Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Insight Investment Management (IIM) periode 2016-2024 Ekiawan Heri Primaryanto divonis 9 tahun pidana penjara terkait kasus dugaan investasi fiktif di PT Taspen (Persero) pada tahun 2019.
Hakim Ketua Purwanto Abdullah menyatakan Ekiawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam kasus tersebut, sehingga merugikan keuangan negara Rp1 triliun.
"Ini sebagaimana dalam dakwaan pertama penuntut umum, yakni Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Senin.
Selain pidana penjara selama 9 tahun, Hakim Ketua menyebutkan Ekiawan turut dihukum dengan pidana denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Tak hanya itu, Ekiawan juga dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 253.660 dolar Amerika Serikat (AS) dengan ketentuan apabila tidak dapat dibayar paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap maka harta benda Ekiawan dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.
"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun," tutur Hakim Ketua.
Adapun vonis tersebut sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu pidana penjara selama 9 tahun dan 4 bulan, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti senilai 253.664 dolar AS subsider 2 tahun penjara.
Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal meringankan vonis Ekiawan, yakni belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan keluarga yaitu istri dan anak, serta bersikap sopan di persidangan.
Sementara hal yang memberatkan vonis berupa perbuatan Ekiawan yang telah merugikan dana program Tabungan Hari Tua (THT), yang merupakan iuran dari 4,8 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dipotong langsung dari gaji mereka sebesar 3,25 persen setiap bulan.
Disebutkan bahwa dana tersebut merupakan jaminan hari tua bagi para ASN yang telah mengabdi kepada negara dengan gaji yang terbatas dan berharap mendapatkan jaminan finansial yang layak di hari tua.
Hakim Ketua menegaskan kompleksitas modus operandi yang dilakukan Ekiawan dengan menggunakan skema leading secara berlapis melalui PT Sinarmas Sekuritas, PT Pacific Sekuritas Indonesia, dan PT Valbury Sekuritas Indonesia, serta menggunakan lima reksa dana dalam pengelolaan PT IIM, yang menunjukkan adanya perencanaan matang dan tingkat kesengajaan yang tinggi.
Kemudian, hal memberatkan lainnya, yakni perbuatan Ekiawan telah melanggar sembilan ketentuan peraturan perundangan, termasuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang pedoman perilaku manajemen investasi dan POJK tentang reksa dana yang seharusnya menjadi pedoman dalam mengurusi pasar modal.
"Terdakwa juga tidak memiliki upaya pengembalian kerugian keuangan negara secara sukarela," ucap Hakim Ketua.
Dalam kasus itu, Ekiawan didakwa merugikan negara sebesar Rp1 triliun bersama. Bersama dengan mantan Direktur PT Taspen Antonius Kosasih, Ekiawan diduga melakukan investasi fiktif untuk memperkaya diri, orang lain, maupun korporasi sehingga menyebabkan kerugian negara.
Secara perinci, kasus tersebut memperkaya Kosasih senilai Rp28,45 miliar, 127.037 dolar Amerika Serikat (AS), 283 ribu dolar Singapura, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 20 pound Inggris, 128 yen Jepang, 500 dolar Hong Kong, dan 1,26 juta won Korea, serta memperkaya Ekiawan sebesar 242.390 dolar AS.
Selain keduanya, perbuatan melawan hukum tersebut turut memperkaya Patar Sitanggang sebesar Rp200 juta, PT Insight Investment Management (IIM) Rp44,21 miliar, serta PT Pacific Sekuritas Indonesia Rp108 juta.
Beberapa pihak lain yang diperkaya dalam kasus itu, yakni PT KB Valbury Sekuritas Indonesia senilai Rp2,46 miliar, Sinar Emas Sekuritas Rp44 juta, dan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (TPSF) Rp150 miliar.