BANJARMASINPOST.CO.ID- Meski sudah menjadi rahasia umum, pengakuan Menteri Sosial (Mensos) Saefullah Yusuf tentang ketidakuratan data penerima Bantuan Sosial (Bansos) tetap menjadi sorotan publik.
Mensos, seperti dikutip dari koran Banjarmasin Post edisi kemarin, juga mengakui ketidakakuratan itu mengakibatkan penyaluran Bansos sering tidak tepat sasaran.
Bansor sejatinya hadir untuk menolong masyarakat yang sedang kesulitan. Tujuannya jelas, agar warga yang terdampak ekonomi, kehilangan pekerjaan, atau hidup dalam kemiskinan tetap bisa bertahan.
Berbagai bentuk bantuan dialirkan, dari beras, sembako, bantuan langsung tunai (BLT), hingga subsidi bagi pelaku usaha kecil.
Semua tampak indah. Tetapi di balik itu, muncul pula pertanyaan besar: Apakah Bansos benar-benar untuk membantu rakyat atau pemberian yang mengatasnamakan penderitaan masyarakat?
Kenyataan di lapangan, penyaluran Bansos hingga kini tetap jauh dari sempurna. Masalah data penerima belum juga beres.
Di banyak daerah termasuk Kalsel, tidak sedikit orang yang mengaku bingung karena tetangga yang memiliki rumah besar dan kendaraan bisa menerima bantuan, sementara mereka yang hidup pas-pasan tidak mendapatkannya. Yang lebih menggelisahkan, penyaluran Bansos meningkat tajam menjelang perhelatan politik. Diberikan dalam berbagai “kemasan”.
Dalam konteks Kalsel, provinsi ini bukan daerah yang miskin sumber daya. Banua punya potensi besar di sektor pertambangan, pertanian, perikanan, perdagangan, bahkan pariwisata.
Apabila dikelola serius, potensi itu bisa membuka banyak lapangan kerja dan mengurangi ketergantungan terhadap bantuan.
Namun selama kebijakan sosial masih berputar pada pembagian Bansos tanpa pemberdayaan, rakyat akan terus “disuapi”, bukan diajari cara mencari makan sendiri. Akhirnya, muncul budaya baru di masyarakat: menunggu bantuan! Khawatirnya, semangat mandiri dan gotong royong yang menjadi ciri khas urang Banua bisa terkikis.
Di sinilah seharusnya pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat berani melakukan pembenahan besar. Pertama, perbaiki dulu data penerima Bansos agar benar-benar tepat sasaran. Libatkan Ketua RT, tokoh masyarakat, dan lembaga sosial untuk memastikan yang menerima, benar-benar layak.
Kedua, buka data penerima secara transparan agar publik bisa ikut mengawasi. Dan yang tak kalah penting, jadikan Bansos sebagai pintu masuk untuk program-program pemberdayaan. Bukan lagi sekadar “bagi-bagi” bantuan yang berakhir begitu saja.
Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sudah seharusnya perubahan terjadi. Inilah waktunya kita melihat Bansos bukan hanya bentuk kepedulian, tapi juga sebagai cermin moral kebijakan.
Pemerintah mesti berani menegaskan bahwa bantuan bukanlah alat politik, melainkan hak rakyat yang harus dikelola secara jujur dan adil.
Karena, bila Bansos terus dijadikan panggung pencitraan politik, rakyat hanya akan menjadi penonton dari permainan yang seharusnya tidak terjadi. Rakyat tidak butuh iba sesaat.
Mereka butuh kesempatan untuk berdiri tegak dan mandiri. Bantuan boleh datang, tapi jangan sampai membuat masyarakat ketagihan.
Bangsa yang kuat bukan dibangun dari tangan yang terus menengadah, melainkan dari tangan yang mau bekerja dan diberdayakan. (*)