Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID - FILM yang paling diminati penonton, kata hasil jajak pendapat Kompas (31/10/2025), adalah cerita dengan akhir bahagia (happy ending). Dari 236 penonton yang dihubungi di 38 provinsi pada 11-14 Agustus 2025 lalu, 38 persen menyukai film drama yang berakhir bahagia, dan hanya 2,7 persen yang memilih akhir sedih. Jumlah itu lebih besar lagi jika dibatasi hanya pada kelas ekonomi atas, yakni 40,7 persen yang menyukai akhir bahagia, dan tak satu pun yang memilih akhir sedih. Sebaliknya, di kelompok ekonomi rendah, 33,3 persen memilih akhir bahagia, dan 8,3 persen memilih akhir sedih.
Film drama, yang mengisahkan suka-duka dan kerumitan hidup manusia tentu dapat menjadi cermin bagi penonton. Sebagaimana sastra, film juga lahir dari renungan atas fakta yang dibalut dengan imajinasi menjadi fiksi. Bagi banyak orang, hidup sehari-hari kini terasa berat dan melelahkan. Entah mengapa, kini hidup mausia makin paradoks. Semakin maju ekonomi, semakin tinggi pula beban hidup yang harus ditanggung. Kisah pergumulan hidup manusia yang berat dengan akhir bahagia tentu saja melapangkan dada dan dapat menumbuhkan optimisme serta harapan.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa kelas atas tak suka film dengan akhir sedih, sementara sebagian kelas bawah masih menyukainya? Data ini tentu masih perlu pendalaman. Namun, jika kita boleh berspekulasi, mungkin kelas atas itu sudah terbiasa dengan kenyamanan hidup sehingga sangat takut akan penderitaan. Sebaliknya, bagi kelas bawah, penderitaan adalah kenyataan sehari-hari, dan karena itu, film dengan akhir sedih tidak saja realistis, tetapi juga membuat mereka merasa bahwa manusia lain pun ada yang menderita, bahkan lebih menderita, daripada mereka.
Namun, mungkin pula bahwa kelas atas itu tidak suka pada cerita film dengan akhir sedih karena mereka memang cenderung tak mau peduli dengan penderitaan orang lain. Mereka perlahan-lahan kehilangan empati, yakni kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Jika tafsir ini benar, maka tak heran kalau kalangan atas itu cenderung tega melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat, terutama kelas bawah. Bukankah yang melakukan korupsi gila-gilaan adalah dari kelas atas? Bukankah mereka pula yang tega merusak alam lingkungan demi memperkaya diri sendiri?
Terkait rasa empati tersebut, Buya HAMKA pernah mengatakan, jika seorang pendosa ingin menjadi orang baik dan bertobat, maka sebaiknya dia membaca cerita-cerita sedih. Roman-roman yang ditulis HAMKA sendiri dan kelak dijadikan film seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijk adalah kisah-kisah yang berakhir sedih. Mungkin, dalam sedih dan derai airmata, orang akan menemukan kembali kemanusiaannya. Cerita film yang berakhir sedih tentu akan membuat penonton larut dalam kesedihan, tetapi setelah itu dia justru merasa lepas dan lega.
Di sisi lain, mengapa mayoritas kelas bawah juga menyukai film dengan akhir bahagia? Bagi mereka, selain memberikan harapan dan optimisme, mungkin film dengan akhir bahagia itu menjadi saluran “balas dendam” psikologis atas pengalaman pahit dalam hidup sehari-hari. Film drama pendek, yang dapat ditonton secara vertikal di ponsel dan kini semakin banyak digemari, seringkali mengangkat cerita tentang orang biasa yang dihina dan direndahkan, tetapi ternyata dia adalah orang hebat dan kaya raya, dan pada akhir cerita, sang tokoh membalas dan menghancurkan para penghinanya itu.
Jika kita renungkan lebih jauh, barangkali kesukaan mayoritas orang akan akhir cerita yang bahagia, adalah cermin dari hakikat hidup manusia itu sendiri. Jika kita mau jujur, maka kita akan temukan fakta bahwa sepanjang hidupnya manusia lebih banyak sehat daripada sakit, lebih sering makan-minum daripada kelaparan dan kehausan. Artinya, lebih banyak suka daripada duka. Setiap orang, tak mesti kaya, dapat tertawa gembira hingga terpingkal-pingkal. Bahkan, berbeda dengan orang kaya, hal-hal biasa dan sederhana, justru bisa membuat orang kecil merasa puas dan bahagia.
Dalam bahasa agama, semua pengalaman hidup manusia, terlepas dari tingkat ekonomi, pendidikan dan jabatan yang diembannya, mencerminkan kasih sayang atau rahmat Allah. Dalam Alqur’an Allah berfirman, “rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (QS 7: 156). Segala yang wujud adalah penampakan rahmat-Nya. Segala kekurangan yang menimbulkan penderitaan di dunia ini, adalah sisi lain dari wujud ciptaan yang tidak sempurna. Ini logis belaka karena jika Allah Maha Sempurna, maka yang Dia ciptakan pasti tidak sempurna. Karena itu, tak ada bahagia sempurna tanpa duka di dunia ini.
Dengan demikian, manusia harus menerima suka dan duka sebagai kenyataan. Yang suka diterima dengan terima kasih atau “syukur”, dan yang duka diterima dengan tabah atau “sabar” sebagai pengakuan akan kekurangan dan ketidaksempurnaan diri. Jika kita bandingkan dengan filsafat etik ala Stoik yang kini makin populer, sikap sabar itu diterjemahkan menjadi menerima apapun yang tak dapat diubah dan berada di luar kendali kita. Bedanya, bagi kaum beriman, apapun yang berada di luar kendali manusia diimani sebagai takdir Allah yang harus diterima dengan lapang dada.
Meskipun suka dan duka adalah kenyataan hidup yang tak terhindarkan, secara alamiah, kiranya tak seorang pun menginginkan akhir yang buruk, sû’ul khatimah’, meskipun dia menyukai cerita film dengan akhir sedih. Dia menyukai film jenis itu semata untuk hiburan dan pelajaran, bukan untuk membuat hidupnya sendiri berakhir menyedihkan. Ini sebabnya, menurut Al-Qur’an, orang-orang yang hidupnya penuh dosa dan kejahatan, kelak di akhirat menyesal dan meminta dikembalikan ke dunia ini lagi, atau berangan-angan menjadi tanah saja, bukan seorang manusia!
Sebaliknya, manusia selalu merindukan akhir yang bahagia, husnul khatimah. Akhir adalah hasil dari proses perjuangan moral, memilih dan memperjuangkan yang baik, yang benar, dan yang adil. Akhir yang bahagia itu terjadi di dunia dan di akhirat. Di dunia adalah kebaikan yang didapat dalam jangka panjang, meskipun dalam jangka pendek terasa berat dan sulit. Di akhirat adalah kebahagiaan surgawi, ketika manusia menuai ganjaran kebaikan yang telah diperbuatnya. (*)
Meskipun suka dan duka adalah kenyataan hidup yang tak terhindarkan, secara alamiah, kiranya tak seorang pun menginginkan akhir yang buruk, sû’ul khatimah’, meskipun dia menyukai cerita film dengan akhir sedih. Dia menyukai film jenis itu semata untuk hiburan dan pelajaran, bukan untuk membuat hidupnya sendiri berakhir menyedihkan.