5 Tipe Komunikasi yang Menghancurkan Pernikahan, Salah Satunya Ketidakjujuran
Mia Della Vita October 31, 2025 07:34 AM

Grid.ID- Pernikahan ideal selalu diimpikan sebagai hubungan yang penuh cinta, saling pengertian, dan dukungan tanpa batas. Namun, di balik keharmonisan itu, komunikasi justru bisa menjadi sumber kehancuran jika dijalankan dengan cara yang salah.

Banyak pasangan tidak menyadari bahwa cara mereka berbicara, berdebat, atau bahkan diam bisa menggerogoti fondasi hubungan sedikit demi sedikit. Dalam banyak kasus, masalah bukan terletak pada perbedaan pandangan, melainkan pada pola komunikasi yang destruktif.

Alih-alih menyelesaikan konflik, komunikasi yang buruk justru menimbulkan luka emosional yang mendalam. Mengutip Marriage.com, Kamis (30/10/2025), berikut lima tipe komunikasi yang diam-diam bisa menghancurkan pernikahan, dan bagaimana dampaknya terhadap hubungan jangka panjang.

1. Berusaha Menang dalam Perdebatan

Tipe komunikasi pertama yang sering merusak pernikahan adalah ketika salah satu atau kedua pasangan selalu ingin menang. Dalam pola ini, perdebatan bukan lagi tentang menemukan solusi bersama, melainkan tentang siapa yang lebih unggul. Ungkapan seperti “Kau memang selalu salah!” atau “Kau tak pernah mau mendengar!” menjadi senjata dalam “pertempuran rumah tangga.”

Strategi seperti membuat pasangan merasa bersalah, mengintimidasi, atau terus-menerus mengeluh digunakan untuk menundukkan pihak lain. Meski sesaat tampak berhasil, kemenangan semu ini justru meninggalkan luka dalam hubungan. Rasa cinta berganti dengan ketakutan atau kepasrahan, menjadikan pernikahan terjebak dalam hubungan dominan-submisif tanpa kasih sayang sejati.

2. Selalu Ingin Benar

Kebutuhan untuk selalu benar merupakan bentuk komunikasi destruktif lain yang sering muncul dalam pernikahan. Pasangan yang terus-menerus berdebat untuk membuktikan dirinya benar biasanya terjebak dalam lingkaran argumen tanpa akhir. Kalimat seperti “Kamu nggak ngerti apa-apa!” atau “Aku sudah bilang, kamu yang salah!” menjadi cermin bahwa ego mengalahkan empati.

Masalahnya, dalam pernikahan, keinginan untuk selalu benar membuat pasangan sulit mendengarkan dan memahami satu sama lain. Butuh kerendahan hati untuk mengakui kemungkinan diri sendiri bisa salah. Tanpa itu, perdebatan hanya menjadi ajang saling menyalahkan, bukan ruang untuk memperbaiki hubungan.

3. Tidak Lagi Berkomunikasi

Banyak pernikahan hancur bukan karena pertengkaran, tetapi karena keheningan yang berkepanjangan. Saat pasangan berhenti berbicara satu sama lain, hubungan kehilangan makna. Ada banyak alasan di balik diamnya seseorang, mulai dari takut tidak didengar, enggan terlihat lemah, atau merasa pembicaraan hanya akan berakhir dengan pertengkaran.

Ketika komunikasi berhenti, emosi tetap mencari jalan keluar. Akibatnya, perasaan diungkapkan melalui tindakan seperti tidak lagi saling menyapa, tidak berbagi cerita, hingga mencari pelarian melalui perselingkuhan. Ini adalah bentuk purgatory dalam pernikahan—hidup berdampingan tanpa koneksi emosional, hanya menjalani rutinitas tanpa cinta.

4. Berpura-pura Berkomunikasi

Salah satu bentuk komunikasi yang tampak baik di permukaan namun beracun di dalam adalah berpura-pura mendengarkan. Dalam pola ini, satu pihak berbicara seolah ingin berdialog, namun sebenarnya hanya ingin didengar atau mengajar. Di sisi lain, pasangannya mendengarkan sekadar untuk menghindari konflik, bukan karena benar-benar memahami.

Setelah “percakapan” seperti ini, pasangan mungkin tampak bahagia di depan orang lain—tersenyum, bergandengan tangan, menghadiri acara sosial bersama. Namun di balik itu, tidak ada kejujuran emosional. Mereka hidup dalam kepalsuan, menghindari konfrontasi karena takut membuka luka lama. Lama-kelamaan, pernikahan berubah menjadi sandiwara tanpa kedalaman perasaan.

5. Berusaha Menyakiti

Tipe komunikasi paling berbahaya dalam pernikahan adalah ketika percakapan berubah menjadi senjata untuk saling melukai. Tujuannya bukan lagi mencari kebenaran atau penyelesaian, melainkan membalas dendam secara verbal. Kalimat kasar seperti “Aku menyesal menikah denganmu!” atau “Tidak ada orang lain yang mau sama kamu!” sering muncul dalam hubungan yang dipenuhi kebencian.

Biasanya, pasangan dalam situasi ini sudah kehilangan rasa hormat dan empati. Mereka saling menjatuhkan untuk menutupi kekosongan emosional yang lebih dalam. Pola komunikasi seperti ini bisa menghancurkan pernikahan sepenuhnya, meninggalkan trauma psikologis yang sulit disembuhkan bahkan setelah hubungan berakhir.

Komunikasi adalah jantung dari pernikahan. Cara pasangan berbicara, mendengar, dan merespons satu sama lain menentukan apakah hubungan akan tumbuh atau hancur.

Lima pola di atas menunjukkan bagaimana ego, keheningan, dan kepura-puraan bisa mengikis cinta sedikit demi sedikit. Menyadari bentuk komunikasi destruktif ini adalah langkah awal untuk memperbaiki hubungan. Karena dalam pernikahan, bukan siapa yang menang atau benar yang penting, melainkan bagaimana dua hati bisa saling memahami dan bertahan bersama.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.