Tersesat di Jalan Terang
Arief Sulistyanto October 21, 2025 02:41 PM
Biasanya orang tersesat di jalan gelap—di wilayah yang belum dikenalnya. Namun zaman kini menghadirkan ironi baru: banyak orang justru tersesat di jalan terang. Kita hidup di era ketika cahaya pengetahuan menyala di mana-mana, tetapi kegelapan hati merayap di mana-mana juga.
Dalam satu genggaman, manusia bisa membaca kitab, mendengar tausiyah, menonton refleksi moral, dan mengakses ribuan sumber kebijaksanaan. Semua tersedia, semua mudah, semua terang.
Namun paradoksnya, terang itu tidak menuntun, malah menyilaukan. Cahaya yang seharusnya membimbing menjadi topeng pembenaran. Orang merasa tercerahkan, padahal sedang berjalan menuju kegelapan yang ia ciptakan sendiri.

Ketika Cahaya Dipakai untuk Menipu

Kita menyaksikan betapa kebenaran diputar untuk membela kolega yang bersalah. Aturan hukum yang sudah terang benderang dimanipulasi dengan tafsir selera, demi melanggengkan kepentingan.
Ada kelompok yang berteriak “pembela nilai,” tetapi justru membela penyimpangan. Gerakan yang seolah membawa aspirasi rakyat, padahal digerakkan oleh ketakutan—takut kehilangan pengaruh, jabatan, dan privilese.
Lebih menyedihkan lagi, banyak yang tahu kebenaran tapi memilih diam, karena takut dikucilkan oleh lingkaran yang salah. Ada pula yang ikut-ikutan digerakkan—demi solidaritas, demi kenyamanan, demi menghindari rasa bersalah.
Dan yang paling ironis: muncul kelompok perempuan yang mengancam akan berunjuk rasa dengan membuka aurat, seolah tubuh menjadi senjata moral baru. Padahal, itu hanyalah ekspresi paling bising dari jiwa yang kehilangan arah dan malu pada cahaya.

Kegelapan Baru di Era Terang

Ini adalah wajah baru kegelapan: bukan soal cahaya, tapi pemahaman dan makna. Foto: REUTERS/Alexandre Meneghini
zoom-in-whitePerbesar
Ini adalah wajah baru kegelapan: bukan soal cahaya, tapi pemahaman dan makna. Foto: REUTERS/Alexandre Meneghini
Inilah wajah baru kegelapan: bukan tanpa cahaya, tapi terlalu banyak cahaya yang ditolak untuk dipahami. Manusia modern tidak lagi buta informasi, tapi buta makna. Ia membaca, tapi tidak merenung. Mendengar, tapi tidak mendengar dengan hati.
Di tengah arus data yang membanjir, manusia kehilangan kompas nurani.
Kegelapan hari ini bukan karena langit mendung, melainkan karena hati tertutup debu kepentingan. Yang resisten terhadap perubahan bukan karena tak tahu arah, tapi karena takut kehilangan kenyamanan di ruang gelap yang sudah mereka kenal.
Mereka membangun benteng status quo, mempertahankan keburukan dengan dalih stabilitas, dan menyebut kebohongan sebagai strategi. Mereka tahu jalan itu terang, tapi menolak melangkah ke sana — karena cahaya membuat mereka harus jujur.

Antara Penggerak dan yang Digerakkan

Ada dua jenis orang yang tersesat di jalan terang.
Pertama, para penggerak kegelapan, yang sadar sedang menipu publik, memelintir makna, dan menjual narasi untuk kepentingan sempit. Mereka pandai mengubah wajah keburukan menjadi citra kebaikan—manipulasi yang dibungkus moralitas.
Kedua, mereka yang digerakkan—orang-orang baik yang kehilangan daya kritis, yang mudah terpukau oleh narasi, yang menukar nalar dengan loyalitas.
Mereka tidak jahat, tapi juga tidak berani melawan kejahatan.
Mereka tidak buta, tapi menutup mata agar hidupnya tetap nyaman.
Dan begitulah kegelapan bekerja di zaman terang: bukan dengan meniadakan cahaya, melainkan dengan membuat manusia takut melihatnya.

Menemukan Jalan Pulang

Zaman ini tidak kekurangan cahaya, Masalahnya, kita kekurangan keberanian untuk menatapnya. Teknologi sudah menerangi dunia, tapi belum menyinari hati. Kita telah canggih berpikir, tapi belum jujur merasa.
Manusia modern sedang berjalan cepat — tapi tidak tahu ke mana. Sibuk mencari pembenaran, bukan kebenaran. Menuntut perubahan, tapi menolak introspeksi.
Dan pada akhirnya,terperangkap di persimpangan antara cahaya dan bayangan, lupa bahwa arah pulang hanya bisa ditemukan oleh hati yang mau diterangi.
Cahaya itu tidak pernah padam—hanya manusia yang berhenti menatapnya.
Dan ketika manusia berani kembali menatap cahaya itu, maka jalan yang dulu menyesatkannya akan menjadi jalan pulang menuju kejernihan hati dan kemerdekaan nurani.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.