Laila Sari, Artis Terakhir yang Bertahan di Tangkiwood, Dijuluki sebagai Artis Tiga Zaman
Moh. Habib Asyhad September 29, 2025 02:34 PM

Laila Sari disebut sebagai artis terakhir yang tinggal di Tangkiwood, di Kelurahan Tangki, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Dijuluki artis tiga zaman.

Artikel ini digubah dari artikel berjudul "Laila Sari Kecupan Kejutan di Luar Skenario" yang tayan gi Tabloid NOVA edisi 3 Oktober 1993

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kelurahan Tangki, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, mengingatkan kita pada Tangkiwood. Dan sosok yang paling melekat dengan nama itu adalah mendiang Laila Sari, seorang legenda yang dijuluki sebagai artis tiga zaman.

"Justru saat usia menjelang kepala enam, saya malah mencapai puncak karier," kata Laila yang terus dibanjiri tawaran manggung kendati saingannya adalah para wanita muda dan cantik. Bagaimana Laila mengawali semua ini? Inilah kisahnya.

Indah dan cantik

Laila Sari lahir di Pagar Alam, Palembang, 4 November 1934 sebagai sulung dari dua bersaudara. Komaruddin dan Rahmawati, itu nama Bapak dan Ibu. Bapaknya sebenarnya berasal dari Sumatera Barat, sementara ibunya asli Banten. Bapaknya kabur meninggalkan kampung halamannya karena dia tak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang-tuanya. Saat itu dia sudah mengenal ibu Laila Sari dan memilih tinggal di Pagar Alam.

Ibunya masih 13 tahun ketika menikah. Dua tahun kemudian, Laila lahir. Kata ibunya, saat kecil Laila cantik sekali dan karena itu diberi nama Siti Nurlailaningsih yang berarti indah dan cantik. Ibunya sebenarnya punya bakat seni. Tapi itu dipendamnya sejak menikah karena ayah Laila tak mau ibunya jadi seniman. Bapak Laila sendiri adalah pengusaha binatu. Sayang, Laila tak pernah mengenal Sang Bapak lebih dekat. Dia meninggal karena sakit saat ketika Laila masih usia 2,5 tahun. Ibunya sendiri tak pernah bercerita banyak tentang ayah Laila.

Sepeninggal sang ayah, keluarga Laila merantau ke Jakarta. Di Ibukota ini, ibunya memanfaatkan bakat seninya untuk membiayai hidup anak-anaknya. Dia keluar-masuk kampung sebagai penyanyi dan pemain sandiwara keliling. Laila dan adiknya, Martunus, dititipkan sementara pada neneknya di Rengasdengklok, Jawa Barat. Waktu itu sang nenek sedang sedih karena suaminya kawin lagi. Tapi dengan adanya cucu-cucunya itu, sang nenek semangat lagi.

Sang nenek juga berusaha keras untuk menyekolahkan Laila. Uangnya dia dapatkan dengan membantu memanen padi di sawah orang. Dia juga membuat pisang goreng untuk dijual. Umur 7 tahun, Laila mulai membantu menjajakan pisang goreng buatan sang nenek sebelum berangkat sekolah. Laila berkeliling telanjang kaki. Maklum, saat itu belum mampu beli sandal.

Hubungan Laila dan neneknya begitu dekat. Dia kerap menceritakan dongeng-dongeng tentang kebajikan. Misalnya cerita kancil lawan buaya. Lewat dongeng-dongeng itulah, Laila menemukan makna hidup, yakni berusaha keras untuk selalu jadi berguna bagi sesama.

Tidur di kolong jembatan

Selain bersama sang nenek, Laila juga sempat dititipkan di beberapa tempat berbeda. Terkadang ikut kakeknya atau saudara-saudara ibunya yang lain. Berapa kali Laila pindah, tapi dia tak ingat lagi. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, ibu Laila kawin dengan Abidin Lubis, musisi kawan sepanggungnya. Pernikahan ibunya hanya Laila dengar dari omongan orang.

