Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menyatakan kebijakan dan pelaksanaan program strategis nasional (PSN) harus memedomani Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai salah satu landasan yuridisnya.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah dalam persidangan terakhir pengujian materi mengenai ketentuan PSN dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.

“Kebijakan PSN dan dalam pelaksanaannya wajib mengikuti pedoman dan landasan yuridisnya,” tegas Ketua Komnas Perempuan yang dihadirkan MK sebagai pihak terkait dalam Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 itu.

Maria mengatakan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025–2029, PSN dilakukan dengan menggunakan prosedur dan kriteria yang jelas, akuntabel, serta mendukung pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945.

Di dalam RPJMN itu, kata dia, ditegaskan pula bahwa PSN dilakukan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengurangi kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan, serta mewujudkan swasembada pangan, energi, dan air.

Namun, sepanjang periode 2020–2024, Komnas Perempuan menerima 80 aduan terkait konflik sumber daya alam, agraria, dan penggusuran. Dari jumlah tersebut, 11 kasus teridentifikasi berkaitan dengan PSN yang korbannya tidak terkecuali perempuan.

Sejumlah dampak yang dirasakan perempuan korban, yaitu kehilangan nafkah, lonjakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kehilangan tanah, terluka secara fisik maupun sosial, kehilangan akses air bersih, pelecehan verbal, hingga kehilangan hutan, pangan, dan ruang hidup.

Maka dari itu, Komnas Perempuan sependapat dengan perkara uji materi yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan 19 pemohon lainnya ini.

Berdasarkan hasil analisis, Komnas Perempuan mengamini bahwa ketentuan terkait PSN dalam UU Cipta Kerja mengandung kekaburan norma. “Norma yang kabur membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan dalam praktik menimbulkan dampak diskriminatif terhadap perempuan,” ucap Maria.

Menurut Komnas Perempuan, pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengatur kemudahan dan percepatan PSN bagi kepentingan segelintir pihak merupakan tindakan diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.

“Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan kemudahan dan manfaat PSN seharusnya diprioritaskan kepada kepentingan masyarakat di lingkungan PSN dilaksanakan,” tuturnya.

Mengakhiri keterangan Komnas Perempuan, Maria menyampaikan rekomendasi agar majelis hakim MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan para pemohon demi terwujudnya keadilan bagi korban terdampak.

Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh YLBHI, Walhi, serta 19 pemohon lainnya yang terdiri atas badan hukum privat dan perorangan warga negara.

Para pemohon mempersoalkan Pasal 3 huruf d; Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 angka 2; Pasal 173 ayat (2) dan ayat (4); Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 31 angka 1; Pasal 44 ayat (2) dalam Pasal 124 angka 1; Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 36 angka 3; Pasal 17 A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam Pasal 18 angka 15; serta Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 17 angka 18.

Para pemohon mendalilkan ketentuan yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN menggerus prinsip dasar negara hukum, serta menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional masyarakat.

Oleh sebab itu, dalam petitumnya, para pemohon memohon agar MK menyatakan sejumlah pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.