[Arsip NOVA]
Pada 10 Agustus 1995, terjadi peristiwa berdarah di Rejang Lebong, Bengkulu. Satu keluarga dirampok, dibantai, lalu mayatnya dibakar. Satu-satunya saksi mata adalah gadis kecil berusia 8 tahun.
Artikel ini pernah tayang di Tabloid NOVA edisi 27 Agustus 1995 dengan judul "Malam Jumat Berdarah Di Rejang Lebong..." ditulis oleh Mitradi.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sebuah perampokandisertai tindak teramat sadis terjadi di Rejang Lebong, Bengkulu. Korbannya adalah satu keluarga penggarap kebun kopi di Kecamatan Kota Padang.
Ayah, ibu, dan 3 anaknya dibantai dan dibakar. Berkat gerak cepat polisi, tiga dari 7 tersangka pelakunya sudah ditangkap. "Kami diperintahkan menghabisi siapa pun yang mencoba kabur," aku salah satu tersangka pada wartawan Tabloid Nova.
Yang bikin pilu, perampokan dan pembantaian satu keluarga itu membuat gadis kecil bernama Marlina hidup terlantar, tanpa orangtua, tanpa saudara.
Marlin pun hidup sebatang karang. Tatapan matanya yang kosong dan selalu menerawang mengisyaratkan trauma dan kedukaan yang mendalam. Betapa tidak. Dia kehilangan ayah, ibu, serta kakak dan adiknya, sekaligus.
Mereka sekeluarga, Hasanuddin (38) dan istrinya, lyem (35), serta anak-anak mereka, Pandi (12), Bambang (5), dan si kecil Ida (3), tewas dibantai kawanan perampok pada Kamis, 10 Agustus 1995, Desa Baru, Kecamatan Perwakilan Kota Padang, Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Tak puas hanya membunuh, 7 orang penjahat itu juga membakar mayat para korbannya!
Sembunyi di kebon kopi
Dengan suara lirih, Marlina yang ketika itu berada dalam perlindungan Polres Rejang Lebong menuturkan kejadian yang tak akan dia lupakan seumur hidupnya. "Malam itu, kami sedang asyik mendengar sandiwara radio. Tahu-tahu, pintu rumah digedor-gedor. Setelah pintu saya buka, ternyata ada beberapa orang yang tak saya kenal. Mereka pakai sebo (penutup kepala) dan bawa senjata api. Buru-buru pintu saya tutup lagi," kisah Marlina.
Sejurus kemudian, lanjut Marlina, "Pintu didobrak. Salah seorang langsung menembak Ayah yang sedang berdiri. Kami semua menjerit melihat ayah jatuh penuh darah. Emak, kakak, dan adik saya langsung kabur keluar pondok. Kak Pandi melompat melalui jendela. Sedangkan Emak lari lewat pintu belakang sambil menggendong Ida."
Hanya ada satu anggota keluarga yang tak terusik kekalutan itu. Dialah Bambang, yang tengah tertidur nyenyak. "Perampok itu lalu membacok Dik Bambang. Mereka juga mengejar dan membacok Emak, Dik Ida, dan Kak Pandi, di luar rumah," tutur Marlina.
Sudah tentu, Marlina juga berusaha melarikan diri ke belakang pondok dan ngumpet di balik rerimbunan kebun kopi. Keluarga Hasanuddin memang tinggal di tengah perkebunan kopi yang terpencil. Pria asal Banten ini bekerja sebagai penggarap kebun sejak tahun '92.
Selama kejadian, Marlina tak berani beringsut dari tempat persembunyiannya. Tubuhnya menggigil ketakutan. Dia tahu pasti, di dekat rumahnya tak ada seorang pun yang bisa membantu. Maklum, rumah tetangga terdekat terletak 2 km dari pondoknya.
Esok paginya, Jumat, 11 Agustus 1995, "Barulah saya keluar dari kebundan berjalan ke desa. Di tengah jalan saya bertemu Pak Yakub. Dialah yang pertama kali menolong saya."
Menghilangkan jejak
Marlina lalu diantar menemui kepala desa yang kemudian mengadukan kejadian itu pada pos polisi di Kota Padang, dan segera diteruskan ke Polres Rejang Lebong."Begitu menerima laporan, petugas kami segera menuju ke TKP (tempat kejadian perkara)," kata Kapolres Rejang Lebong saat itu, Letkol. (Pol.) Drs. Julius Srijono.Ketika petugas tiba di TKP, hari sudah malam.
"Maklum," kata Julius, "Mereka harus berjalan kaki 3 jam dengan menyeberangi perbukitan dan 4 sungai." Pemandangan di pondok Hasanuddin sangat mengenaskan. Rumah korban tinggal puing karena dilalap api. Lima jenazah korban terbaring dalam keadaan hangus terbakar. "Kami juga menemukan timah muntahan kecepek (senjata api tradisional berlaras panjang)."
Bukti adanya pemakaian kecepek ini ternyata sangat berguna. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya, polisi baru saja menahan seseorang yang memiliki senjata kecepek. "Dari tahanan inilah, kami memperoleh daftar nama orang-orang di daerah sekitar TKP yang punya kecepek. Ternyata, mereka semua anggota kelompok perampok yang sudah sering beraksi," papar Julius.