Sejak saat itu, tidak ada kabar berita lagi dari sang ibu. Semua surat tak ada yang terbalas karena perang yang tengah berkecamuk. Terdorong rasa rindu, Laila terus-menerus merengek-rengek kepada kakeknya minta dipertemukan dengan ibunya, apa pun risikonya. Mungkin karena tak tega, sang kakek akhirnya mengabulkan juga permintaan itu. Jadi juga Laila berangkat ke Jakarta, ditemani kakek dan neneknya.

Dalam perjalanan, mereka tidur di pinggir jalan atau di kolong jembatan, berdesakan dengan pengungsi lain. Makan pun seadanya. Ubi, nasi jagung, bahkan dedaunan. Kalau sedang beruntung ketemu beras, barulah mereka makan nasi. Sebenarnya, mereka cuma modal nekat. Ibu Laila tak pernah menetap di satu tempat. Jadi, tiap kali ada pentas orkes atau sandiwara, mereka datangi.

Mereka pun kerap kecewa. Sudah capek-capek menonton sandiwara, bahkan sampai menyelinap ke balik panggung, Laila tak kunjung menemukan ibunya. Jika sudah begitu, Laila selalu menangis. Untung saja, kakek dan neneknya selalu menghibur. Hari demi hari, tiap pelosok Jakarta mereka jelajahi. Doa terus mereka panjatkan agar bisa bersua dengan ibu Laila.

Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Ketika tiba di Bekasi, mereka dengar ada grup sandiwara yang akan mentas di sana. Ternyata di situlah ibu Laila berada. Mereka berpelukan di atas panggung sambil bertangisan. Suara-suara tembakan yang terdengar di kejauhan tak mereka pedulikan. Laila akhirnya menemukan ibunya.

Merengek minta nyanyi

Setelah itu Laila akhirnya tinggal bersama ibunya yang keadaan ekonomi rumah tangganya sudah agak lumayan. Ayah tirinya sangat disiplin dalam membelanjakan uangnya. Selain jadi musisi, dia kerap mendapat uang tambahan dari keterampilannya mereparasi radio. Di sisi lain, pertemuan dengan ibunya juga membuat Laila harus berpisah dari neneknya yang ingin kembali ke kampung. Laila masih ingat, mata neneknya berkaca-kaca saat dia pamit.

Laila pun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan seni. Hampir tiap hari dia menonton ibu dan ayah tirinya manggung. Sang ibu menyanyi, ayahnya main orkes. Mereka benar-benar bahagia. Puncaknya ketika ayah Laila punya orkes sendiri. Apalagi setelah orkes itu dinamainya seperti namanya: Laila. Di belakangnya ditambahkan Sari. Lengkapnya. Laila Sari.

Tiap kali grup Laila Sari usai mentas, penonton melempar uang ke panggung. Dalam hati Laila berbisik, "Enak juga ya jadi penyanyi dan penari. Bisa dapat uang banyak." Sejak itulah mulai timbul hasrat Laila untuk mengikuti jejak ibunya. Anehnya, ketika niat itu Laila sampaikan ke ibunya, dia melarang. "Nanti malah salah," dalihnya. Laila lalu menangis sepanjang hari.

Karena iba, malanya ibunya mengajak Laila latihan. Wah, rasanya girang banget. Laila pun berlatih sungguh-sungguh. Awalnya dia menghafalkan lagu-lagu Melayu yang pendek. "Bunga rampai”, “Mama Janda”, dan “Kalung Asmara" adalah lagu-lagu pertama yang Laila hapalkan. Di samping itu, dia juga belajar memainkan hula hoop.

Kapan pertama kali Laila tampil? Waduh, dia ternyata sudah tidak ingat lagi. Yang jelas, orangtuanya waktu itu sedang show di Pontianak. Pada saat yang bersamaan, ada tetangga mengadakan hajatan. Laila pun memberanikan diri tampil. Ternyata sukses dan dapat sambutan cukup meriah!

