Penjilat di Istana Firaun: Cermin Lama untuk Dunia Modern
Arief Sulistyanto October 21, 2025 02:41 PM
Cermin dari Masa Lalu
Dalam sejarah peradaban, tirani tidak pernah berdiri sendiri. Di balik setiap penguasa yang zalim, selalu ada lingkaran orang-orang yang menjilat—mereka yang menukar nurani dengan kenyamanan, menukar kebenaran dengan kedekatan. Sejarah Firaun adalah contoh paling gamblang: ia tidak akan menjadi dewa di mata rakyat Mesir kuno tanpa barisan pembesar yang menyanjung dan membenarkan setiap kata dan kebijakan, bahkan yang jelas menindas.
Mereka bukan budak yang dipaksa, melainkan kaum elite yang rela menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka disebut sebagai al-mala’—yaitu para pembesar yang berfungsi memperkuat citra tirani.
Allah Subhanahu Wa Ta‘ala menggambarkan mereka:
Ayat ini memperlihatkan bahwa penopang kekuasaan zalim tidak hanya ada di puncak, tetapi juga di sekelilingnya—para elite pengabsah kebijakan yang menukar kebenaran dengan kepatuhan palsu. Mereka menafsirkan perintah Firaun sebagai kebijaksanaan, menjustifikasi kezaliman dengan dalih “stabilitas,” dan menutup telinga terhadap suara Musa yang membawa kebenaran. Dari sinilah kita belajar: penjilat adalah bahan bakar utama bagi setiap kekuasaan yang kehilangan moralitas.
Mereka menafsirkan perintah Firaun sebagai kebijaksanaan, menjustifikasi kezaliman dengan dalih “stabilitas,” dan menutup telinga terhadap suara Musa yang membawa kebenaran. Dari sinilah kita belajar: penjilat adalah bahan bakar utama bagi setiap kekuasaan yang kehilangan moralitas.
Dalam Al-Qur’an, potret ini tergambar nyata ketika para pesihir — simbol penjilat intelektual di istana Fir‘aun — mendatangi sang penguasa bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menawar keuntungan.
Allah Subhanahu Wa Ta‘ala berfirman:
Ayat ini menyingkap wajah klasik para penjilat : mereka hanya bergerak jika ada imbalan. Di masa Fir‘aun, imbalannya berupa harta dan kedudukan.
Di masa kini, bentuknya bisa berupa peluang bisnis, jabatan, akses politik, atau perlindungan dari dosa moral. Motivasinya sama: mengabdi bukan demi kebenaran, tetapi demi keuntungan. Dari masa ke masa, watak itu tetap lestari—hanya bungkus dan bahasanya yang berubah.
Menjilat: Gejala Psikologis dan Struktural
Menjilat bukan sekadar perilaku individu; ia adalah gejala struktural dalam organisasi yang kehilangan integritas.
Ketika sistem lebih menghargai kesetiaan semu daripada keberanian berkata benar, maka budaya menjilat akan tumbuh subur. Ia berawal dari rasa takut: takut kehilangan posisi, akses, atau pujian. Tapi lambat laun, rasa takut itu berubah menjadi kecanduan pengakuan, lalu menjadi budaya diam yang membunuh kejujuran.
Dalam psikologi organisasi, ini disebut path dependency of compliance—kepatuhan yang tidak lagi berbasis nilai, melainkan ketergantungan terhadap kekuasaan. Seseorang mulai belajar bahwa cara naik bukan dengan kinerja, tetapi dengan kemampuan membaca selera atasan.
Dan di titik itu, integritas berhenti menjadi kompas; yang bekerja hanyalah insting bertahan.
Kepemimpinan dan Lingkaran Palsu
Perbesar
Jadi pemimpin harus waspada, jika tidak bisa terjebak dalam lingkaran pujian palsu. Foto: Shutterstock
Setiap pemimpin, jika tidak waspada, bisa terperangkap dalam lingkaran pujian palsu. Lingkaran ini dibangun oleh mereka yang menyanjung, bukan karena kagum, tetapi karena ingin tetap dekat dengan sumber kekuasaan. Lama-lama, suara kebenaran lenyap—berganti dengan gema yang hanya memantulkan apa yang ingin didengar.
