Ada dua tradisi istimewa Keraton Yogyakarta saat Sekaten Tahun Dal. Yaitu Jejak Banon dan Gunungan Bromo. Muncul hanya delapan tahun sekali.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sekaten 2025 ini istimewa bagi Keraton Yogyakarta karena bertepatan dengan Tahun Dal 1959 dalam Kalender Jawa. Tahun Dal adalah tahun kelima dalam siklus delapan tahunan (windu) pada penanggalan Jawa yang dimulai pada Jumat Kliwon. Tahun Dal disebut sebagai tanda dimulainya siklus baru dalam penanggalan tersebut.
Nah, karena ini istimewa ada beberapa tradisi yang dilakukan Keraton Yogyakarta yang tidak ada pada sekaten-sekaten biasanya. Yang paling dikenal adalah tradisi Jejak Banon atau Jejak Benteng.
Sebagaimana dilaporkan Antara, Raja Jogja Sultan Hamengkubuwono X melakukan proses Jejak Banon alias mejejak tumpukan batu bata yang melekat pada benteng di sisi selatan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, pada Kamis (4/9).
Sebagaimana disebut di awal, Jejak Banon hanya dilakukan setiap delapan tahun sekali atau bertepatan dengan Tahun Dal dalam Kalender Jawa, sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Maulud Dal 1959 Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kusumanegara.
Jejak Banon dimaksudkan untuk mengenang upaya Pangeran Mangkubumi, pendiri Keraton Yogyakarta, menyelamatkan diri dari musuh setelah salat Jumat di Masjid Gedhe.
Masih menurut Antara, Jejak Banon melambangkan semangat budaya Jawa dan Islam dalam mendobrak tatanan lama yang berkaitan dengan urusan keagamaan. Sebelum melakukan Jejak Banon, Sultan HB X menyebarkan "udhik-udhik" berupa beras, biji-bijian, uang logam, dan bunga, sebagai simbol sedekah raja kepada masyarakat dan abdi dalem, di Pagongan Kidul dan Pagongan Lor yang ada di halaman Masjid Gedhe Kauman.
Sultan dan keluarga kemudian mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad yang dibawakan oleh Penghulu Keraton. Setelah itu, sekitar pukul 22.00 WIB, Sultan meninggalkan Masjid Gedhe dengan berjalan ke arah selatan menuju pintu butulan untuk melaksanakan Jejak Banon.
Selain Jejak Banon, ada juga tradisi Gunungan Bromo atau Gunungan Kutug. Ini adalah gunungan istimewa dalam pelaksanaan hajad dalem di Keraton Yogyakarta. Mengutip Tribun Jogja, keistimewaan Gunungan Bromo terletak pada kemunculannya yang sangat jarang, sebab hanya dibuat setiap delapan tahun sekali, tepatnya pada tahun Dal.
Berbeda dengan gunungan lainnya, Gunungan Bromo selalu mengeluarkan kepulan asap dari dalam tubuhnya. "Gunungan Bromo memiliki api yang menyala di dalam gununganya," ungkap Pengageng Kalih KHP Krida Mardawa, KRT Waseso Winoto.
Api tersebut bukan sekadar hiasan tanpa arti, melainkan memiliki makna filosofis. "Api itu kan maknanya kesucian, simbol-simbol bangsa agraria seperti itu," lanjut KRT Waseso Winoto.
Keunikan lain dari Gunungan Bromo adalah gunungan ini tidak ikut dirayakan dalam prosesi rayahan yang biasanya dilakukan masyarakat. Gunungan tersebut khusus diperuntukkan bagi orang dalam Keraton, yaitu bagi Ngarsa Dalem, Keluarga Dalem, dan Sentana Dalem. Sehingga, setelah prosesi doa di Masjid Gede, gunungan langsung dibawa kembali masuk ke dalam Kraton.
Gunungan Bromo dimulai dengan proses Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mengambil pertama pada Gunungan Bromo, kemudian dilanjutkan oleh para abdi dalem yang hadir.
Gunungan Brama memiliki bentuk yang menyerupai Gunungan Estri, yakni silinder tegak dengan bagian tengah yang sedikit menyempit. Gunungan ini dibuat dari aneka makanan tradisional seperti ole-ole, rengginang, kucu, dan upil-upil.
Rangkanya tersusun dari bambu, sementara bagian luarnya dilapisi pelepah pisang. Di bagian badan gunungan, ole-ole disusun menyerupai jala, sedangkan puncaknya dihiasi bendera-bendera segitiga berwarna merah yang menjulang di atasnya.
Pada bagian teratas, terdapat lubang khusus untuk menempatkan anglo, yaitu tungku kecil dari tanah liat. Anglo berisi arang membara yang dipakai untuk membakar kemenyan, sehingga gunungan ini terus mengeluarkan kepulan asap tebal. Keunikan inilah yang menjadikan Gunungan Brama berbeda, sebab ia hanya dikeluarkan pada perayaan Garebeg Maulud Tahun Dal, yang berlangsung delapan tahun sekali.