Sekembali dari Pontianak, orangtua Laila mendengar komentar tetangga tentang aksi panggung Laila. Ayah dan ibunya tak dapat menyembunyikan rasa bangganya. Laila pun diterima sebagai anggota Orkes Laila Sari. Karena sering berkeliling ke luar kota, dia jadi sering bolos sekolah. Akibatnya, sekolah Laila cuma sampai SMP.

Dari panggung ke panggung

Ada pengalaman menggelikan yang tak mungkin Laila lupakan saat "rur" bersama orkes milik ayahnya. Karena postur tubuh Laila sangat mungil, penonton kerap protes. "Penyanyinya tidak kelihatan!"

Bapaknya pun mencari akal. Sebuah meja digotong ke atas panggung, lalu Laila bernyanyi sambil berdiri di atasnya. Penonton, yang pada saat itu jarang melihat anak kecil manggung, langsung terpesona. Meski Laila cuma fasih melantunkan 3 buah lagu, mereka tidak protes. Bahkan sebaliknya, tiap usai manggung, ada saja penonton yang memberi hadiah atau uang.

Karena seringnya tampil bersama kelompok Laila Sari, Laila pun lebih dikenal dengan nama Laila Sari. Tawaran manggung semakin meningkat. Padahal saat itu umurnya baru 11 tahun. Ketika itulah, datang ajakan untuk main film. Laila terima. Jadilah dia bintang cilik dalam film Air Mata Ibu, disusul Kembang Kacang, dan Rangkaian 13.

Selebihnya, Laila sudah tak ingat, berapa jumlah film yang pernah dia bintangi. Tapi yang jelas, film Pertiwi-lah yang berkesan baginya. Dalam film yang dibuat tahun 55 itu, Laila bermain bersama Rd. Ismail, pemain watak yang paling disegani seluruh artis. Usai pembuatan film itu, dunia film dilanda lesu darah. Akhirnya Laila lebih banyak bermain sandiwara.

Laila kemudian membekali diri dengan belajar tari balet, tari daerah, serta melawak. Ibarat "kutu loncat", dia kemudian berpindah dari satu kelompok ke kelompok sandiwara yang lain. Di antaranya yang masih dia ingat adalah kelompok Sedap Malam, Dupa Nirmala, Sinar Sakti, Ratu Asia, Senyum Jakarta, dan masih banyak lagi.

Dia juga sudah mulai pandai memainkan sejumlah alat musik. Antara lain organ, ukulele, gitar, mandolin. Mau tahu guru Laila? Ayah tirinya sendiri. Setiap ada waktu luang, ia selalu menyempatkan diri melatih putri tercintanya itu. Ayahnya juga yang mengatur jadwal pementasan Laila. Termasuk urusan kontrak dengan penyelenggara pertunjukan. Hasil pementasan disimpan sang ayah sementara Laila diberi sebagian.

Kalau melihat semua hal itu, rasanya tak berlebihan jika ayah Laila dikategorikan sebagai. “Hebat ya, begini-begini saya sudah pernah ditangani manajer, ha... ha... ha…,” cerita Laila.

Pesta di Tangkiwood

Di sekitar tahun 50-an, Laila dan keluarganya mulai tinggal di daerah Tangkiwood, Jakarta Barat. Banyak kenangan manis dia dapatkan di daerah pemukiman para seniman ini. Di sini, tak ada istilah sepi. Artis-artis mengisi waktu senggangnya dengan bermain musik dan bernyanyi.

Banyak lagu yang mereka nyanyikan. Bebe rapa lagu di antaranya sangat Laila sukai dan karenanya dia lantunkan saat tampil di panggung. Misalnya “Jauh di Mata”, “Kasih Tak Sampai”, “Terkenang-kenang”, “Pahlawan Merdeka”, “Sepasang Mata Bola”, “Pasir Putih”, dan “9 bulan 10 hari”. Di antara semua lagu itu, lagu yang terakhirlah yang paling Laila sukai. Sebabnya, lagu itu sarat dengan pesan kehidupan.

