Mengenang Para Mahaguru Penerbang Tempur era Perang Dunia I yang Dilahirkan Jerman
Moh. Habib Asyhad August 27, 2025 02:34 PM

Jerman memang babak belum dalam Perang Dunia I -- juga PD II -- tapi sumbangsih mereka terhadap pertempuran udara tak bisa diabaikan.

Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi Januari 2001 dengan judul "Mahaguru Penerbang Tempur".

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.comPerang Dunia I sudah lama berakhir. Namun, banyak peristiwa sepanjang tahun 1914-1918 itu melegenda hingga kini. PD I menjadi momentum awal lahirnya perang dunia dimensi udara. Ribuan manusia tewas, dan sekian banyak pemimpin hebat lahir.

Sangat ironis bahwa pesawat hasil rekayasa Wright bersaudara 10 tahun sebelumnya justru pertama kali, diproduksi besar-besaran untuk keperluan perang. Orville dan Wilbur Wright tidak menyangka harus menyaksikan Jerman dan Prancis berperang dengan barang ciptaannya.

Berkisah tentang pertempuran udara, 5 Oktober 1914 merupakan hari yang fenomenal. Berawal saat pesawat Voisin 3 Prancis, yang diterbangkan oleh Sersan Joseph Frantz dan Louis Quinault sedang berpatroli dekat perbatasan Jerman. Mereka melihat pesawat Jerman berleha-leha di wilayah udara perbatasan kedua negara.

Voisin pun mendekat dan mengambil posisi untuk menembak. Tak bisa dipastikan, apakah penerbang Jerman melihat kedatangan pesawat Prancis itu.

Mengemudi satu tangan

Sampai saat itu, belum ada pesawat yang baku tembak di udara. Pesawat hanya sebagai alat pengintai, bukan senjata mematikan. Kalaupun ada pesawat-pesawat dari dua pihak yang bermusuhan bertemu, mereka hanya saling menghindar dan pulang ke pangkalan. Sehingga saat senapan Quinault memuntahkan amunisi dan menewaskan penerbang Jerman, dunia penerbangan mengukir sejarah baru. Pertempuran udara dimulai, dan penerbang Jerman menjadi korban pertamanya.

Sejak itu, negara-negara Eropa yang terlibat dalam PD I (Inggris, Prancis, Jerman) segera mempersenjatai pesawatnya. Metode tempur udara mulai dipelajari.

Awalnya diterapkan taktik bertempur jarak dekat satu lawan satu. Posisi pesawat lebih tinggi diyakini akan memiliki beberapa keuntungan. Selain jarak pandang ke bawah yang luas, juga serangan dengan daya kejut dan kecepatan tinggi mudah dilaksanakan dari atas, dari pesawat.

Tahun 1915 mulai dikenal pesawat tempur kursi tunggal. Jadi, penerbang harus bisa terbang sambil menembak. Ini cukup sulit dilakukan karena belum ada sistem Hands On Throttle And Stick (HOTAS), di mana semua tombol penembak berada di tongkat kemudi. Sehingga penerbang harus "mengemudi" dengan satu tangan, sementara tangan lain memegang senapan. Namun, pertempuran demi pertempuran membuat penerbang mahir menggunakan senjata tradisional itu.

Dalam tahun yang-sama, para penerbang mulai mengenal istilah ace (kartu as), yang berarti penerbang mampu menjatuhkan lima pesawat musuh. Penerbang Jerman menyebutnya kanone, alias mesin pembunuh. Istilah ace lahir di Prancis, saat Roland Garros menjatuhkan lima pesawat musuh awal April 1915. Penerbang yang bisa menjatuhkan korban lebih banyak lagi dijuluki ace of aces.

Di antara deretan penerbang tempur legendaris, nama Oswald Boelcke, Max Immelmann, dan Manfred von Richthofen, pasti diingat oleh para penerbang tempur muda. Merekalah induk semang penerbang tempur di seluruh dunia. Mereka rela gugur muda, gugur dalam masa bujangan, untuk mengharumkan korps berlambang "burung rajawali" itu.

Sepasang elang Jerman

"Untuk mengenang Kapten Boelcke, musuh kami yang berani dari ksatria." Korps Angkatan Udara Inggris

Selain penerbang andal, Letnan Oswald Boelcke memang perwira jenius. Sada PD I mulai berkobar tahun 1914, dia berusia 23 tahun-dan telah menggenggam sertifikat penerbang tempur. Di seksi 13, Boelcke bertugas dengan saudara kandungnya, Wilhelm, yang selalu terbang bersamanya sebagai juru tembak. Saat itu pesawat tempur terdiri atas dua kursi. Kursi depan untuk penerbang, dan kursi belakang untuk juru tembak.

Keberhasilan Roland Garros menembak jatuh lima pesawat musuh, membuat Jerman pusing tujuh keliling. Untungnya Jerman kedatangan pria jenius berkebangsaan Belanda, Anthony Fokker, yang di negara sendiri tidak diindahkan. Menyusul tertangkapnya Garros dan pesawatnya pada akhir April 1915, pria kelahiran Kediri, 1890, ini cuma butuh waktu tiga hari untuk menjiplak senjata sekelas pesawat Prancis dan Inggris. Sejak itu, era senjata udara otomatis dimulai. Dia juga menciptakan pesawat baru untuk Jerman.

