Keuangan Negara: Investasi untuk Masa Depan Bangsa
Aris Kurniyawan October 30, 2025 03:40 AM
Di ruang kelas, terkadang di sela-sela pelajaran Agama, saya sering melontarkan pertanyaan sederhana. “Anak-anak, kalau kalian diberi uang seratus ribu rupiah sekarang juga, mau dipakai untuk apa?” Jawabannya hampir selalu bisa ditebak dan meluncur deras: beli skin game, jajan seblak, atau nongkrong di kafe. Namun, di antaranya, ada jawaban lirih: "Saya tabung, Pak." Atau, "Saya kasih ke Ibu di rumah."
Dari percakapan kecil ini, saya tidak sedang menguji kemampuan berhitung. Saya sedang meneropong sesuatu yang fundamental: cara mereka memandang masa depan. Jawaban mereka adalah cermin 'horizon waktu' kemampuan menimbang kesenangan hari ini versus kebutuhan hari esok. Kebanyakan anak, secara alami, hidup di masa kini. Kesenangan instan terasa jauh lebih nyata.
Negara kita menghadapi pertanyaan yang sama, hanya saja dalam skala triliunan rupiah. Mohammad Hatta pernah mengingatkan bahwa tujuan bernegara bukanlah kemerdekaan itu sendiri, melainkan "mencapai masyarakat adil dan makmur". Visi luhur ini hanya bisa dicapai jika negara bijak mengelola keuangannya. Ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dirumuskan, pertanyaannya bukanlah "berapa banyak uang yang kita miliki?" melainkan "untuk apa uang ini akan kita gunakan?"
Di sinilah letak kebijaksanaan "keuangan negara". Ini bukan sekadar latihan akuntansi raksasa. Ini adalah dokumen nilai, refleksi prioritas kita sebagai bangsa, dan terpenting: komitmen investasi jangka panjang demi kesejahteraan generasi yang belum lahir.

APBN dan Spirit Kemanusiaan

Sebagai guru, saya melihat dampak keuangan negara secara langsung. Bukan sebagai angka statistik di berita, melainkan dalam wujud nyata di ruang kelas.
Saya teringat Anton (bukan nama sebenarnya), murid cerdas luar biasa dari keluarga sederhana. Tanpa Program Indonesia Pintar (KIP), ia mungkin sudah berhenti sekolah. Ketika negara mengalokasikan triliunan untuk pendidikan, itu bukan sekadar angka. Itu adalah negara yang berkata, "Anton, kami percaya padamu. Kami berinvestasi pada mimpimu." Dana BOS, digitalisasi, dan beasiswa adalah semangat yang membuat mimpi anak seperti Anton tetap hidup.
Ini adalah implementasi filosofi Ki Hajar Dewantara yang melihat pendidikan sebagai upaya "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak". 'Menuntun' butuh sumber daya. 'Kekuatan kodrat' itu adalah investasi. Keuangan negara adalah spirit untuk memastikan proses "menuntun" itu tidak padam. Investasi pada manusia adalah yang paling berharga. Infrastruktur fisik (seperti smartboard) akan rapuh dimakan waktu, tetapi manusia yang terdidik dan sehat akan terus berinovasi.

Dari Ruang Kelas Menuju Kesadaran Publik

Tugas guru bukan sekadar mengajar hitungan, tapi mengajarkan berpikir panjang. Tantangan saya adalah menjembatani konsep "uang negara" yang abstrak dengan realitas hidup mereka. Pendidikan finansial semestinya menjadi bagian integral kurikulum. Meski mengajar Pendidikan Agama, saya membawa realitas ini ke kelas lewat nilai-nilai praktis.
"Jalan raya mulus yang kalian lewati setiap pagi itu," kata saya suatu hari, "itu tidak muncul begitu saja. Itu dibangun pakai uang. Uang siapa? Uang pajak. Pajak dari orang tua kalian, gaji saya, dan setiap barang yang kita beli." Saya ingin mereka paham akan adanya 'kesepakatan tak tertulis' (kontrak sosial). Kita berkontribusi (lewat pajak) agar negara bisa menyediakan kebutuhan bersama (jalan, sekolah, rumah sakit).
Saat siswa memahami itu, mereka belajar mencintai negaranya bukan dengan slogan, tapi dengan kesadaran. Mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang 'sadar fiskal': paham uang negara berasal dari rakyat dan harus kembali ke rakyat; sadar haknya menuntut pelayanan, sekaligus sadar kewajibannya.