Bila hari Minggu tiba, "suasana pesta" semakin terasa di Tangkiwood. Sejak pagi, semua penduduk berkumpul di satu tempat dan memasak makanan yang enak-enak. Hasilnya, mereka makan bersama-sama. Setelah itu, mereka bermain musik hingga larut malam.

Di Tangkiwood pula honor seorang artis seolah milik bersama. Ya, karena siapa saja yang menerima honor, artis-artis lainnya pasti kecipratan rezeki. Kayakah mereka? Tidak! Tak ada yang hidup mewah. Bahkan kalau mau dibilang, sungguh sangat sederhana. Tapi itulah solidaritas antar-artis yang bertetangga di masa itu.

Kecupan kejutan

Sebagai pemain sandiwara keliling, Laila sempat jadi primadona yang tak punya saingan. Banyak pemuda yang naksir berat, tapi saat itu belum terpikir untuk berumah tangga. Pikirannya hanya tertuju pada manggung dan manggung. Hidup terasa membosankan kalau sedang tidak mentas.

Namun entah mengapa, Laila tiba-tiba disuruh kawin oleh bapak tirinya. Calon pendampingnya, seorang pemuda pilihannya. Laila ngambek dan ngotot menentang. "Saya tidak mau! Saya belum mau berumah tangga!" begitu protesnya. Akhirnya sang ayah bingung sendiri. Dia kemudian mengajak putrinya itu jalan-jalan ke Depok. Pada saat bersamaan, di daerah itu akan diadakan pementasan sandiwara Darsiah. Entah mengapa, primadonanya kurang bagus. Laila diminta menggantikannya.

Tentu saja dia senang. Habis, kalau main di Depok pasti banyak penonton Belandanya. Saat itu kan banyak orang Belanda yang berdiam di Depok. Menjelang pertunjukan, Laila diarak keliling dengan delman. Di sinilah dia mulai melirik seorang laki-laki. Dia juga pelakon di sandiwara itu. Namanya Iskandar. Entah kenapa, hati saya langsung terpana pada pandangan pertama.

Di mata Laila, Iskandar sangat ganteng. Tubuh pemuda keturunan Jerman itu terlihat langsing. Kulitnya putih bersih. Keren deh pokoknya, he... he... he...

Meski jatuh cinta pada pandangan pertama, Laila tak berani mengungkapkannya langsung pada Iskandar. "Malu-maluin kalau perempuan duluan yang bilang cinta," begitu kata hatinya. Namun bila sudah ditakdirkan, cinta itu tak akan lari. Sekali waktu, Laila dapat kesempatan main bersamanya. Dia ingat betul judul pementasannya, “Perjuangan dan Cinta”. Sutradara memintanya berperan sebagai anggota Palang Merah, sementara Kak Is (begitu Laila memanggil Iskandar, Red) jadi tentara Indonesia yang lengannya terkena peluru musuh.

Dalam skenario Laila ditugaskan membalut tangan Kak Is dengan selendang sutra. Deg-degan juga waktu melakukannya. Tak dinyana, saat Laila sedang serius membalut tangannya, Kak Is mendaratkan ciuman ke pipinya. Cup! Laila kaget bukan kepalang karena itu sama sekali tak ada dalam skenario.

Laila memandangi pria idamannya itu. Eh, dia tenang-tenang saja sambil mesam-mesem. Herannya lagi, para penonton bertepuk tangan riuh. Mungkin mereka pikir, adegan ciuman itu adalah bagian dari skenario. Lalu bagaimana perasaan Laila? Jujur saja, kaget campur berbunga-bunga!

Ganti pakaian 7 kali

Rupanya cinta Laila tak bertepuk sebelah tangan. Iskandar mengaku melakukan hal itu karena sudah ngebet padanya. "Saya kira selama ini kamu tak suka sama saya. Habis, kamu kelihatan jual mahal sih. Makanya begitu ada kesempatan, langsung saja saya cium," begitu ujar Kak Is.

