Ringkasan Utama
Pakar hukum pidana UI menilai kasus dugaan korupsi Chromebook yang menjerat Nadiem Makarim tak sepadan secara hukum dengan kasus gula kristal Tom Lembong. Perbandingan yang disampaikan Hotman Paris disebut hanya relevan secara politik. Kejagung menyebut kerugian negara dalam kasus Nadiem Rp1,98 triliun, sementara Lembong sebelumnya dinyatakan merugikan negara Rp194 miliar sebelum menerima abolisi dari Presiden Prabowo.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dosen Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, menilai kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook yang menjerat mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak dapat disamakan secara hukum dengan kasus importasi gula kristal yang pernah menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong.
Pernyataan ini disampaikan Febby sebagai tanggapan atas perbandingan yang sebelumnya dilontarkan oleh kuasa hukum Nadiem, Hotman Paris Hutapea, yang menyebut nasib kliennya mirip dengan Lembong.
“Kalau kita bandingkan dengan Kasus Tom Lembong, menurut saya, hanya tepat pada tataran politik, bukan hukum,” ujar Febby saat dihubungi, Jumat (5/9/2025).
Febby menjelaskan bahwa meskipun keduanya merupakan pejabat publik yang menghadapi persoalan hukum setelah menjalankan kebijakan strategis, kasus Nadiem memiliki dimensi yang lebih kompleks karena menyangkut kebutuhan dasar pendidikan anak-anak Indonesia.
“Tetapi kasus Pak Nadiem jauh lebih problematik karena menyangkut kebutuhan dasar pendidikan anak-anak Indonesia,” sambungnya.
Ia menegaskan bahwa fakta-fakta hukum dalam kasus Lembong dan Nadiem tidak bisa disamakan begitu saja. Menurutnya, sistem pengadaan pemerintah yang rentan menjadi sorotan utama dalam kasus Nadiem.
“Perlu dicari informasi yang lebih jauh terkait faktanya baru bisa menilai apakah betul-betul sama atau tidak dari segi hukumnya,” pungkas Febby.
Nadiem Makarim ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan tahun 2019–2022. Kejaksaan Agung menyebut total kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun dari proyek senilai Rp9,3 triliun.
Pengadaan tersebut dinilai bermasalah karena spesifikasi perangkat yang digunakan mengunci pada produk berbasis Chrome OS, meski sebelumnya sempat dinyatakan tidak cocok untuk sekolah di daerah 3T.
Kejagung menyebut pengadaan dilakukan berdasarkan arahan langsung dari Nadiem, termasuk penerbitan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang mencantumkan Chrome OS dalam lampiran teknis.
Dalam pengembangan kasus, Kejagung menetapkan lima tersangka lain yang diduga ikut menikmati keuntungan ilegal dari proyek tersebut. Mereka terdiri dari mantan pejabat Kemendikbudristek dan konsultan perorangan yang disebut berperan dalam mengarahkan spesifikasi teknis agar mengunci pada sistem operasi tertentu.
Meski Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik menyatakan belum menemukan bukti bahwa ia menerima dana secara langsung.
Kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea, sebelumnya menyampaikan pembelaan setelah kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Hotman menyebut bahwa kasus yang menjerat Nadiem memiliki kemiripan dengan kasus Tom Lembong, terutama dalam hal tidak adanya aliran dana yang masuk ke pribadi pejabat.
“Nasib Nadiem sama dengan nasib Lembong. Tidak ada, satu rupiah yang jaksa temukan uang masuk ke kantongnya Nadiem,” ujar Hotman kepada wartawan, Kamis (4/9/2025).
Ia juga menegaskan bahwa penyidik tidak menemukan bukti penerimaan dana oleh Nadiem, meski telah memeriksa lebih dari 120 saksi dan sejumlah ahli.
Kasus dugaan korupsi yang menjerat Tom Lembong bermula dari penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) gula kristal mentah pada periode 2015–2016 saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Jaksa menilai izin impor diberikan kepada sejumlah perusahaan tanpa rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi antarkementerian yang semestinya menjadi syarat mutlak.
Majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,7 miliar, yang seharusnya menjadi keuntungan bagi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN yang ditunjuk sebagai pelaksana stabilisasi harga.
Dalam dakwaan awal, jaksa menyebut kerugian negara mencapai Rp578 miliar, dengan nilai keuntungan yang diterima oleh 10 pihak swasta dan korporasi sebesar Rp515,4 miliar. Namun, hakim menyatakan bahwa sebagian perhitungan bea masuk dan pajak impor belum dapat dinyatakan pasti dan nyata.
Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta, namun tidak dibebankan uang pengganti karena tidak terbukti menikmati hasil korupsi.
Ia kemudian menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2025 yang ditandatangani pada 1 Agustus 2025, yang menghapus seluruh proses dan akibat hukum atas kasusnya.