Batam (ANTARA) - Dosen Sosiologi FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Dr Teguh Setiandika Igiasi mengatakan penguatan peran masyarakat sebagai agen sosial menjadi salah satu upaya penting dalam mencegah terjadinya bunuh diri.

"Kontrol sosial harus diperkuat, masyarakat harus menjadi agen-agen sosial, untuk saling peduli, saling menjaga satu sama lainnya. Bukan saling kepo ya," kata Teguh saat dikonfirmasi di Batam, Rabu, sehubungan dengan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day) yang diperingati setiap tanggal 10 September.

Menurut sosiolog asal Kepri itu, saat ini kontrol sosial di masyarakat sudah semakin lemah. Hal ini terjadi hampir di semua daerah, termasuk di Sumatera.

"Menormalisasi hal-hal yang semestinya sering pulang larut malam, bermain game, judi online, dan terjadi pengabaian di lingkungan sosial. Seperti, seorang tetangga melihat anak tetangganya merokok, minum minuman beralkohol atau bolos tetapi dibiarkan, karena merasa bukan urusannya," kata dia.

Menurut dia, kebanyakan kasus-kasus bunuh diri bila dilihat dari sisi sosiologi, ada pengaruh sosial lingkungan yang membuat seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

"Orang bunuh diri itu kalau secara sosialnya sedikit banyak dikarenakan sosial sekitarnya," ujar dia.

Dari sudut pandang sosial, kasus bunuh diri sangat kompleks. Di satu sisi aturan sosial yang ketat membuat seseorang mengasingkan diri karena tidak mampu beradaptasi dengan pembatasan-pembatasan serta sanksi-sanksi dari norma sosial yang dijalani. Ketika tidak mampu beradaptasi akhirnya memutuskan mengakhiri hidupnya.

Di sisi lain, aturan yang dilonggarkan atau luwes juga membuat seorang individu melakukan eksperimen dalam hidupnya karena tidak adanya larangan tadi, seperti mencoba minuman keras, berselingkuh atau main perempuan, sehingga ketika pilihannya tidak sesuai harapannya, berputus asa hingga berpotensi melakukan bunuh diri.

"Jadi agak kompleks ya, maka perlakuannya harus khusus, seperti kata anak-anak sekarang tricky atau taktik, tidak bisa terlalu keras, tidak pula terlalu lembut. Seperti memperlakukan seorang perempuan," ujarnya.

Teguh mengatakan dengan membangun kembali kepedulian masyarakat sebagai agen kontrol sosial dapat menjadi salah satu upaya untuk mendeteksi dan mencegah bunuh diri tersebut.

"Ketika seseorang berputus asa, yang mereka perlukan adalah tempat untuk bercerita, lalu solusi dari permasalahan, bukan malah pengabaian," katanya.



Oleh karena itu, jika masyarakat melihat teman, tetangga atau kerabatnya memperlihatkan perilaku yang tidak biasanya, ada baiknya menunjukkan kepedulian untuk memastikan bahwa kondisi orang tersebut dalam keadaan baik-baik saja.

Namun, lanjut dia, ada kasus bunuh diri di mana orang tersebut sehari-hari menunjukkan wajah yang ceria, bercengkerama normal seperti biasa, tetapi sejurus kemudian bunuh diri.

"Ciri seperti ini yang sulit mendeteksinya, perlu kepedulian untuk mengetahuinya," ujar dia.

Dengan adanya kontrol sosial ini, kata dia, tentunya masyarakat di lingkungan bisa saling menjaga, menguatkan dan mendukung satu sama lainnya. Sehingga ketika ada persoalan bisa saling membantu.

Teguh juga mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah akhir dari segalanya, karena meninggalkan trauma bagi keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, terjadinya bunuh diri di satu lingkungan, juga ada andil dari orang-orang di sekitarnya, karena ketidakpedulian.

"Jika masyarakat lingkungan saling peduli, saling membantu tentunya individu-individu yang tidak mampu beradaptasi dengan aturan norma-norma sosial tidak merasa sendirian dan ada yang menguatkan," katanya.

Selain itu, pemberitaan terkait bunuh diri juga berperan dengan menyediakan informasi tidak hanya aksi bunuh dirinya saja, tetapi bagaimana mencegahnya, bagaimana dampak sosial yang dialami keluarga yang ditinggalkan. Sehingga berita terkait bunuh diri itu tidak jadi tindakan meniru.

Dalam pedoman tentang pemberitaan bunuh diri yang diterbitkan Dewan Pers, disampaikan bunuh diri bukan hal yang bisa disepelekan. Secara angka, tahun 2005 terjadi 30 ribu kasus bunuh diri di Indonesia.

Angka tersebut baru angka yang dilaporkan saja, ada banyak kejadian bunuh diri yang ditutup-tutupi karena beberapa faktor.

Sementara secara global, WHO menyatakan lebih dari 800 ribu orang di seluruh dunia meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Tingkat bunuh diri di Indonesia berada pada peringkat ke-6 di Asia.



Khusus di Provinsi Kepri, pada tahun 2025 terjadi empat kejadian bunuh diri, satu di antaranya berhasil dicegah. Pada tahun 2024 juga sebanyak empat kejadian, salah satunya juga berhasil dicegah.