Pemimpin seperti ini akhirnya hidup dalam ruang gema yang memabukkan: ia mendengar pujian sebagai kebenaran dan menolak kritik sebagai ancaman.
Fenomena ini tidak hanya milik Fir‘aun. Dalam banyak organisasi modern—pemerintahan, korporasi, bahkan lembaga sosial—pola itu terus berulang: pemimpin yang ingin selalu disenangkan, dan bawahan yang ahli memproduksi kesenangan itu.
Hasilnya adalah deformasi moral organisasi: keputusan diambil bukan berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan kenyamanan. Ketika budaya ini merajalela, kebijakan kehilangan arah, dan yang lahir bukan lagi keadilan, tetapi kepalsuan yang rapi.
Bahaya Religius dan Sosial dari Menjilat
Dalam perspektif religius, menjilat adalah dosa yang halus tapi mematikan. Ia tumbuh dari KALBU yang kehilangan kejujuran, lalu menjalar menjadi kebiasaan spiritual yang menipu diri sendiri. Menjilat adalah bentuk kecil dari kemunafikan: mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan hati, menampakkan kesetiaan di luar, tapi menipu di dalam.
Bahaya terbesarnya bukan hanya pada pelakunya, tetapi pada kerusakan nilai dalam masyarakat.
Ketika penjilat diberi ruang dan pujian, masyarakat belajar bahwa kepalsuan bisa mengalahkan kejujuran. Anak muda belajar bahwa lebih aman menyenangkan atasan daripada menyuarakan kebenaran. Maka integritas, yang seharusnya menjadi fondasi bangsa, perlahan terkikis oleh logika oportunisme.
Dalam tataran pemerintahan, perilaku menjilat menciptakan sistem pengambilan keputusan yang rapuh : laporan dimanipulasi, masalah disembunyikan, dan kritik dipadamkan atas nama loyalitas. Padahal sesungguhnya, loyalitas tanpa kejujuran adalah pengkhianatan yang tersenyum.
Jalan Kembali: Keberanian dan Ketulusan
Obat dari budaya menjilat bukanlah kekerasan, tetapi pencerahan moral. Kepemimpinan yang sehat harus berani membangun ruang bagi kejujuran, bahkan jika itu menyakitkan.
Pemimpin sejati tidak dikelilingi oleh orang yang menyanjungnya, tetapi oleh orang yang berani menegurnya. Dan bawahan yang beriman tidak mencari kenyamanan di hadapan manusia, tetapi mencari ridha di hadapan Tuhan.
Keberanian berkata benar adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada pemimpin—sebagaimana para nabi mengingatkan umatnya, bukan untuk melawan, tetapi untuk menyelamatkan dari kebinasaan moral.
Dalam dunia modern yang penuh kepura-puraan, berkata benar adalah jihad yang paling berat, tetapi juga paling mulia.
Penutup: Cermin untuk Kita Semua
Kisah Firaun dan para penjilatnya bukan sekadar dongeng sejarah; ia adalah refleksi abadi tentang bagaimana kekuasaan dan kemunafikan saling memelihara.
Firaun tidak akan menjadi tiran tanpa para penjilat yang menyanjungnya, sebagaimana kekuasaan masa kini tidak akan rusak tanpa manusia yang membungkus kepalsuan dengan pujian.
Setiap zaman memiliki Firaun-nya, dan setiap Firaun memiliki para penjilatnya.
Apakah di barisan yang menyanjung karena takut, atau di barisan yang mengingatkan karena cinta?
Pada akhirnya, kejujuran tetap menjadi cahaya yang tidak bisa dipadamkan oleh pujian palsu. Ia mungkin redup di istana kekuasaan, tapi ia menyala di KALBU orang-orang yang masih berani berkata benar—bahkan ketika dunia memilih untuk diam.