Oleh:
Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Wasekjen Pelatihan dan Kaderisasi Pengurus Pusat Pemuda Katolik 2021-2024
DI antara riuh rendah dunia anak muda yang kian cair dan tanpa arah komitmen, kehadiran Pasukan Komando Pemuda Katolik (Paskokat) bagai percikan bara dalam bara – menggugah kesadaran baru tentang arti beriman secara militan, tanpa kehilangan cinta kasih. Ia lahir bukan untuk menebar kekuasaan, melainkan untuk menegakkan keberanian moral di tengah dunia yang makin kehilangan kompas etis. Di sinilah Paskokat menegaskan eksistensinya: sebuah gerakan yang memadukan disiplin, iman, dan tanggung jawab sosial, dalam bingkai Katolik yang kontekstual dan terbuka.
Eksistensi yang Lahir dari Militansi Nilai
Kelahiran Paskokat bukan sekadar proyek organisasi, melainkan manifestasi spiritual dari dinamika Pemuda Katolik itu sendiri – sebuah organisasi yang, sejak awal abad ke-20, telah mengemban tanggung jawab membentuk kader muda Gereja yang tangguh dalam iman dan terlibat dalam dunia (Suryadinata, 2016). Dalam konteks itu, Paskokat muncul sebagai wujud konkret dari spiritualitas inkarnasi: iman yang menjelma dalam tindakan, dalam ruang sosial dan politik yang nyata.
Pelatihan Dasar (Latsar) Gelombang II yang diselenggarakan di Pasar Tematik, Tongkaina, Kelurahan Bunaken Darat, Kota Manado, Sulawesi Utara, pada 31 Oktober–2 November 2025, menghadirkan lebih dari 80 peserta muda – dari Sulut, Sulbar dan Sulteng. Mereka adalah representasi keberagaman Katolik Indonesia Timur, yang digembleng dalam disiplin spiritual, ideologis, dan kebangsaan di bawah kepemimpinan Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma selaku Panglima Paskokat, Komandan Nasional Paskokat, Yustinus Wuarmanuk dan tim kerja.
Konteks lokal ini memberi makna lebih dari sekadar pelatihan teknis: Paskokat memulihkan semangat militansi moral di tengah generasi yang kerap kehilangan idealisme dan arah perjuangan sosial. Di sanalah letak eksistensi etis dan filosofisnya.
Militansi Sebagai Etos Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Secara filosofis, eksistensi Paskokat dapat dibaca dalam kerangka eksistensialisme personalis. Kebebasan manusia, kata Emmanuel Mounier (1949), menemukan maknanya bukan dalam keinginan tanpa batas, melainkan dalam tanggung jawab dan solidaritas. Militansi Paskokat bukanlah agresi, melainkan komitmen sadar untuk membela nilai-nilai kehidupan. Dalam kerangka ini, komando tidak berarti ketaatan buta, tetapi kesetiaan pada cita-cita yang melampaui kepentingan pribadi.
Etos Paskokat menegaskan bahwa kebebasan sejati harus diarahkan kepada kebaikan bersama (bonum commune). Militansi iman menjadi bentuk perlawanan terhadap nihilisme modern – terutama di kalangan muda – yang cenderung menafikan makna, disiplin, dan arah moral. Dalam konteks inilah, keberadaan Paskokat menjadi antidot bagi generasi yang kerap terjebak dalam relativisme moral dan konsumerisme digital (Taylor, 2007).
Kekuatan, Ketaatan, dan Cinta Kasih
Secara etis, Paskokat berdiri pada paradoks yang luhur: menjadi kuat tanpa kehilangan kelembutan, menjadi disiplin tanpa kehilangan cinta. Dalam etika Kristiani, kekuatan sejati bukanlah kekuasaan atas orang lain, melainkan kekuasaan atas diri sendiri (Aquinas, Summa Theologica). Maka, latihan-latihan fisik dan mental dalam Paskokat bukan semata penguatan fisik, tetapi pembentukan karakter moral: jujur, berani, setia, dan berbelarasa.
