Jakarta (ANTARA) - Dalam tradisi Islam, menghormati ulama, orang yang saleh, dan orang yang lebih tua merupakan bagian integral dari adab dan akhlak mulia yang harus dijaga dan diamalkan oleh setiap Muslim.

Nilai penghormatan ini, bukan sekadar bentuk sopan santun lahiriah, tetapi juga mencerminkan kedalaman iman, pengakuan terhadap ilmu, dan kesadaran akan hirarki spiritual yang menjadi fondasi masyarakat Islam.

Dalam sejarah peradaban Islam, sikap ini telah diteladankan oleh para sahabat Nabi, para tabi'in, tabi’ut tabiin, hingga para salafus shalih. Mereka tidak hanya menunjukkan penghormatan secara verbal, tetapi juga dalam tindakan nyata yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu contoh yang paling terkenal adalah kisah Ali bin Abi Thalib, sahabat, sekaligus menantu Rasulullah SAW, yang dikenal akan kedalaman ilmunya dan keteguhannya dalam berpegang pada kebenaran.

Dalam satu kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib mencium tangan dan kaki pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur (Al-Adab Al-Mufrad, No. 979).

Tindakan ini bukan semata-mata karena Abbas lebih tua dan memiliki hubungan kekerabatan, tetapi juga karena dia adalah sosok yang dihormati secara keilmuan dan kedudukan.

Dalam konteks budaya Arab, saat itu, mencium tangan atau kaki seseorang yang dihormati merupakan ekspresi penghargaan yang sangat tinggi, sebuah simbol pengakuan terhadap kemuliaan dan keutamaan.

Tradisi penghormatan semacam ini tidak berhenti pada generasi sahabat saja. Para tabi'in (generasi setelah sahabat) juga melanjutkan nilai luhur tersebut dengan penuh kesungguhan.

Muhammad bin Sirin, seorang tabi'in terkemuka yang dikenal akan kezuhudan dan ketajaman ilmunya, selalu berdiri ketika berjumpa dengan seseorang yang lebih tua atau lebih alim darinya. Ia, bahkan mencium tangan mereka sebagai tanda penghormatan (Siyar A’lam Al-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 4/606).

Sikap seperti ini menunjukkan bahwa ilmu dan pengalaman harus dihormati, dan bahwa seseorang yang memiliki keduanya layak untuk dimuliakan.

Contoh lain datang dari kisah yang sangat menginspirasi dalam dunia keilmuan Islam: Imam Muslim (w. 261 H), penyusun kitab Shahih Muslim, mencium tangan, bahkan kaki gurunya, Imam Bukhari (w. 256 H), sebagai wujud penghormatan yang luar biasa.

Muhammad bin Hamdun meriwayatkan bahwa ketika Imam Muslim berkunjung kepada Imam Bukhari, ia berkata: “Biarkanlah saya mencium kedua kakimu, wahai gurunya para guru, tuannya para muhaddits, dan dokter hadits dalam mengetahui illat-nya” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 10/100).

Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi ilmiah Islam, hubungan antara guru dan murid, bukan sekadar hubungan transfer ilmu, tetapi juga hubungan spiritual yang dilandasi cinta, hormat, dan pengakuan akan otoritas keilmuan.

Syaikh Utsaimin (w. 1421 H) memberikan penjelasan penting tentang praktik ini. Ia menyebutkan bahwa para sahabat pernah mencium kaki Nabi Muhammad SAW, dan Nabi tidak mengingkarinya.

Hal ini menjadi dalil bahwa mencium tangan atau kaki seseorang karena kemuliaan dan keutamaannya adalah hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama itu dilakukan dalam konteks penghormatan, bukan pengagungan yang berlebihan (Utsaimin, Syarah Riyadh as-Shalihin, 4/451).

Tindakan semacam ini juga merupakan bentuk tawadhu’ atau kerendahan hati yang menjadi ciri utama orang beriman. Menghormati ulama dan orang yang lebih tua juga memiliki makna simbolik yang mendalam di ajaran Islam.

Pertama, penghormatan ini menunjukkan kesadaran bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi".

Mereka bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga mewariskan misi kenabian: menyebarkan kebenaran, membimbing umat, dan menjaga kemurnian ajaran Islam.

Kedua, penghormatan kepada ulama juga merupakan bentuk syukur atas ilmu dan hikmah yang telah mereka curahkan. Tanpa pengorbanan dan perjuangan ulama, ilmu Islam tidak akan sampai kepada generasi berikutnya dengan kemurnian, seperti yang kita nikmati hari ini.

Dalam tradisi pondok pesantren di Nusantara, nilai penghormatan kepada kiai dan ulama masih sangat dijaga. Santri diajarkan untuk mencium tangan guru ketika berjumpa, membungkukkan badan sebagai bentuk sopan santun, hingga memberikan bisyaroh atau hadiah sebagai tanda terima kasih.

Tradisi ini bukanlah bentuk pengultusan, melainkan refleksi dari pemahaman mendalam bahwa ilmu tidak hanya diperoleh melalui pembacaan kitab, tetapi juga melalui keberkahan hubungan antara murid dan guru. Hubungan ini menjadi jalan bagi turunnya keberkahan ilmu dan terbukanya pintu hikmah.

Al-Qur’an dan hadits memberikan banyak dalil yang mendukung pentingnya menghormati ulama dan orang yang lebih tua. Salah satu ayat yang sangat relevan adalah firman Allah SWT: "Dan apabila orang-orang yang lebih tua dari kamu datang, hendaklah kamu memberi hormat” (QS An-Nur: 63).

Para mufassir menafsirkan kata “lebih tua” tidak hanya secara literal dalam hal usia, tetapi juga secara majazi, yaitu mereka yang lebih tua dalam pengalaman, ilmu, dan kebijaksanaan.

Rasulullah SAW juga bersabda: "Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda” (HR. Ahmad). Hadits ini menegaskan bahwa penghormatan kepada orang yang lebih tua merupakan bagian dari identitas umat Islam.

Nilai penghormatan kepada ulama dan orang yang lebih tua, sesungguhnya juga memiliki dimensi sosial yang sangat penting. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu dan pengalaman, akan tercipta hubungan yang harmonis antargenerasi.

Kaum muda akan tumbuh dengan rasa hormat terhadap pengetahuan dan tradisi, sementara kaum tua akan merasa dihargai dan termotivasi untuk terus membimbing.

Nilai-nilai seperti ini sangat relevan dalam konteks masyarakat modern yang sering terjebak dalam budaya individualisme dan sikap meremehkan otoritas keilmuan.

Menghormati ulama, bukan berarti menutup ruang kritik atau menempatkan mereka sebagai sosok yang tak bisa salah. Islam tetap mengajarkan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah dan Rasul-Nya.

Hanya saja, penghormatan kepada ulama adalah bentuk pengakuan bahwa mereka telah mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan umat. Ini adalah bentuk etika yang tidak boleh hilang dari peradaban Islam.

Pada akhirnya, menghormati ulama dan orang yang lebih tua, bukan hanya warisan masa lalu, melainkan kebutuhan masa kini dan masa depan.

Di tengah derasnya arus informasi dan disrupsi nilai, menjaga adab kepada ulama adalah cara menjaga kemurnian ilmu, memperkuat fondasi peradaban, dan memastikan bahwa mata rantai keilmuan Islam tetap utuh.

Ketika umat Islam kembali menempatkan ulama pada posisi yang mulia, maka ilmu akan menjadi cahaya yang membimbing peradaban menuju kemajuan yang hakiki, lahiriah dan batiniah.


*) KH Imam Jazuli Lc., MA adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

​​​​​​​