Sejak itu mereka mulai pacaran dan selalu berdua-duaan. Di sebuah persimpangan, Kak Is mengungkapkan isi hatinya yang terdalam. "Saya bangga jadi pacar kamu, karena saya berhasil menyingkirkan banyak saingan," begitu katanya. Wah, Laila langsung melambung ke langit ke-tujuh!

Meski Laila memanggilnya Kak Is, tapi sebenarnya pria itu jauh lebih muda dari Laila yang lima tahun lebih tua. Hal inilah yang sempat jadi beban pikiran. Ketika itu orang masih percaya, kalau wanitanya-lebih muda, maka perkawinan tidak akan langgeng. Tapi kekuatan cinta begitu besar. Laila tak peduli. Baginya, pandangan itu tak perlu dituruti. Kebahagiaan berumah tangga bisa diraih dengan niat baik dan usaha ekstra keras. Cuma itu yang ada di pikiran Laila ketika itu.

Setelah setahun berpacaran, mereka pun melanjutkan kebersamaan ke pelaminan. Tepatnya pertengahan Juli 1961. Pesta pernikahan berlangsung cukup meriah selama 2 hari 2 malam. Tujuh kali Laila berganti pakaian selama bersanding.

Setelah menikah, urusan menghibur orang tetap berjalan mulus. Kak Is tak pernah menghalangi karier istrinya. Dia terus mendorong, bahkan ikut terlibat. Sewaktu perjuangan merebut Irian Barat bergejolak di tahun 1962, mereka ikut ke Irian bersama rombongan kesenian pimpinan Sofia WD (alm) ke Irian Barat. Mereka berangkat untuk menghibur sukarelawan yang bertugas di daerah perbatasan. Di antara rombongan itu ada juga aktor Soekarno M. Noor, WD. Mochtar, dan Yuke.

Dilanda berbagai cobaan

Meski telah menikah selama 10 tahun, rumah tangga Laila dan Iskandar belum juga dikaruniai seorang anak. Mungkin karena mereka memang turunan pelit anak. Meski begitu, rumah tangga mereka tetap harmonis. Laila dan Is telah menancapkan tekad sehidup semati, apa pun yang terjadi. Di samping itu, tentu saja mereka tak pernah berhenti berdoa agar diberi buah hati. Sekali waktu kandungan Laila sempat isi. Sayang, keguguran. Mungkin karena saat itu kondisi tubuhnya sedang jelek karena terlalu capek memenuhi tawaran main sandiwara. Maklum, saat itu dia sedang laris-larisnya.

Tapi mereka terus dan terus berdoa. Alhamdulillah, Tuhan mengabulkan doa itu. Tahun 1971 lahirlah seorang bayi perempuan manis diberi nama Mayasari.

Tahun 78 Laila sebenarnya hamil lagi. Namun lagi-lagi keguguran. Waktu itu dia sedang terlibat dalam pembuatan film Pulau Putri. Pengambilan gambar berlangsung di Ciateur, Jawa Barat. Daerah itu berbukit-bukit dan licin bila disiram hujan.

Sekali waktu, hujan turun saat syuting sedang berlangsung. Laila berlari mencari tempat perlindungan. Jubah nenek sihir berambut panjang yang dia kenakan terinjak oleh kakinya sendiri. Dia pun terjatuh dan tak sadarkan diri.

Konon saat itu terjadi perdarahan. Dokter yang merawat mengatakan, saat itu sebenarnya Laila dalam keadaan hamil. Dia pun kaget bukan kepalang. "Aduh, betapa tololnya saya ini," keluhnya.

Namun begitulah takdir yang digariskan. Rupanya Tuhan hanya memberi mereka seorang anak. Tak apa. Keinginan untuk punya anak lagi, langsung dia hapuskan dari benak.

Semulus-mulusnya kehidupan perkawinan, toh ada saja hambatan. Laila sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari beberapa wanita, yang terang-terangan naksir Kak Is. Bahkan ada yang terus terang berkata, "Mbak, saya mau minta izin untuk kawin dengan Kak Is."