Etika Paskokat memadukan unsur virtue ethics Aristoteles (2009) – yang menekankan kebiasaan baik – dengan spiritualitas kasih Kristiani. Dalam dunia yang mudah menyebar kebencian, militansi kasih menjadi revolusioner. Ketaatan terhadap komando dan struktur bukanlah bentuk perbudakan, tetapi latihan kerendahan hati – suatu kebajikan yang semakin langka dalam budaya instan.
Komando Iman dalam Tradisi Katolik
Dalam perspektif teologis, Paskokat meneguhkan prinsip bahwa iman bukan sekadar pengakuan intelektual, melainkan tindakan nyata di dunia. Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa iman harus “bekerja melalui kasih” (Gal 5:6). Militansi Paskokat menghidupkan kembali semangat Ecclesia Militans – Gereja yang berjuang di dunia, sebagaimana diajarkan sejak Konsili Trente.
Paskokat hadir sebagai armatura fidei (perisai iman), bukan dalam arti militeristik, tetapi spiritual: siap sedia mempertahankan martabat manusia, keadilan, dan kebenaran Injil di ruang publik (Rahner, 1978). Disiplin dan struktur komando Paskokat mencerminkan spiritualitas Ignasian – “menemukan Allah dalam segala hal” – dengan menekankan ketangguhan batin dan ketaatan rasional.
Dalam konteks Gereja Katolik Indonesia, kehadiran Paskokat adalah panggilan untuk menjawab tantangan zaman: bagaimana mengintegrasikan iman dengan aksi sosial, tanpa kehilangan rohnya sebagai bagian dari tubuh Kristus yang melayani.
Dari Tentara Kristus Menuju Pelayan Kemanusiaan
Kitab Suci sering menggunakan metafora militer bukan untuk kekerasan, melainkan untuk keteguhan iman. Paulus menulis, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (Ef 6:11). Dalam kerangka ini, Paskokat menjadi simbol kontemporer dari tentara Kristus yang berjuang melawan kejahatan sosial, korupsi moral, dan ketidakadilan struktural.
Namun Paskokat juga dipanggil untuk meneladani Kristus yang “tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mrk 10:45). Militansi Paskokat harus berpuncak pada diakonia: pelayanan penuh kasih terhadap sesama. Ketegasan dan kasih mesti berjalan beriringan, sebab tanpa kasih, segala perjuangan hanya menjadi gema kosong (1Kor 13:1).
Dengan demikian, Paskokat bukanlah pasukan yang berperang, tetapi pasukan yang melayani; bukan pasukan yang menaklukkan, tetapi pasukan yang menyembuhkan luka sosial umat.
Paskokat di Tengah Krisis Solidaritas
Konteks sosial Indonesia hari ini memperlihatkan gejala krisis solidaritas: meningkatnya individualisme, polarisasi politik, dan lunturnya semangat gotong royong (Latif, 2018). Dalam situasi ini, Paskokat memiliki peran penting untuk menghadirkan wajah baru keterlibatan sosial Katolik: yang disiplin, berakar, dan tangguh.
Kehadiran lebih dari 80 peserta dalam Latsar Gelombang II di Tongkaina merupakan simbol kebangkitan solidaritas muda Katolik yang ingin mengabdi, bukan sekadar eksis. Mereka dilatih bukan hanya menjadi “penjaga Gereja”, tetapi “penjaga kehidupan sosial” yang konkret – melalui aksi kebencanaan, kemanusiaan, dan pembelaan martabat manusia.
Dengan keterlibatan lintas daerah (Sulut, Sulteng, Sulbar), Paskokat juga menampilkan model persaudaraan trans-regional, memperluas solidaritas Katolik menjadi jejaring Nusantara. Militansi sosial seperti ini adalah jawaban terhadap krisis fragmentasi dan intoleransi yang masih menghantui ruang publik Indonesia.