Membongkar Mitos: Belanja Negara sebagai Beban

Sering terdengar pandangan sinis di publik. "Uang negara habis untuk subsidi," "Bansos bikin rakyat malas," atau "Terlalu banyak dipakai bayar gaji guru ASN."
Sebagai guru swasta, saya melihatnya berbeda. Mari kita analogikan dengan sebuah keluarga. Apakah seorang ayah akan merasa uangnya "habis" ketika membelikan anaknya buku pelajaran atau membawanya ke dokter saat sakit? Tentu tidak. Itu adalah pengeluaran mutlak untuk pertumbuhan.
Sri Mulyani Indrawati sering menekankan bahwa APBN adalah "instrumen penjaga mimpi bangsa". Saya sepakat. APBN bukan laporan rugi-laba jangka pendek. Belanja negara yang produktif bukanlah beban, melainkan strategi. Subsidi energi menjaga roda usaha kecil berputar. Bantuan sosial dan program gizi adalah jaring pengaman agar potensi anak tidak hilang akibat gizi buruk. Gaji guru dan tenaga kesehatan adalah investasi langsung untuk memastikan generasi masa depan tumbuh sehat dan terdidik.
Tentu, yang menjadi "beban" sesungguhnya adalah ketika alokasi itu tidak tepat sasaran, atau lebih buruk lagi, dikorupsi. Musuh kita bukanlah "belanja negara", melainkan "pemborosan" dan "ketidakjujuran".

Guru Mitra Pengelola Amanah Publik

Sebagai guru sekolah swasta, saya memiliki perspektif unik tentang keuangan negara. Sekolah kami dikelola yayasan, namun juga menerima amanah publik berupa dana BOS. Di sinilah uang negara dikelola bersama sumber daya masyarakat untuk tujuan yang sama: pendidikan.Meskipun kami para guru tidak duduk di bagian keuangan yayasan, kami adalah 'corong' kebutuhan di lapangan. Kami ikut menentukan arah dana itu dan berhadapan dengan dilema alokasi.
Setiap rapat awal tahun ajaran, kami berdiskusi sengit. Prioritas mana dulu? Dana gabungan (BOS dan iuran) ini lebih mendesak untuk 10 komputer baru (investasi masa depan), atau memperbaiki toilet siswa (investasi kesehatan dasar)? Pilihan itu tidak pernah mudah. Dalam musyawarah inilah kami belajar arti transparansi dan akuntabilitas. Uang BOS adalah uang rakyat. Sebagai institusi swasta, kami memiliki tanggung jawab ganda: kepada negara sebagai pemberi amanah, dan kepada orang tua siswa.
Saat kami mencontohkan integritas dalam mengusulkan kebutuhan dan menggunakan fasilitas yang dibeli (sebagian) dari uang publik dengan penuh tanggung jawab, kami sedang menanamkan pendidikan anti-korupsi dalam bentuk paling konkret kepada murid-murid kami.

Mendidik untuk Generasi yang Belum Lahir

Bagi saya, bicara keuangan negara adalah bicara tentang cinta lintas generasi. Setiap kebijakan fiskal yang berpihak pada pendidikan, kesehatan, dan lingkungan adalah cara kita mewariskan masa depan.
Kita tidak menanam pohon untuk kita naungi sendiri esok hari. Kita menanamnya untuk anak-cucu kita. Begitu pula dengan APBN. Setiap rupiah yang dialokasikan untuk riset, beasiswa, atau energi bersih, adalah benih untuk masa depan yang mungkin tak sempat kita lihat.
Sebagai guru, saya percaya tugas utama saya bukan hanya mencetak siswa yang pandai matematika, tapi membantu membentuk cara pandang mereka terhadap tanggung jawab kolektif.
Bangsa yang cerdas bukan hanya yang rakyatnya tahu cara menghasilkan uang. Bangsa yang cerdas dan bijak adalah yang rakyatnya tahu cara menggunakan uang itu secara pribadi maupun kolektif dengan visi jernih dan hati bersih demi masa depan bersama.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.