Pemda Bisa Pinjam ke Pusat, Ekonom Ingatkan Risiko Fiskal
kumparanBISNIS October 29, 2025 07:00 PM
Pemerintah resmi membuka peluang bagi pemerintah daerah (Pemda), BUMN, dan BUMD untuk mendapatkan pinjaman langsung dari pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025.
Aturan ini disebut sebagai upaya mempercepat pembangunan di daerah sekaligus menjaga kesinambungan proyek strategis nasional.
Namun, sejumlah ekonom menilai kebijakan ini menyimpan risiko besar terhadap stabilitas fiskal dan disiplin keuangan negara.
Ekonom Wijayanto Samirin menilai, kebijakan tersebut lahir dari kebutuhan pemerintah mengantisipasi tekanan fiskal di daerah.
“Pinjaman untuk Pemda tersebut, saya duga untuk mengantisipasi defisit APBD yang melejit akibat pemotongan TKD (transfer ke daerah) yang masif,” kata Wija kepada kumparan, Rabu (29/10).
Ia menjelaskan, sumber pinjaman ini berasal dari pembiayaan APBN, bukan belanja negara, sehingga tidak langsung menambah defisit APBN.
Namun, menurutnya, dana tersebut kemungkinan besar bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), yang pada akhirnya tetap menambah utang pemerintah pusat.
“Langkah ini tentunya sangat berisiko bagi sustainability fiscal nasional, mengingat PP 38 2025 seolah seperti memindah belanja APBN (TKD) menjadi pembiayaan APBN (pinjaman ke pemda dan BUMN),” ungkap Wija.
Pengamat Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengamat Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Ia bahkan menilai, kebijakan ini berpotensi menjadi bentuk financial engineering untuk menghindari pelanggaran batas defisit APBN 3 persen. Wija menyarankan pemerintah mengambil langkah yang lebih transparan dan jujur dalam menjaga fiskal.
“Solusi yang lebih ideal sesungguhnya adalah dengan melakukan APBN-P dan merelaksasi batas defisit 3 persen. Kendatipun tidak ideal, langkah ini lebih transparan dan terbuka,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan potensi moral hazard dari kebijakan pinjaman ini. Terutama jika daerah merasa tidak bertanggung jawab penuh terhadap utang yang diterimanya.
“Risiko ketergantungan fiskal pada pusat sangat besar, ini tidak bagus bagi otonomi daerah. Selain itu, risiko moral hazard sangat besar, pemda dan BUMN tahu bahwa mereka tidak mungkin default jadi bisa saja berpikir bahwa utang tersebut tidak perlu dibayar,” ujarnya.
Untuk mencegah hal tersebut, Wija menilai perlu adanya mekanisme pengawasan yang ketat agar pinjaman benar-benar produktif dan tidak menambah beban fiskal pusat.
“Pinjaman hanya diberikan dalam kondisi sangat urgent, untuk program produktif dan dilengkapi dengan jadual pengembalian yang jelas. TKD perlu dipotong di depan untuk pengembalian pinjaman sesuai jadual,” katanya.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat kebijakan ini dari sisi yang lebih strategis. Menurutnya, skema pinjaman dari pusat ke daerah dan BUMN dapat mempercepat pembangunan tanpa harus bergantung pada pinjaman luar negeri.
“Kalau kita melihat kebijakan pembukaan peluang pinjaman langsung dari pemerintah pusat kepada Pemda dan BUMN ini, secara makro memang tampak progresif dan strategis,” ujarnya.
Yusuf menilai, dalam jangka menengah, kebijakan ini bisa memberi dorongan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi juga menyimpan risiko bagi stabilitas fiskal nasional.
“Jika pinjaman ini tidak dikelola dengan hati-hati, total eksposur utang pemerintah baik eksplisit maupun implisit bisa meningkat. Beban fiskal pusat akan bertambah karena pada akhirnya risiko gagal bayar Pemda dan BUMN tetap berpotensi ditanggung oleh APBN,” jelasnya.
Seorang warga memegang uang rupiah baru yang ditukarkan melalui layanan mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di halaman Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Semarang, Jawa Tengah, Jumat (7/3/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga memegang uang rupiah baru yang ditukarkan melalui layanan mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di halaman Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Semarang, Jawa Tengah, Jumat (7/3/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Ia mencontohkan kasus China, di mana pinjaman besar-besaran ke pemerintah daerah sempat mendorong ekonomi, tetapi kemudian memunculkan krisis utang lokal karena lemahnya pengawasan.
“Banyak pemerintah daerah di China mengambil pinjaman besar untuk proyek-proyek yang tidak produktif atau tidak menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar kembali utang,” katanya.
Agar risiko tersebut tidak terjadi di Indonesia, Yusuf menegaskan perlunya pengawasan yang ketat dan transparan. Pemerintah harus memastikan hanya proyek produktif yang memperoleh pendanaan, disertai batas maksimal pinjaman dan audit independen. Ia juga menilai penting agar pinjaman tidak menggantikan fungsi Transfer ke Daerah (TKD) yang menjadi fondasi pemerataan fiskal.
“Jika pinjaman dari pusat digunakan sebagai pengganti, bukan pelengkap TKD, maka keseimbangan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bisa terganggu,” ujar Yusuf.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.