Tubuh, Disiplin, dan Makna Diri
Dari sisi antropologis, Paskokat menegaskan kembali kesatuan antara tubuh dan jiwa dalam pengalaman religius. Latihan fisik dan kedisiplinan tubuh dalam pelatihan bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga cara membentuk kesadaran diri. Michel Foucault (1977) pernah menyebut tubuh sebagai “medan kekuasaan,” tetapi dalam konteks Paskokat, tubuh menjadi medan pembebasan: disiplin yang menumbuhkan penguasaan diri, bukan penaklukan orang lain.
Paskokat menolak dikotomi modern antara spiritualitas dan materialitas. Dalam tubuh yang terlatih, iman menemukan ekspresinya. Dalam gerak yang tertib, nilai menemukan wujudnya. Antropologi Katolik selalu melihat manusia sebagai kesatuan yang utuh – imago Dei – maka Paskokat sebenarnya sedang menghidupkan kembali kesadaran manusiawi yang integral: bahwa tubuh pun dapat menjadi bahasa iman.
Etika Kader dan Pembelaan terhadap Keadilan
Dalam ranah politik, eksistensi Paskokat tidak boleh disalahpahami sebagai paramiliterisasi Gereja, melainkan sebagai formasi etika kader. Politik yang bermoral membutuhkan generasi yang disiplin dan berani, bukan yang tunduk pada arus populisme atau kepentingan pragmatis.
Pemuda Katolik, melalui Paskokat, hendak menunjukkan bahwa komando tertinggi dalam hidup publik adalah hati nurani. Militansi mereka bukan pada senjata, tetapi pada komitmen terhadap kebenaran dan keadilan sosial (John Paul II, 1991). Paskokat dapat menjadi laboratorium bagi kader muda Katolik untuk belajar tata nilai politik yang beradab – di mana loyalitas pada negara sejalan dengan kesetiaan pada Injil.
Dalam konteks politik Indonesia yang sering dirusak oleh patronase dan transaksionalisme, kehadiran kader beretika seperti ini adalah oase moral yang langka. Paskokat memberi inspirasi: politik harus dijalani dengan disiplin spiritual dan tanggung jawab etis.
Dari Disiplin ke Transformasi
Relevansi Paskokat di masa kini terletak pada kemampuannya membentuk karakter muda Katolik yang tangguh di tengah dunia digital yang serba cair. Ia menjadi penanda kebangkitan kesadaran baru bahwa iman tidak cukup diwartakan, tetapi harus diperjuangkan secara konkret dalam ruang sosial dan politik.
Implikasinya, Paskokat dapat berperan sebagai model formasi kepemimpinan lintas ranah—dari Gereja, masyarakat, hingga kebangsaan. Militansi mereka memberi inspirasi bagi pembaruan Gereja yang lebih terlibat dan bagi negara yang lebih beradab.
Di masa depan, keberhasilan Paskokat tidak akan diukur dari jumlah pasukannya, melainkan dari seberapa jauh mereka menjadi garam dan terang di tengah masyarakat – mereka yang “berpikir keras, berdoa dalam, dan bekerja nyata”.
Bara yang Menyalakan Harapan
Di tengah krisis nilai dan banalitas zaman, Paskokat adalah tanda harapan. Ia menghadirkan kembali gagasan klasik bahwa iman sejati selalu berani, dan keberanian sejati selalu berakar pada kasih. Dalam disiplin tubuh, mereka belajar kerendahan hati. Dalam latihan komando, mereka belajar ketaatan kepada nilai. Dalam kebersamaan lintas daerah, mereka menemukan makna Gereja yang universal.
Paskokat bukan sekadar “pasukan,” tetapi simbol zaman baru kaum muda Katolik: kuat dalam iman, teguh dalam moral, dan lembut dalam pelayanan. Di antara riuh dunia yang kian bising, mereka hadir diam-diam – sebagai bara kecil yang menyalakan terang besar bagi kemanusiaan. (*)