Intisari-Online.com -Malam mulai turun di Kediri ketika aroma dupa mengambang di udara. Di antara cahaya redup lampu dan bisikan doa, barisan peziarah terus berdatangan. Ada yang berjalan pelan sambil membawa bunga, ada pula yang duduk bersila dalam hening.
Semua tertuju pada satu tempat yang sudah ratusan tahun dijaga, yakni Petilasan Pamukasan Sri Aji Joyoboyo.
Bagi banyak orang, petilasan ini bukan sekadar lokasi bersejarah. Ia menjadi ruang perjumpaan antara manusia dengan ingatan masa lalu, antara doa dengan kisah yang diwariskan turun-temurun.
Di sinilah dipercaya Prabu Jayabaya, raja bijaksana dari Kerajaan Kadiri, bertapa hingga mencapai moksa.
Setiap malam Jumat, kawasan petilasan seolah hidup kembali. Asap dupa mengepul perlahan, doa mengalun dari bibir para peziarah, dan suasana hening dipenuhi rasa hormat.
Orang-orang datang dari berbagai kota, ada yang berharap kelancaran usaha, ada yang mencari ketenangan hati, ada pula yang sekadar ingin menyentuh jejak sejarah leluhur.
“Kalau saya ke sini, rasanya adem. Ada yang beda dari tempat lain,” ujar Sulastri, peziarah asal Nganjuk yang rutin datang setiap bulan.
Baginya, berziarah bukan hanya ritual, melainkan sarana untuk menjaga keyakinan dan memperkuat harapan.
Kisah mistis yang menebalkan keyakinan
Cerita-cerita mistis menambah lapisan daya tarik petilasan. Ada pengunjung yang tiba-tiba mencium wangi bunga, ada yang mendengar suara gamelan samar, bahkan ada yang merasa sedang diawasi.
Bagi sebagian orang, pengalaman itu sulit dijelaskan secara logika. Namun justru karena itulah, aura sakral tempat ini semakin terasa.
Moksa sang raja bijaksana
Masyarakat Jawa percaya Jayabaya tidak wafat secara biasa. Ia diyakini moksa, lenyap bersama raga menuju alam lain. Petilasan Pamukasan pun dihormati sebagai titik peralihan sang raja dari dunia fana menuju keabadian. Keyakinan ini membuat sosok Jayabaya dipandang tidak hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai lambang kebijaksanaan yang melampaui batas waktu.
Sendang Tirto Kamandanu sebagai pelengkap ritual
Tak jauh dari bangunan utama, terdapat kolam alami bernama Sendang Tirto Kamandanu. Airnya mengalir jernih melalui tiga tingkatan. Warga percaya air ini membawa berkah dan memberi manfaat bagi kehidupan. Di sekitarnya berdiri arca Syiwa Harihara dan Ganesha, simbol perdamaian dan kebijaksanaan.
Setiap tanggal 1 Sura, kawasan sendang menjadi pusat upacara adat. Prosesi napak tilas digelar untuk menghormati Jayabaya, memadukan ritual tradisi dengan nuansa mistis.
“Kalau cuci muka di sumur itu bisa bikin bersih aura dan awet muda,” tutur Mbah Sempu, sesepuh desa yang sejak kecil akrab dengan cerita tentang kesaktian air sendang.
Warisan spiritual yang terus hidup
Bagi warga Kediri dan sekitarnya, Petilasan Pamukasan bukan hanya objek wisata. Ia adalah warisan leluhur yang terus dijaga. Ada yang datang untuk ngalap berkah, ada yang ingin menapaktilasi sejarah, dan ada pula yang sekadar merasakan atmosfer sakralnya.
Di tengah modernitas yang kian bergerak cepat, petilasan ini tetap menjadi ruang untuk berhenti sejenak, menenangkan diri, sekaligus mengingat bahwa sejarah dan doa kerap berjalan berdampingan. Ia bukan hanya menyatukan masa lalu dengan masa kini, tetapi juga menyatukan doa dan sejarah dalam satu pengalaman spiritual yang tak lekang oleh waktu.