BANJARMASINPOST.CO.ID, RANTAU- Kalimantan Selatan baru saja menorehkan prestasi membanggakan dengan menempati posisi puncak Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Nasional 2025. Hari Tani Nasional (HTN) Ke-65 juga baru saja berlangsung yakni pada Rabu (24/9).
Namun demikian kesulitan masih dialami petani di beberapa wilayah di Kalsel. Di Kelurahan Raya Belanti, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, petani harus menghadapi dampak jebolnya tanggul sungai sepanjang enam meter di RT 10. Akibatnya, air sungai cepat merendam persawahan serta permukiman.
“Baru ada upaya darurat dari masyarakat, tapi itu belum bisa menahan banjir besar. Kalau biasanya hujan dua hari baru air sungai sampai ke permukiman, sekarang cukup satu jam air sungai sudah meluap. Ini yang bikin petani gagal panen,” ungkap Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Binuang, Fahrudin, Kamis (25/9).
Sedang kebutuhan pupuk, menurutnya, tersedia di toko tani dengan harga standar subsidi. “Yang jadi persoalan daya beli sebagian petani. Ada yang tidak sanggup menebus karena terkendala ekonomi,” terangnya.
Sementara, pemasaran hasil panen padi di Raya Belanti masih didominasi tengkulak. Marjudin, Kamis, mengaku mereka biasanya langsung menjual gabah hasil panen kepada tengkulak. “Uang cepat didapat, meski harganya tidak terlalu tinggi,” jelasnya.
Ia menyebutkan jenis padi yang ditanam petani Raya Belanti beragam, mulai dari varietas lokal hingga unggul. Namun, belum banyak yang mampu mengembangkan usaha ke arah pengemasan beras premium. “Kalau dikelola sendiri jadi beras kemasan, modalnya besar dan pasarnya belum tentu,” pungkas Marjudin.
Terpisah, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Raya Belanti, Muhammad Isnaini menyampaikan upaya menjaga produktivitas lahan pertanian terus digencarkan. Saat ini, luas lahan baku sawah (LBS) yang terdata lebih dari 6.670 hektare. Sementara yang tergabung dalam kelompok tani masih seribuan hektare.
Menurut Isnaini, petani setempat juga masih kerap mendapat bantuan pemerintah, mulai dari benih, herbisida hingga pupuk.
“Upaya menjaga alih fungsi lahan juga terus dilakukan, tidak ada yang dialihkan menjadi perumahan maupun kebun sawit,” ujarnya, Kamis.
Isnaini menambahkan Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Binuang dan penyuluh pertanian juga mendorong petani untuk konsisten menggarap lahannya. Sejumlah metode diterapkan, seperti sekolah lapang hingga demplot.
Namun, kendala yang dihadapi masih cukup besar. “Petani lebih banyak menanam varietas lokal sekali setahun. Sementara program pemerintah menargetkan tanam dua kali. Itu yang agak sulit di lapangan,” jelasnya.
Untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP), lanjut Isnaini, pihaknya juga membentuk Brigade Raya Belanti yang beranggotakan 15 pemuda milenial. “Brigade ini baru mulai berjalan, sambil mencari jasa usaha tani. Alat panen dan pengolahan tanah sudah ada, tinggal kita maksimalkan,” katanya.
Meski Kalsel menempati posisi puncak Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Nasional 2025, capaian ini dibayangi berbagai tantangan serius yang berpotensi menggerus ketahanan pangan Kalsel di masa depan.
Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Muhammad Fauzi menilai sektor pertanian di Kalsel masih prospektif. Namun keberlanjutannya sangat bergantung banyak hal. “Ada persoalan perubahan iklim dan alih fungsi lahan,” ujarnya, Kamis.
Dia menilai Perda Lahan Pangan Berkelanjutan yang dimiliki Kalsel belum optimal dilaksanakan. “Sistem reward dan punishment belum dijalankan. Akibatnya, perda itu seperti macan ompong,” kritiknya.
Ia menegaskan, pemerintah daerah perlu mengambil langkah lebih konkret, tidak hanya fokus pada sisi produksi, tapi juga melindungi lahan pertanian, menjamin harga yang layak, serta memperluas akses pasar bagi petani.
Fauzi juga menyampaikan kebijakan pemerintah pusat yang fokus pada ketahanan pangan sudah tepat, baik untuk jangka pendek maupun panjang. Namun, kebijakan tersebut belum sepenuhnya berdampak signifikan pada kesejahteraan petani, khususnya petani padi.
“Pemerintah memang telah menaikkan harga dasar gabah. Tetapi di lapangan, dampaknya terhadap kesejahteraan petani belum begitu terasa,” jelasnya.
Mengenai pencetakan sawah baru, Fauzi menilai langkah itu hanya akan efektif jika dibarengi ketersediaan sarana produksi yang terjangkau dan mudah diakses. “Penggunaan alat dan mesin perlu diperhatikan untuk mendukung ekstensifikasi lahan. Tanpa itu, pencetakan lahan baru tidak akan menyelesaikan masalah,” bebernya. (tar/msr)