Anthony Fokker, Pembuat Pesawat Tempur Andalan Perang Dunia I Itu Ternyata Kelahiran Jawa Timur
Moh. Habib Asyhad August 27, 2025 03:34 PM

Anthony Fokker, yang menciptakan pesawat tempur andalan selama Perang Dunia I ternyata kelahiran Blitar, ketika itu masih Hindia Belanda.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Mereka yang punya perhatian khusus terhadap dunia kedirgantaraan, dunia pesawat, terutama pesawat tempur, rasanya akan sangat familiar dengan nama satu ini. Dialah Anthony Fokker.

Yang barangkali tidak banyak orang, pembuat pesawat tempur andalan Perang Dunia I itu ternyata kelahiran Jawa Timur, persisnya kelahiran Blitar, 6 April 1890. Baiklah, saat itu memang belum ada Indonesia, adanya masih Hindia-Belanda.

Yang juga barangkali tidak banyak orang tahu, meski dia kelahiran Hindia Belanda dan statusnya warga Belanda, tapi Jerman-lah negara yang memanfaatkan bakat besarnya.

Fokker lahir di Hindia Belanda, tepatnya di Blitar pada 6 April 1890, putra dari Herman Fokker yang seorang pengusaha perkebunan kopi. Fokker di Hindia Belanda cuma sampai usia empat tahun, karena keluarganya memutuskan pindah ke Belanda. Dia menetap di kawasan Haarlem.

Ketika sekolah, baik saat sekolah dasar hingga sekolah menengah, Fokker sering membuat pusing guru-gurunya. Orangtuanya juga. Pasalnya, kegemarannya adalah menggambar mesin, khususnya mesin kereta api dan mesin pesawat.

Ketertarikan Fokker terhadap pesawat terbang makin menggila ketika menyaksikan demo-flight yang dilaksanakan perancang pesawat pertama di dunia, Wilbur Wright, pada 1908 di Le Mans, Perancis. Kegemaran membuat rancangan mesin itu membuat Fokker tak bisa fokus terhadap mata pelajaran lainnya sehingga mengakibatkan dirinya drop out dari sekolah menengah.

Ternyata ayahnya sadar dengan kecenderungan sang anak. Dia pun mengirim Fokker ke sekolah teknik mesin mobil di Bingen Technical School, Jerman. Karena ketertarikan utama Fokker tetap pada mesin pesawat terbang, dia kemudian dipindah ke Erste Deutsche Automobil Fachshule yang berada di kawasan Mainz.

Di situFokker berhasil membuat pesawat rancangannya sendiri, De Spin. Aksi penerbangan Fokker menggunakan De Spin menjadikan dirinya laiknya selebritas pada Agustus 1911, dia melaksanakan demo flight di sekeliling menara Sint Bavokerk yang menjulang di Harlem. Tak hanya itu, Fokker juga diundang terbang di atas Belanda untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Tapi karena Fokker juga bermental pengusaha dan melihat pasar potensial untuk mengembangkan bisnis pesawat berada di Jerman, Fokker pun kembali lagi ke negara tempat menimba ilmu itu. Sementara itu menurut Majalah Intisari dalam artikel "Mahaguru Penerbang Tempur", Fokker memang tak diindahkan oleh Belanda.

Tahun 1912, Fokker kembali ke Jerman dan menetap di Johannistal, Berlin. Dia kemudian mendirikan pabrik pesawat terbang, Fokker Aeroplanbau. Saat pabriknya terus berkembang dan memproduksi berbagai tipe pesawat, Fokker memindahkan pabriknya ke kawasan Schwerin dan mengubah nama pabriknya menjadi Fokker Werke GmbH.

Salah satu pesawat berbahan kayu yang dirancang Fokker dan secara teknis terinspirasi pesawat produksi Perancis, Morane Sauliner, selanjutnya menjadi pesawat tempur andalan Jerman. Atas lisensi dari pabrik pesawat Perancis, Le Rhone, Fokker bahkan berhasil mengembangkan beragam pesawat tipe baru dan memiliki kualitas lebih baik dibandingkan pesawat asli yang ditirunya.

Meski Fokker adalah perancang pesawat terbaik di Jerman, tapi karena masih berwarganegaraan Belanda, dia masih dianggap sebagai orang asing. Rancangan Fokker kadang masih dianggap kelas dua oleh para perancang asli Jerman. Salah satu rancangan Fokker yang mumpuni adalah sistem rotary engine yang secara kemampuan (power) dan kualitas lebih unggul dibandingkan sistem rotary engine buatan perancang Jerman.

Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif, Fokker memilih mengalah. Karena selama tinggal di Jerman dirinya sudah maklum terhadap warga Jerman yang selalu merasa lebih unggul dibandingkan bangsa lainnya. Namun ketika militer Jerman mulai memikirkan pentingnya pesawat dalam pertempuran, Fokker diterima sebagai warga Jerman pada 1914 dengan syarat pesawat hasil rancangannya harus bermanfaat bagi militer Jerman.

Seiring dengan pecahnya PD I produksi pesawat rancangan Fokker yang digunakan untuk bertempur makin beragam. Seperti pesawat tempur Fokker E I yang sengaja dirancang Fokker untuk kepentingan militer Jerman, langsung membuat militer Jerman tertarik karena sistem penembakkan senapan mesinnya sudah bisa sinkron dengan putaran baling-baling pesawat.

Meskipun pembuatan Fokker E I merupakan pengembangan Morane Sauliner berkat mesin rancangan terbaru, pada PD I yang berlangsung Juli 1915, Fokker E I yang mendapat julukan Fokker Fodder merajai medan pertempuran udara di kawasan Eropa Barat hingga satu tahun.

Sistem penembakan senapan mesin yang pelurunya melintas di antara putaran baling-baling sebenarnya bukan murni rancangan Fokker sendiri. Melainkan pengembangan dari pesawat sitaan Perancis yang berhasil ditembak jatuh dan disita militer Jerman.

Pilot Perancis yang tertawan, Roland Garros, yang tertembak jatuh pada April 1915, kebetulan merupakan salah satu perancang alat penembakkan (synchronization device) itu dan memberikan banyak masukan kepada teknisi Jerman saat ditawan. Fokker termasuk teknisi yang paling dominan dalam pengembangan synchronization device itu dan bisa merampungkan karyanya dalam waktu 48 jam.

Memasuki 1916 pertempuran udara di atas Eropa makin mematikan berkat hadirnya pesawat biplane tipe baru Fokker D II dan D III, yang memiliki kemampuan lebih cepat (150 kilometer per jam) dan bersenjata senapan mesin tunggal IMG 08 kaliber 7,92 mm.

Tapi keunggulan Fokker D II dan D III ternyata tersaingi oleh pesaingnya, pesawat tempur biplane Albatros DI dan DII yang menggunakan mesin lebih kuat, Mercedes. Karena kalah performa, Fokker D II dan DIII oleh militer Jerman kemudian ditawarkan kepada Belanda yang selama PD I menyatakan diri sebagai negara netral.

Akibat penurunan kemampuan mesin Fokker itu, terlebih setelah mesin Mercedes dipasang, menjadikan tahun 1916 merupakan masa suram bagi Fokker. Lembaga pengawas penerbangan militer Jerman, Inspektion der Fliegertruppen (Idflieg) bahkan memerintahkan agar Fokker bekerja sama dengan industri penerbangan lainnya untuk meningkatkan mutu.

Apalagi pada tahun yang sama kepala perancang Fokker, Martin Kreuzer, tewas akibat kecelakaan pesawat. Peran Martin kemudian digantikan oleh Franz Moser yang kelak sukses merancang pesawat Fokker, Dr 1 triplane, D VII biplane, dan D VIII monoplane.

Di bawah kepemimpinan Martin, Fokker Werke GmbH mengalami kemajuan yang signifikan ketika Menteri Penerbangan Jerman (Air Ministry) turun tangan dan memerintahkan merger antara Fokker serta industri penerbangan Hugo Junker.

Tujuan merger itu adalah untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur bagi Imperial German Army Air Service (Luftstreitkraffe) Pesawat yang kemudian berhasil dirancang dan diproduksi adalah triplane Dr I (Dreidecker I) yang kemudian diproduksi secara massal pada musim panas 1917. Ketika diturunkan di medan tempur Eropa Barat, Dr I ternyata mengalami masalah teknis dan harus dibayar dengan gugurnya sejumlah pilot Jerman. Militer Jerman pun segera memerintahkan grounded Dr I dan sekaligus melaksanakan perbaikan (modifikasi).

Untuk kemampuan menanjak dan bermanuver, Dr I tidak mengalami masalah. Tapi untuk kecepatan dan aerodinamika sayap Dr I perlu dilakukan perbaikan.

Modifikasi yang dilakukan terhadap Dr I adalah pemasangan sayap model biplane, V-11 dan penggantian mesin baru menggunakan Mercedes DIII. Berkat modifikasi itu, Fokker Dr I pun menjadi pesawat tempur unggulan dan berhasil mencetak pilot ace tersohor Red Baron Manfred von Richthofen.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.