Pemimpin Muda Sadar Iklim, Dorong Pariwisata yang Ramah Alam dan Berkelanjutan
kumparanTRAVEL October 27, 2025 01:40 PM
Di tengah meningkatnya geliat industri pariwisata di berbagai daerah, isu pariwisata berkelanjutan menjadi semakin mendesak.
Pasalnya, pertumbuhan pariwisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem, mengancam kehidupan masyarakat pesisir, dan pada akhirnya merugikan sektor wisata.
Karena itu, kesadaran generasi muda terhadap dampak lingkungan dan pentingnya pengelolaan wisata yang bertanggung jawab menjadi kunci masa depan pariwisata Indonesia.
Semangat itu yang diangkat dalam diskusi Academia Politica bertema “Wisata Toxic vs Wisata Berkelanjutan: Alam Rusak, Turis Pergi, Anak Muda Rugi?” yang digelar oleh Yayasan Partisipasi Muda (YPM) bekerja sama dengan mahasiswa Program Studi Ilmu Sosiologi Universitas Mataram, Sabtu (25/10/2025).
Diskusi ini mengajak anak muda memahami keterkaitan antara politik, pariwisata, dan keberlanjutan lingkungan.
Menurut Neildeva Despendya, Co-Founder sekaligus Direktur Eksekutif YPM, politik seharusnya digunakan untuk memperjuangkan keberlanjutan hidup bersama, bukan sekadar kepentingan kekuasaan. Ia menyoroti keputusan politik yang kerap mengabaikan aspek ekologi, seperti pemberian izin tambang di kawasan rawan bencana hingga deforestasi. Termasuk praktik “wisata toxic” yang bisa mempercepat kerusakan alam.
Ia menambahkan, generasi muda memiliki peran strategis dalam mengubah arah pembangunan wisata menuju model yang ramah lingkungan.
“Anak muda memiliki peran penting dalam mendorong perubahan politik yang berpihak pada bumi. Mereka bisa berkontribusi lewat advokasi, dialog kebijakan, atau aksi kecil di media sosial seperti membagikan kampanye lingkungan dan mengkritisi kebijakan publik. Masa depan generasi muda sangat ditentukan oleh keputusan politik hari ini,” kata Neildeva dalam paparannya di Gedung A FHISIP Universitas Mataram.
Perbesar
Diskusi Academia Politica bertema "Wisata Toxic vs Wisata Berkelanjutan: Alam Rusak, Turis Pergi, Anak Muda Rugi?" bersama mahasiswa Program Studi Ilmu Sosiologi Universitas Mataram, Sabtu (25/10/2025). Foto: Dok. Istimewa
Neildeva mengingatkan, cara pandang kapitalistik sering membuat masyarakat lupa pada nilai kebersamaan dan kesadaran lingkungan, termasuk pada sektor pariwisara. Karena itu, dia mengajak anak muda NTB untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan iklim dan politik publik melalui kampanye #PartisipasiUntukBumi.
Wisata Terumbu Karang hingga Konservasi
Dalam kesempatan yang sama, Raja Aditya Sahala dari lembaga riset SORCE menjelaskan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Ia menyebut sekitar 36 persen terumbu karang Indonesia telah rusak, termasuk di kawasan Bangko-Bangko, Lombok Barat.
“Kerusakan ini disebabkan oleh naiknya suhu laut, deforestasi mangrove, dan penggunaan energi batu bara yang masih mendominasi," kata Raja.
Menurut Raja, terumbu karang bukan sekadar daya tarik wisata, tetapi juga penopang ekonomi masyarakat pesisir. Karena itu, ia menekankan pentingnya konservasi berbasis komunitas, yang melibatkan masyarakat lokal melalui edukasi, restorasi karang, dan aksi bersih pantai.
"Menjaga terumbu karang berarti menjaga masa depan laut dan kehidupan masyarakat pesisir,” tegasnya.
Local Wisdom dalam Menjaga Alam
Perbesar
Ilustrasi terumbu karang. Foto: Dok. Kemenparekraf RI
Sementara itu, Lalu Kesuma Jayadi dari Badan Pemuda Adat Nusantara NTB menyoroti pentingnya kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam. Ia mencontohkan tradisi masyarakat adat Sasak seperti Rebo Bontong—hari nelayan berhenti melaut agar laut dapat “bernapas” kembali.
"Kearifan lokal ini bisa menjadi solusi menghadapi krisis iklim dan degradasi lingkungan," yakin Lalu. Ia juga menegaskan pentingnya payung hukum bagi masyarakat adat agar bisa berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Dari sisi pemerintah, Chandra Aprinova, Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata NTB, menyampaikan pariwisata berkelanjutan menjadi bagian dari tiga agenda besar pemerintah daerah bersama pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan.
"Konsep pariwisata ini menekankan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan tetap menghormati budaya lokal," tutur Chandra.
Chandra menyebut, sejumlah program telah dijalankan pemerintah, seperti gerakan wisata bersih, pelatihan sumber daya manusia pariwisata, pengawasan industri pariwisata, dan promosi budaya.
Dia memastikan, pariwisata berkelanjutan bukan hanya soal membangun destinasi baru, melainkan tentang bagaimana menciptakan pengalaman yang autentik, menarik, dan bermanfaat bagi masyarakat setempat.
"Lingkungan yang rusak berarti hilangnya daya tarik wisata, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat setempat," pungkasnya.