bukan hanya soal terbebas dari penjajahan fisik, melainkan juga dari kebijakan yang menekan rakyat, budaya politik yang mematikan akal sehat, dan tata kelola negara yang meminggirkan martabat warga.

Jika kebijakan fiskal berpihak pada rakyat, demokrasi dibersihkan dari polusi buzzer, dan pendidikan dihargai sebagai investasi strategis, maka kepercayaan publik akan kembali tumbuh. Tanpa itu, perayaan 17 Agustus hanya menjadi seremoni tahunan, sementara kemerdekaan yang sejati tetap menjadi janji yang belum terpenuhi.

Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang sekadar mampu bertahan, tetapi yang sanggup memperbaiki diri ketika menyadari kesalahannya. Saat ini, pemerintah memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa negara hadir bukan untuk memeras, memecah, atau merendahkan, melainkan untuk melayani, menyatukan, dan mengangkat derajat seluruh rakyatnya. Itulah makna kemerdekaan yang seharusnya kita rayakan: kemerdekaan yang hidup dalam kebijakan, tercermin dalam sikap para pemimpin, dan dirasakan nyata oleh rakyat di setiap lapisan. (*).

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.