Jakarta (ANTARA) - Komnas Hak Asasi Manusia merekomendasikan bahwa Mahkamah Konstitusi perlu menegaskan kembali agar setiap norma terkait proyek strategis nasional (PSN) dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja tunduk pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Ihwal rekomendasi tersebut disampaikan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P. Siagian pada persidangan terakhir pengujian materi sejumlah pasal UU Cipta Kerja di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.

"MK perlu menegaskan kembali bahwa setiap norma dalam Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang menyangkut PSN, harus tunduk pada prinsip negara hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (3) konstitusi serta penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A sampai dengan 28J konstitusi 1945," katanya.

Dalam hal ini, Komnas HAM sepakat dengan permohonan uji materi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan 19 pemohon lainnya dalam Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025.

Menurut Komnas HAM, ketentuan perihal PSN dalam UU Cipta Kerja mengandung kekaburan norma. Salah satunya adalah Pasal 3 huruf d yang mengatur tentang penyesuaian aspek pengaturan untuk kemudahan dan percepatan PSN.

Norma pasal itu dinilai kabur karena tidak menjelaskan ruang lingkup, kriteria objektif, maupun mekanisme penetapan PSN.

Ketidakjelasan itu, kata Saurlin, berpotensi multitafsir dan memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada pemerintah maupun badan usaha.

"Sehingga hak konstitusional warga negara atas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1), konstitusi beresiko terlanggar," ucapnya.

Ketidakjelasan kriteria penetapan PSN dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja juga dinilai membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang seharusnya terbuka. Konsekuensinya, partisipasi publik bermakna menjadi terhambat.

Norma yang demikian, menurut Komnas HAM, turut memperluas definisi kepentingan umum dan menyetarakan PSN dengan kepentingan umum tanpa batasan yang jelas.

Komnas HAM khawatir hal itu akan menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat kecil dan masyarakat adat.

Dalam tempo tiga tahun terakhir, Komnas HAM menerima setidaknya 114 pengaduan terkait PSN. Pola permasalahan yang diadukan cenderung berulang, seperti penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, hingga degradasi lingkungan hidup.

"Kami juga menemukan dalam kasus-kasus yang datang ke Komnas HAM, pengabaian prosedur konsultasi yang substantif terjadi, kemudian instrumen amdal hanya menjadi dokumentasi administratif, aparat diberi peran berlebihan untuk menekan perbedaan pendapat dan dampak sosial ekonomi yang meningkatkan kerentanan warga," imbuhnya.

Maka dari itu, pada poin rekomendasi lainnya, Komnas HAM berharap MK dapat melakukan penafsiran konstitusi yang tidak semata-mata bersifat tekstual dan kaku, tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta berorientasi pada perlindungan HAM.

Khusus terkait norma yang memperluas konsep kepentingan umum, Komnas HAM meminta MK untuk menilai ulang kesesuaiannya dengan konstitusi.

"Perlu ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dijadikan justifikasi bagi perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat tanpa mekanisme perlindungan yang memadai," katanya.

Saurlin menambahkan MK hendaknya menegaskan bahwa pelaksanaan PSN tidak dapat mengabaikan prinsip pengawasan dan keseimbangan, termasuk kewajiban pengawasan DPR dalam pembangunan.

"Terakhir, MK diharapkan mengeluarkan amar putusan yang tidak hanya bersifat korektif, tetapi juga preventif dengan menginstruksikan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki regulasi PSN agar sesuai dengan prinsip konstitusi, HAM, dan keberlanjutan lingkungan," kata Saurlin.

Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh YLBHI, Walhi, serta 19 pemohon lainnya yang terdiri atas badan hukum privat dan perorangan warga negara.

Para pemohon mempersoalkan Pasal 3 huruf d; Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 Ayat (2) dan Ayat (4); Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 ayat (2) dalam Pasal 124 Angka 1; Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 36 Angka 3; Pasal 17 A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam Pasal 18 Angka 15; serta Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 17 angka 18.

Para pemohon mendalilkan ketentuan yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN menggerus prinsip dasar negara hukum, serta menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional masyarakat.

Oleh sebab itu, dalam petitumnya, para pemohon memohon agar MK menyatakan sejumlah pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.