Boelcke yang pindah di seksi 62, Douai, mendapat kesempatan mencoba pesawat dan senjata baru hasil rancangan Fokker. Pesawat baru Fokker masih berkursi ganda, namun memiliki kecepatan lebih tinggi dan kemampuan senjata lebih baik. Tanggal 6 Juli 1915, Boelcke bersama juru tembaknya, Letnan Von Wuhlisch, merontokkan pesawat Parasol Prancis. Peristiwa ini menandai berakhirnya era pesawat tempur kursi ganda.

Di seksi 62, Boelcke mendapat teman seusia yang hebat, Max Immelmann. Dengan pesawat Fokker IV berkursi tunggal, Boelcke dan Immelmann menjadi senjata mematikan andalan Jerman. Hingga Januari 1916, mereka masing-masing berhasil menjatuhkan delapan pesawat musuh. Pemerintah Jerman menganugerahkan perhargaan tertinggi Pour le Merite kepadanya. Mereka pun dijuluki "Sepasang Elang Jerman”, karena sering bertempur bersama-sama.

Begitu pula Immelman mencetak sejarah di usia belia. Dengan Fokker IV berkecepatan tinggi, dia menjadi penerbang pertama di dunia yang melakukan manuver vertikal. Gerakan itu dikenal sebagai Immelmann turn (belokan Immelman). Penerbang tempur dunia pasti mengenal belokan Immelman. Gerakan ini wajib mereka lakukan saat menjalani pendidikan di sekolah penerbang.

Saat berusia 25 tahun dan dipromosikan menjadi Kapten, mereka berdua terpaksa berpisah. Boelcke pindah ke Sivry untuk menghadapi Prancis, Immelmann tetap di Douai, menghadapi Inggris. Petualangan Immelmann berakhir setelah mengemas 15 pesawat korban. Boelcke pun terbang ke Douai untuk menghadiri pemakaman sahabat tercintanya.

Mendengar kabar Immelmann tewas, Kaisar Jerman memerintahkan Boelcke mundur ke garis belakang. Dengan 18 pesawat korban, Boelcke menjadi pahlawan dan sekaligus kebanggaan bangsa Jerman. Kaisar menyurati Boelcke agar kembali ke Berlin dan masuk staf markas tertinggi, Angkatan Perang Jerman. Pada penghujung suratnya, Kaisar mengatakan bahwa jumlah 18 sudah cukup buat prajurit besar seperti dia.

Pahlawan tidak mengenal berhenti berjuang. Dalam perjalanan pulang dari Douai, Boelcke yang sedang berduka nekat bertempur lagi, bahkan tanpa izin satuannya di Sivry. Dia menyerang pesawat musuh di sekitar jalur kepulangannya. Beberapa pesawat Prancis jatuh. Saat dikonfirmasi, Boelcke melapor, pesawat itu jatuh karena artileri AD Jerman. Sekian hari berlalu, masalah ini terungkap juga. Boelcke memang menolak ditarik ke Berlin, namun dia terkena sanksi larangan terbang karena kenekatannya. Akhirnya dia tetap ditarik ke Berlin.

Namun saat jerman mulai terdesak beberapa bulan kemudian, Boelcke diperbolehkan bertempur kembali. Kali ini di pangkalan udara Somme. Selain bertempur, dia juga mulai mengajar para penerbang baru dan menjadi komandan skuadron. Di pangkalan ini Boelcke mendapat murid terbaik, anak muda yang benar-benar born pilot, terlahir untuk menjadi penerbang jago. Manfred von Richthofen, yang kelak dijuluki Red Baron, ace of aces sepanjang sejarah Perang Dunia I. Penerbang. terhebat dengan 80 pesawat korban.

Sampai September 1916, Boelcke mengantongi 26 pesawat korban. Tanggal 17 September, dia merancang teamwork pertempuran udara, suatu keputusan bersejarah. Pesawat tidak boleh terbang sendiri. Minimal dua pesawat atau lebih. Dia sebagai orang pertama yang mampu menggambarkan detail pertempuran yang dilakukannya dan mengembangkan pertempuran menjadi lebih dari dua pesawat. Dia juga berhasil merumuskan prinsip dasar pertempuran udara, dan kelak dinobatkan menjadi Bapak Pertempuran Udara Dunia.

Oktober 1916, Boelcke menjadi “juara” ace of aces, dengan 40 pesawat korban. Dua puluh korban ditembaknya dalam dua bulan terakhir.

Bulan-bulan terakhir, pertempuran makin seru hingga penerbang harus berjaga siang dan malam. Pada 27 Oktober 1916 malam, Boelcke tidur terlambat. Esoknya, dia harus terbang empat kali namun tak ada kontak senjata. Sorenya, Boelcke meluncur ke garis depan diikuti empat penerbang lain, termasuk Richthofen muda dan Bohme. Di atas langit kelabu, mereka menemukan dua pesawat Prancis, dan menghajarnya. Tidak adanya sistem radio antar-pesawat menyulitkan penerbang untuk melaksanakan taktik pertempuran.

