Grid.ID – Nama Lokataru Foundation belakangan ramai diperbincangkan. Sorotan publik muncul setelah Direktur Eksekutifnya, Delpedro Marhaen, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Berikut profilLokataru Foundation yang menarik untuk ketahui.
Jauh sebelum kasus Delpedro, organisasi ini sudah dikenal lewat kiprahnya dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Lebih lengkapnya, Anda bisa menyimaknya dalam artikel profil Lokataru Foundation ini.
Profil Lokataru Foundation
Lokataru Foundation berdiri pada Mei 2017. Pendirinya adalah sejumlah aktivis hak asasi manusia yang sudah lama berkecimpung di bidang tersebut.
Sejak awal, tujuan organisasi ini sederhana. Mereka ingin mengambil peran dalam pemenuhan dan penegakan HAM yang menjadi tanggung jawab negara.
Sebagai organisasi nirlaba berbasis di Jakarta, Lokataru mengusung visi global. Mereka berkomitmen membangun solidaritas HAM lintas negara.
Misi utamanya meliputi riset, advokasi, serta pengembangan kapasitas masyarakat sipil. Melalui kerja-kerja ini, Lokataru berharap dapat memperkuat demokrasi dan akuntabilitas negara.
Dalam profil Lokataru Foundation, jelas terlihat fokus isu yang mereka angkat. Isu tersebut mencakup penguatan ruang sipil, demokrasi dan ekonomi inklusif, hingga pengembangan indeks HAM. Selama hampir satu dekade, organisasi ini telah menjalin jejaring dengan berbagai elemen masyarakat sipil.
Meski begitu, Lokataru mengakui belum puas dengan capaian yang ada. Mereka terus berkomitmen memperluas jaringan, memperkuat advokasi, dan berperan lebih besar dalam wacana publik. Saat ini, Lokataru Foundation juga sudah terdaftar resmi di Kementerian Hukum dan HAM RI.
Mengutip situs resmi Lokataru Foundation, Rabu (3/9/2025), aktivitas terbaru yang mereka publikasikan adalah laporan investigasi terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat. Hasil penelitian yang dilakukan sejak Januari hingga Agustus 2025 itu menyimpulkan adanya pelanggaran HAM, penyimpangan hukum, serta praktik oligarki.
Menurut Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, proyek ini tidak lahir dari kebutuhan publik. Patimban disebut muncul karena lobi bisnis dan revisi aturan yang minim transparansi.
Lokataru mencatat empat masalah utama. Pertama, pelanggaran HAM yang merampas ruang hidup dan hak sosial ekonomi warga sekitar. Kedua, penyimpangan hukum dalam penetapan proyek melalui serangkaian peraturan presiden.
Ketiga, beban utang negara akibat skema pembiayaan lewat pinjaman asing. Keempat, keterlibatan konglomerat besar dan lingkar kekuasaan dalam konsorsium pengelola pelabuhan.
Investigasi Lokataru juga menemukan adanya konflik kepentingan pejabat negara dalam proyek Patimban. Salah satunya terkait PT U Connectivity Services, anak usaha yang didirikan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri KKP aktif.
Menurut Hasnu, Manajer Penelitian Lokataru, keterlibatan seorang menteri dalam bisnis proyek strategis menunjukkan konflik kepentingan serius. Publik pun mempertanyakan moralitas pejabat yang seharusnya menjadi regulator tetapi justru ikut menjadi pemain proyek.
Berdasarkan temuan itu, Lokataru menyatakan akan mengambil langkah hukum. Mereka berencana mengajukan gugatan Hak Uji Materiil ke Mahkamah Agung terhadap regulasi yang melanggengkan proyek Patimban. Selain itu, Lokataru juga menuntut audit konsorsium, pemulihan hak warga, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.
Organisasi ini menegaskan perlunya reformasi tata kelola proyek strategis nasional. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus dijadikan prinsip utama. Hanya dengan cara itu pembangunan bisa benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada elit politik dan ekonomi semata.
Sorotan Kasus Hukum Delpedro Marhaen
Nama Lokataru pun kini semakin menjadi pusat perhatian setelah Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutifnya, dijerat kasus hukum. Polisi menilai Delpedro bertanggung jawab atas kericuhan dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR.
Dikutip dari Kompas.com, Polda Metro Jaya menjeratnya dengan sejumlah pasal, mulai dari KUHP, UU ITE, hingga UU Perlindungan Anak. Polisi menyebut ajakan Delpedro bukan untuk demonstrasi damai, melainkan provokasi yang mengarah pada aksi anarkis. Dugaan tindak pidana itu disebut berlangsung sejak 25 Agustus 2025, bahkan melibatkan anak di bawah usia 18 tahun.
Namun, LBH Jakarta menyebut proses penangkapannya janggal. Menurut saksi, Delpedro dibawa oleh aparat dengan cara terburu-buru tanpa penjelasan detail soal status hukum dan surat penangkapan. Kondisi inilah yang menimbulkan perdebatan publik tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka tersebut.
Polemik hukum yang menjerat pimpinannya itulah yang kemudian membuat publik menyoroti profil Lokataru Foundation. Terlepas dari kasus Delpedero, Lokataru Foundation tetaplah lembaga yang tetap konsisten memperjuangkan HAM.