Terdakwa Kasus Pemerasan PPDS Undip, Taufik Eko Nugroho Tolak Dakwaan JPU
M Syofri Kurniawan September 18, 2025 07:32 AM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Terdakwa kasus pemerasan PPDS Undip, Taufik Eko Nugroho menolak sejumlah dakwaan dari jaksa penuntut umum dalam berkas pembelaan atau pledoi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (17/09/2025).

Taufik yang dituntut jaksa paling berat dibandingkan dua terdakwa lainnya menolak sebagai pelaku tunggal dalam pemerasan berkedok Biaya Operasional Pendidikan (BOP).

Menurut Taufik dalam pembelaan yang dibacakan oleh kuasa hukumnya, Paulus Sirait menerangkan, pungutan biaya BOP sudah ada sejak tahun 2003. 

PEMBELAAN - Sebanyak tiga terdakwa kasus PPDS Undip mengikuti persidangan dengan agenda pembelaan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (17/9/2025).
PEMBELAAN - Sebanyak tiga terdakwa kasus PPDS Undip mengikuti persidangan dengan agenda pembelaan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (17/9/2025). (Tribunjateng/Iwan Arifianto)

"Ketika terdakwa (Taufik) menjalani PPDS pada tahun 2009 juga sudah ada (BOP)," kata Paulus.

Biaya pungutan BOP merupakan salah satu bahasan utama dalam kasus pemerasan dan bullying PPDS Undip yang berujung tewasnya Aulia Risma Lestari mahasiswa PPDS Undip angkatan 77.

 Jaksa juga menyoroti khusus soal pungutan ini karena tidak diatur secara resmi oleh Undip.

Setiap pungutan per mahasiswa juga mencapai angka Rp80 juta per residen. Jumlah seluruh pungutan BOP mencapai miliaran rupiah.

Paulus melanjutkan, kliennya yang menjabat sebagai Kaprodi PPDS Anestesia Undip sejak 2018 bukan merupakan pencetus adanya penarikan BOP dari residen. 

Sebaliknya, Taufik berupaya melakukan perbaikan dengan permintaan uang BOP disesuaikan dengan jadwal ujian residen.

"Terdakwa menolak dakwaan JPU yang menyebut mempertahankan sistem dan budaya senioritas di PPDS Anestesia Undip untuk memperlancar penarikan BOP," katanya.

Bantahan lainnya dari Taufik, yakni soal dakwaan telah menikmati dana BOP sebesar Rp177 juta. Menurut Paulus, dana tersebut adalah hak honor Taufik yang secara sah telah diterapkan oleh Kepala Program Studi sebelumnya.

"Penentuan besaran honor tersebut tidak ada keterlibatan dari terdakwa," ucapnya.

Begitupun soal pengelolaan uang residen oleh Sri Maryani, staf administrasi Prodi PPDS Anestesia Undip yang juga berstatus sebagai terdakwa dalam kasus ini.

Paulus merinci, Maryani telah mengelola dana BOP sejak 2014. Artinya, jauh sebelum Taufik menjadi Kaprodi PPDS Anestesi Undip pada 2018.

"Taufik tidak memerintahkan Sri Maryani dalam mengelola uang BOP residen tersebut," bebernya.

Sementara, dua terdakwa lainnya Sri Maryani dan Zara Yupita Azra juga menolak sejumlah dakwaan dari JPU soal dugaan pemerasan dan intimidasi dalam kasus PPDS Undip tersebut.

Sebagaimana diberitakan, jaksa menyatakan tuntutan berbeda terhadap Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani, dua terdakwa kasus pemerasan dan perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip Aulia Risma Lestari.

Taufik Eko Nugroho, mantan kepala Prodi PPDS Undip dituntut hukuman pidana selama 3 tahun penjara. Tuntutan jaksa lebih rendah terhadap terdakwa Sri Maryani mantan staf administrasi di Prodi PPDS Anestesi Undip yang dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.

Jaksa menilai, perbedaan tuntutan tersebut karena Taufik berperan memberikan perintah kepada Sri Maryani.

Selain itu, tuntutan Taufik lebih berat lantaran tidak mengakui perbuatannya dan cenderung menyalahkan Sri Maryani.

Kedua terdakwa dituntut sesuai pasal 368 ayat 2 junto pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dua terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani melakukan tindakan pemerasan secara ilegal melalui skema Biaya Operasional Pendidikan (BOP) terhadap para mahasiswa residen dari tahun 2018 hingga 2023.  

Selama kurun waktu tersebut, mereka mampu mengumpulkan uang sebesar Rp2,49 miliar.

Pembayaran ini tidak menggunakan rekening kampus melainkan rekening atas nama Sri Mariyani.

Pembayaran tersebut tercatat pula dalam buku warna kuning berisi catatan tanda terima uang BOP yang berasal dari para residen.

Sementara terdakwa Zara Yupita Azra dituntut oleh jaksa dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.

Jaksa menyakini Zara telah melakukan tindakan pemerasan dan melakukan pengancaman kepada korban sebagaimana dakwaan pasal  368 ayat 1 KUHP dan pasal 64 ayat 1 KUHP.Perbuatan itu telah  dilakukan terdakwa selama rentang waktu Juni 2022 hingga Januari 2023. (Iwan Arifianto)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.