Saat bermanuver, sayap dan mesin pesawat Boelcke bersenggolan dengan badan pesawat Bohme. Pesawat Boelcke tak terkendali. Pandangan nanar Richthofen terus mengikuti pesawat sang guru yang menerobos awan, sayapnya terlempar dan menghujam ke tanah. Boelcke tewas seketika. Pesawat Prancis kabur. Keesokan harinya, Angkatan Udara Inggris mengirim pesan duka cita, "Untuk mengenang Kapten Boelcke, musuh kami yang berani dan ksatria."

Red Baron, petualang pertempuran

Manfred von Richthofen, lahir pada 2 Mei 1892 di Breslau, . sebagai bangsawan Prusia. Tak heran bila dia pintar menembak dan berburu sejak kecil. Di usia 17 tahun, dia masuk kadet di Akademi Militer Lichterfelde dan lulus menjadi perwira kavaleri. Saat PD I dimulai, Richthofen pindah ke korps penerbangan. Juga sebagai awal kariernya sebagai penerbang tempur kelas satu.

Di tempat baru, Richthofen bertugas sebagai juru tembak yang duduk di kursi belakang pesawat. Karena keuletannya, Richthofen bisa masuk ke sekolah penerbang, dan tanpa sengaja bertemu Oswald Boelcke. Boelcke mengajak Richthofen bergabung di pangkalan udara Somme, dan mendidiknya menjadi penerbang tempur penuh.

Pada 17 September 1916, untuk pertama kalinya Richthofen terbang bersama Boelcke dalam satu formasi tempur. Mereka mampu menembak lima pesawat musuh. Sampai gugurnya Boelcke pada bulan berikutnya, Richthofen mengemas tujuh pesawat korban. Jerman kehilangan "sepasang elang” kesayangannya.

Kini Richthofen menjadi tumpuan harapan. Saat mengantar Boelcke ke liang lahat di Cambrai pada 31 September, Richthofen membawa bintang kehormatan sang guru di atas bantal hitam. Sifat ambisius, petualang yang dibalut dalam duka cita bergejolak hebat sejak itu. Bahkan dia mengirim pesan ke ibunya, ingin mendapat kehormatan tertinggi sebagai pahlawan Jerman.

Sampai tanggal 4 Januari 1917, Richthofen mengemas 16 pesawat korban. Dia menjadi penerbang tempur ace nomor satu Jerman yang kasih hidup. Kaisar Jerman Wilhelm II menganugerahkan Pour le Merite dan Kaisar Austria mengganjarnya dengan Austrian War Cross.

Setelah diangkat menjadi komandan skuadron, Richthofen memerintahkan pesawatnya dicat serba merah. Keberanian luar biasa. Umumnya warna cat kamuflase agar tak terlihat, Red Baron justru menggunakan warna merah yang mudah terlihat dari kejauhan. Era kegemilangan Manfred von Richthofen "Red Baron" pun dimulai. Dia menjadi monster paling menakutkan setelah era Immelman dan Boelcke, berdarah dingin dan bertempur seperti singa liar.

Sampai 20 April 1918, Red Baron mengemas 80 pesawat korban. Adiknya, Lothar Richthofen, mengemas 40 pesawat korban. Total kemenangan skuadron pimpinan Red Baron, 250 pesawat korban. Jumlah luar biasa.

Esok harinya, 21 April 1918, grup band perwira Jerman merayakan kemenangan ke-80 Red Baron. Pukul 11.30 pagi, Red Baron memimpin lima pesawat berpatroli di perbatasan Inggris. Inilah penerbangan terakhir sang jagoan. Red Baron terlibat pertempuran udara, melibatkan puluhan pesawat. Bertempur pada ketinggian rendah, pesawat Red Baron terkena serangan artileri. Sebuah peluru sempat mampir di dadanya. Red Baron yang dihormati oleh lawannya mendapat penghargaan sebagai tokoh besar.

Para prajurit Inggris membawa jenazah Red Baron ke pangkalan Bertangles dan mengebumikannya dengan upacara kebesaran militer. AU Inggris mengirimkan pesan duka cita ke markas AU Jerman. Pada 19 November 1925, jasad Red Baron dikirim ke Jerman dengan kereta. Beribu orang datang saat jenazahnya disemayamkan selama dua hari di gereja Berlin. Saat pemakamannya, Presiden Jerman Von Hindenburg, berbaris di belakang ibunda Red Baron yang menjanda, didampingi putranya yang masih hidup, Bolke Richthofen.

Jerman memang gagal dalam Perang Dunia I, namun tak diingkari negara ini telah memberikan sumbangsih besar terhadap kemajuan teknologi dan taktik pertempuran udara. Penghargaannya yang besar terhadap setiap temuan baru membuatnya menjadi super power kala itu. Hanya karena kepongahannya, bangsa itu terpuruk dalam dua perang. (Budhi "Phantom" Achmadi, jurnalis masalah Hankam & Penerbang Tempur F-5 Tiger II)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.