Ibu di Karawang Dibui karena Tak Bayar Kredit Mobil, Bayinya Sakit Tak Dapat ASI
kumparanNEWS October 30, 2025 04:40 PM
Seorang ibu menyusui di Karawang, Jawa Barat, bernama Neni Nuraeni (37), harus mendekam di tahanan akibat kasus fidusia (jaminan untuk pinjaman) terkait kredit kendaraan bermotor.
Penahanan terhadap Neni dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Karawang pada 22 Oktober 2025—saat keesokannya ia akan menjalani sidang pertama. Akibat penahanan itu, bayinya yang masih berusia 11 bulan mengalami sakit-sakitan karena tidak mendapat asupan ASI.
Kuasa hukum Neni, Syarif Hidayat, menilai penahanan ini tidak berperikemanusiaan dan mengabaikan hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014.

Bayi Alami Sakit-sakitan

Syarif mengungkap, sejak Neni ditahan 6 hari lalu, kondisi kesehatan bayinya dikabarkan memburuk. Anak tersebut kini mengalami demam karena tidak lagi menerima ASI sebagaimana biasanya.
"Penahanan terhadap klien kami jelas melanggar hak anak. Sudah lebih dari enam hari ditahan, bayi Neni kini sakit dan demam, diare karena tidak mendapatkan ASI dari ibunya," ucap Syarif kepada kumparan, Kamis (30/10).
Sementara ini, kata Syarif, bayi tersebut kini dirawat oleh ayah kandung dibantu tetangga terdekat.
Kuasa hukum (kanan), Syarif Hidayat dan suami terdakwa, Denny Darmawan. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kuasa hukum (kanan), Syarif Hidayat dan suami terdakwa, Denny Darmawan. Foto: kumparan
"Hak anak untuk mendapatkan ASI dan kasih sayang ibu adalah hak konstitusional yang dijamin Undang-Undang. Tapi dalam kasus ini, proses hukum justru mengorbankan kesehatan seorang bayi. Ini pelanggaran serius hak anak," tegasnya.
Ia heran mengapa hakim yang memutuskan penahanan ini tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
"Kami minta keadilan. Seorang ibu yang masih menyusui tidak sepatutnya ditahan kecuali untuk kejahatan berat. Ini hanya perkara fidusia, perdata yang dipidanakan. Sangat tidak manusiawi kalau sampai mengabaikan hak anak," tegasnya.

Sekilas Kasus

Kasus berawal saat suami Neni, Denny Darmawan (34), mengajukan kredit mobil second di sebuah perusahaan jasa keuangan pada tahun 2023.
Pengajuan kredit akhirnya memakai nama Neni sebagai pihak yang disetujui karena sang suami terkendala BI Checking dan statusnya sebagai buruh lepas.
Angsuran hanya berjalan enam kali. Setelah itu, suami Neni mengalihkan mobil kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Neni. Kendaraan tersebut kemudian dikabarkan hilang dan sempat terbakar saat digunakan pihak lain.
Pihak perusahaan pun lantas melaporkan kasus ini ke Polres Karawang atas dasar pelanggaran UU Fidusia dan penggelapan.
Neni awalnya hanya diperiksa sebagai saksi. Namun, pada akhir 2024 penyidik kemudian menaikkan statusnya menjadi tersangka, meskipun yang menguasai mobil adalah suaminya.
Denny Darmawan, suami terdakwa Neni Nuraeni bersama sang anak. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Denny Darmawan, suami terdakwa Neni Nuraeni bersama sang anak. Foto: kumparan
"Meski saat itu Neni berstatus tersangka, polisi dan kejaksaan tidak melakukan penahanan dengan alasan Neni masih memiliki bayi yang membutuhkan ASI," ucap Syarif.
Kemudian pada 22 Oktober 2025, saat perkara masuk ke PN Karawang, situasi berubah. Hakim memerintahkan penahanan terhadap Neni sekitar pukul 18.00 WIB.
Ketika itu Neni dijemput di rumahnya dan langsung dibawa ke Rutan Lapas Karawang.
Keesokannya sidang pertama pun digelar. Kuasa hukum mengajukan permohonan pengalihan penahanan agar Neni tidak dipisahkan dari bayinya. Namun hingga hari keenam, permohonan belum dikabulkan.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum menjerat Neni dengan Pasal 36 UU Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 dan Pasal 372 KUHP (penggelapan). Namun, kuasa hukum menilai penerapan dua pasal ini keliru.
"Fidusia adalah lex specialis, tidak boleh dicampurkan dengan pasal umum KUHP. Ini cacat formil dan dari awal kami melihat ada penerapan pasal yang tidak tepat," kata Syarif.

Permohonan Pengalihan Penahanan

Juru Bicara PN Karawang, Hendra Kusumawardana, membenarkan bahwa tim kuasa hukum terdakwa telah mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan.
Permohonan tersebut sedang dipertimbangkan oleh majelis hakim yang memeriksa perkara.
"Dari pihak terdakwa melalui penasihat hukum telah mengajukan permohonan pengalihan tahanan. Permohonan itu sudah kami terima dan akan diputuskan dalam sidang berikutnya melalui penetapan majelis hakim," jelasnya.
Menurut Hendra, mekanisme pengalihan tahanan dalam hukum acara pidana dimungkinkan sepanjang memenuhi syarat objektif dan subjektif sesuai ketentuan Pasal 21 KUHAP. Namun, keputusan tetap berada di tangan majelis hakim yang independen.
"Soal alasan permohonan dan pertimbangannya, itu menjadi ranah majelis hakim. Kami tidak bisa menyampaikan materi perkara secara detail kepada publik karena masuk pada substansi persidangan," tegasnya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.