Dua tersangka pertama yang dibekuk adalah Wan (24) dan Lam (17). Mereka tertangkap di Kota Padang, Senin malam, empat hari setelah kejadian. Seorang lagi, Zul (25), yang masih terhitung tetangga Hasanuddin, diringkus di Desa Anyar, sehari kemudian.
"Selain mereka, masih ada 4 tersangka lagi yang kami kejar. Semuanya residivis yang berbahaya. Mudah-mudahan tak lama lagi bisa kami tangkap," kata Pak Polisi.
Mengenai motif, polisi menyimpulkan itu adalah perampokan biasa. Tapi, "Terjadinya pembunuhan dan pembakarang mayat korban, kemungkinan hanya untuk menghilangkan jejak," ujarnya.
Dari ketiga tersangka yang ditangkap, polisi telah menyita kalung emas 12 gram yang sempat dijual ke toko emas, tiga baju, satu jin, pisau, parang, 2 lampu senter, dan senapan angin milik Hasanuddin. Suasana TKP, kata Julius, sangat mendukung para perampok melakukan operasinya dengan aman.
"Pondok korban letaknya sangat terpencil, sehingga tak ada tetangga yang tahu ketika perampokan terjadi. Karena itu, saya mengimbau warga yang tinggal jauh dari tetangga, agar menyimpan uang atau barang berharga miliknya di tempat lain yang lebih aman."
Julius mengaku sengaja membawa Marlina tinggal di kompleks Polres Rejang Lebong. "Sebab, dia satu-satunya saksi kunci peristiwa ini. Kami tidak mau ambil risiko bila dia tinggal sendirian. Apalagi, dia kini sebatang kara," tandas Julius.
Beli kemeja baru
Tiga kali sudah dia mengaku melakukan perampokan. "Tapi semuanya atas suruhan Yas," ujar Wan (24), salah satu tersangka pembantai keluarga Hasanuddin.
Yas pula, kata Wan, yang mengajaknya beraksi di rumah Hasanuddin. "Waktu itu," demikian Wan berkisah, "saya diajak Yas ke pondok Zul. Di sana juga ada Lam. Kami kemudian menggelar rencana perampokan. Tapi saya belum tahu, di mana dan siapa sasarannya."
Usai menyusun rencana, berangkatlah mereka berempat menembus hutan. Di tengah perjalanan itulah, "Kami berpapasan dengan Win, Bo, dan Ning. Mereka setuju bergabung, hingga kami semua jadi bertujuh. Kami bersenjatakan kecepek, parang, dan pisau," ungkap pria jebolan SD ini.
Rombongan ini tiba di lokasi sasaran sore hari. "Karena hari masih terang, kami memutuskan menunggu datangnya malam, sekitar 200 meter dari rumah tujuan. Begitu usai magrib, kami segera mengepung pondok itu. Yas dan Bo mendobrak masuk. Sesaat kemudian terdengar letusan senjata. Saya tak tahu, siapa yang nembak, karena dua-duanya bawa kecepek."
Wan sendiri saat itu kebagian tugas berjaga-jaga di kolong pondok. Saat itulah, dia melihat seorang wanita menggendong anaknya berlari keluar pondok sambil menjerit-jerit minta tolong. Menyusul kemudian seorang bocah lelaki yang kabur ke arah sungai. "Anak lelaki itu hilang. Tapi perempuan dan anak di gendongannya itu dihabisi Bo dengan parang."
Setelah tak ada lagi yang menghalangi, komplotan ini leluasa menjarah segala barang berharga di dalam rumah. Wan kebagian memanggul hasil rampokan. "Sewaktu saya mau pergi dari situ, saya ketemu lagi dengan bocah yang tadi kabur ke kali. Langsung saja saya tusuk dia. Soalnya, Yas sudah memerintahkan kami untuk menghabisi siapa saja yang mencoba melarikan diri," tutur Wan tenang.
Tanpa menyadari masih ada saksi hidup, yakni Marlina, kawanan itu menyeret dan mengumpulkan tubuh para korbannya. "Yas lalu membakar pondok. Atas perintah Yas juga, mayat-mayat itu dilempar ke tengah kobaran api," kata Wan yang mengaku tidak ikut "menangani" jenazah para korban lantaran sibuk membereskan hasil rampokan.
Setelah api padam, lanjut Wan, "Hasil rampokan diboyong ke pondok Zul. Kami berhasil mendapatkan emas 12 gram, uang Rp300 ribu, kopi 2 karung, karet 6 keping, sepucuk senapan angin, dan sebuah radio."
Kecuali radio, yang ditinggal di hutan karena terlalu berat, semua barang hasil rampokan dijual ke Lubuk Linggau. "Saya dapat jatah Rp50 ribu," aku Wan yang langsung membeli kemeja seharga Rp 10 ribu. Baju baru didapat, Wan kemudian pulang ke rumahnya di Muara Saling, Lahat. Di situ pula, ia ditangkap.