SURYA.co.id - Inilah sosok Ginda Ferachtriawan yang berani membongkar rincian gaji anggota DPRD Surakarta mencapai Rp 43 juta per bulan.
Perdebatan mengenai gaji serta tunjangan yang diterima anggota DPR maupun DPRD terus menjadi isu publik.
Kritik semakin menguat lantaran kesejahteraan masyarakat masih banyak yang tertekan, sementara wakil rakyat tetap diganjar dengan fasilitas dan pendapatan tinggi.
Hal ini diungkap langsung oleh mantan anggota DPRD Kota Surakarta, Ginda Ferachtriawan.
Eks kader PDI Perjuangan yang kini bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tersebut tidak ragu untuk membuka informasi mengenai berapa besar penghasilannya saat masih duduk di kursi DPRD Solo.
Menurut Ginda, selama menjabat ia bisa mengantongi penghasilan hingga Rp43 juta per bulan. Jumlah itu sudah mencakup berbagai tunjangan, meski belum dipotong kewajiban pajak.
“Kami pendapatannya yang per bulan itu take home pay-nya. Tapi kalau kita kunjungan kita masih dapat uang saku lagi,” ujar Ginda, dikutip dari TribunSolo.com, Sabtu (20/9/2025).
Selain gaji dan tunjangan tetap, setiap anggota DPRD juga menerima tambahan uang saku saat melakukan kunjungan kerja.
Ginda mencontohkan, ketika ada perjalanan dinas ke Banjarmasin selama empat hari tiga malam, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp17,3 juta.
Semua kebutuhan akomodasi, mulai dari tiket pesawat hingga hotel, diberikan dalam bentuk tunai.
“Dikasih cash money semua itu mulai dari hotelnya dikasih. Pesawatnya transportasi dikasih dalam bentuk fresh money ditransfer langsung,” jelasnya.
Ginda juga membocorkan jenis tunjangan yang diterimanya. Beberapa di antaranya memiliki nilai cukup besar, antara lain:
Tunjangan komunikasi intensif: Rp14,7 juta
Tunjangan perumahan: Rp12,6 juta
Tunjangan transportasi: Rp11,2 juta
Meski kerap menuai kritik, Ginda menilai angka tersebut masih wajar bila para wakil rakyat benar-benar bekerja maksimal untuk rakyat.
“Begini ya, kalau saya sih yang penting kan keterbukaan. Kalau kita bekerja dengan maksimal ya layak lah.”
Namun demikian, ia tidak menutup mata terhadap tuntutan publik agar gaji dan tunjangan tersebut ditinjau kembali.
“Tetapi kalau sekarang memang banyaknya isu termasuk kemarin sempat sampai ada demo itu ya kalau memang harus dikaji ulang ya sebaiknya dikaji ulang dievaluasi apakah tunjangan atau gaji pokoknya,” ujarnya.
Meski menganggap wajar, Ginda juga mengakui bahwa ada komponen tunjangan yang sebaiknya dievaluasi.
Salah satunya adalah tunjangan perumahan, yang diberikan karena tidak tersedia rumah dinas, serta tunjangan komunikasi yang dianggap tidak memiliki dasar kebutuhan yang jelas.
“Karena kan kalau kita baca memang tunjangan perumahan itu kan dasarnya kalau tidak bisa memberikan rumah dinas.
Sedangkan tunjangan transportasi kalau pemerintah tidak bisa memberikan transportasi ya. Tapi kalau tunjangan komunikasi kan apa jadinya. Kalau memang mau dievaluasi lebih detail demi keterbukaan ya kenapa tidak,” pungkasnya.
Sosok Ginda Ferachtriawan
Ginda Ferachtriawan adalah sosok politisi muda asal Kota Solo yang kariernya cukup berwarna.
Namanya mulai dikenal publik saat ia duduk sebagai anggota DPRD Kota Surakarta selama dua periode melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Meski begitu, kiprah Ginda tidak hanya terbatas di dunia politik. Ia juga aktif dalam dunia olahraga, terutama sepak bola, dengan peran penting sebagai Ketua Panitia Pertandingan (Panpel) Persis Solo dan kemudian dipercaya menjadi Manager Venue Security & Safety dalam ajang Piala Dunia U-17 di Solo.
Tugasnya kala itu mencakup pengelolaan stadion, lapangan pendukung, hotel, hingga bandara demi memastikan penyelenggaraan berjalan aman dan lancar.
Pada pertengahan 2025, Ginda mengambil langkah mengejutkan dengan mengundurkan diri dari PDIP. Keputusan ini ia ambil setelah lebih dari satu dekade berproses bersama partai banteng moncong putih tersebut.
Menurut pengakuannya, ia merasa perlu mencari ruang baru yang lebih sesuai dengan gagasan dan semangat anak muda. Pilihannya jatuh pada Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang menurutnya memberi wadah bagi generasi muda untuk berkolaborasi dan menyumbangkan energi segar bagi politik Indonesia.
Selain dikenal sebagai politisi, Ginda juga kerap bersuara dalam isu-isu sosial budaya di Solo. Ia pernah menyoroti rencana penyelenggaraan pasar malam di kawasan Alun-alun Kidul yang dinilainya berpotensi merusak kawasan cagar budaya.
Sikap kritis ini menunjukkan konsistensinya dalam menjaga nilai-nilai lokal sekaligus memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Perjalanan Ginda Ferachtriawan merefleksikan figur yang dinamis: seorang politisi yang berani mengambil keputusan besar, seorang penggiat olahraga yang memahami arti manajemen profesional, sekaligus warga Solo yang peduli terhadap pelestarian budaya kotanya.
Pernyataan Ginda Ferachtriawan membuka kembali perdebatan lama tentang gaji dan tunjangan anggota dewan.
Di satu sisi, memang wajar jika wakil rakyat diberi kompensasi yang memadai agar mereka bisa bekerja fokus tanpa tergoda praktik korupsi.
Namun, di sisi lain, angka puluhan juta rupiah setiap bulan terasa kontras dengan kondisi masyarakat yang masih banyak bergulat dengan masalah pengangguran, biaya pendidikan, dan harga kebutuhan pokok.
Sebagai penulis, saya melihat transparansi seperti yang dilakukan Ginda ini penting. Publik berhak tahu dari mana uang negara dialokasikan, untuk apa, dan seberapa relevan tunjangan tersebut dengan kebutuhan nyata.
Jika ada pos tunjangan yang tidak memiliki dasar kuat, misalnya tunjangan komunikasi, maka evaluasi harus dilakukan demi menjaga keadilan.
Intinya, keterbukaan bukan hanya soal angka, melainkan juga soal kepercayaan. Rakyat akan lebih mudah percaya pada wakilnya ketika mereka berani membuka data dan siap dievaluasi.