Enak aja! Tentu saja Laila menolak permintaannya. Mana ada istri yang merelakan bahkan menyetujui suaminya kawin lagi? Aduh, untung batinnya kuat menghadapi semua ini. Kalau tidak, jantung Laila sudah lama copot. Kenapa Laila begitu mempertahankan Kak Is? Karena bukan cuma cinta yang dia rasakan pada Kak Is. Tapi lebih dari itu. Yakni rasa asih. Kak Is sudah seperti bagian tubuh Laila sendiri. Syukurlah, Kak Is pun begitu.

Asal dapur ngebul

Setelah punya anak, karier Laila tetap jalan. Selama 8 tahun dia jadi pemeran tetap dalam kelompok Komedia Jakarta. Dia muncul teratur di layar TVRI. Selama itu, Laila juga masih menerima tawaran main film. Di antaranya film Singa Betina dari Marunda dan Wajah Seorang Laki-Laki (1971).

Dari segi materi, Laila terbilang pas-pasan. Karenanya, dia rajin menabung bila kebetulan dapat tawaran cukup banyak. Laila rajin membeli emas. Begitu tawaran main sepi, emas pun melayang satu per satu. Tapi Alhamdulillah, tak satu pun perabot rumah tangga yang ikut terjual.

Setelah hilang dari layar TVRI di sekitar tahun 78, nama Laila mulai tenggelam. Jarang lagi yang melirik dan mengajaknya main film atau sinetron. Kalaupun ada, sebatas peran-peran kecil.

Laila dan Kak Is yang sudah mulai tua dan sakit-sakitan (Iskandar ter- serang penyakit ginjal, Red) terus berupaya agar dapur kami tetap ngebul. Bersama Johnny dan Totok Dower, mereka membentuk grup lawak Laila's Grup. Mereka mengais rezeki dengan melawak dan menyanyi dari satu restoran ke restoran lain. Dari satu pub ke pub lain, setiap malam.

Sedih disebut rakus

Tuhan Maha Pemurah, Laila diberi anugerah "titik-balik" dalam kehidupan. Itu bermula saat dia mendapat tawaran show di acara HUT KOSTRAD. Pak Tommy memintanya menyanyikan lagu rock gembira berjudul “Can't Stop Loving You”. Karena tak hafal, dia memberi Laila kasetnya. Dia pelajari di rumah sampai betul-betul hafal. Alhamdulillah, penampilan Laila mendapat sambutan yang meriah. Tak dinyana, Laila jadi ngetop karena lagu itu.

Titik cerah kembali hadir saat Ani Sumadi dan Ireng Maulana mengajak tampil di acara Berpacu dalam Melodi. Sejak saat itu, tawaran pun mengalir dengan derasnya. Bahkan kalau mau jujur, saat itulah puncak karier Laila.

Tapi lagi-lagi semuanya tak berlangsung dengan mulus. Banyak juga kritik tertuju pada dirinya. Mereka bilang, Laila manusia rakus. Sudah tua, kok masih ngoyo cari duit. Bahkan ada yang bilang, "Di usia setua ini, lebih baik Laila Sari nyiapin liang kubur aja."

Laila tentu sedih mendengar semua itu. Apa sih salahnya menghibur di usia tua seperti ini? Laila diberi anugerah bakat dan kesehatan, mengapa tidak dimanfaatkan? Dan yang pasti, di usia tua itu dia tidak sudi menjadi seonggok tulang berbalut kulit yang kerjanya hanya mengemis. Laila masih bisa cari uang sendiri. Terlebih lagi, dia masih bisa membuat orang-orang merasa terhibur.

Terus terang, banyak jiwa yang masih harus dia tanggung. Selain anak, cucu, biaya pengobatan suami, Laila juga menanggung 8 keponakan karena Martunus telah meninggal akibat penyakit liver. Tidak cuma itu. Laila juga mesti menanggung hidup adik ipar, ibunya, dan beberapa orang lainnya lagi.

Setelah puluhan tahun malang melintang di dunia hiburan, Laila Sari mengembuskan napas terakhirnya pada 20 November 2017 lalu. Karyamu abadi, Eyang Laila.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.