BANJARMASINPOST.CO.ID - Pegiat street photography Banjarmasin, Ari Baskara (38), mengingatkan fotografi jalanan bukan sekadar mengambil gambar orang di tempat umum.
Ada nilai sejarah, rasa dan tanggung jawab moral yang melekat dalam kegiatan ini.
Ari, yang menekuni fotografi jalanan sejak 2011, menjelaskan genre ini sebenarnya merupakan bagian dari fotografi dokumenter. “Street photography itu subgenre dari dokumentasi. Subgenre ini mengandalkan keaslian dari momen, komposisi, dan dilakukan secara candid di ruang publik,” terangnya, Minggu (2/11).
Menurut Ari, para street photographer atau fotografer jalanan sejati tidak mengomersialkan hasil jepretannya. Foto-foto itu lebih sering dijadikan buku foto atau rekam jejak sosial suatu masa. “Bagi kami, foto itu arsip kehidupan. Bukan bahan jualan,” ujarnya.
Namun, seiring berkembangnya tren digital, muncul fenomena fotografer yang memotret pelari, pejalan kaki, atau pengunjung tempat umum tanpa izin, lalu menjual hasilnya di media sosial atau platform tertentu. Praktik ini, kata Ari, mulai menabrak kaidah dari street photography. Terlebih saat ini kegiatan tersebut mendapat keluhan dari beberapa orang, terutama di media sosial.
“Yang harus diingat, hasil foto jangan sampai membuat malu orang yang tertangkap di dalamnya. Itu pedoman paling sederhana dalam street photography,” tegasnya.
Ia menyebut, di beberapa negara, aturan soal privasi di ruang publik jauh lebih ketat. Tapi di Indonesia, belum ada peraturan tegas mengenai batas etika antara dokumentasi publik dan pelanggaran privasi. Karena itu, peran kesadaran moral dari fotografer menjadi kunci.
“Kadang orang sudah ngasih tanda menolak difoto seperti nyilangin tangan, menunduk, atau menghindar. Nah, fotografer harus peka terhadap isyarat seperti itu,” katanya.
Ari juga menyoroti tren baru penggunaan aplikasi seperti Fotoyu, tempat fotografer mengunggah hasil jepretannya untuk dijual ke publik.
“Sebenarnya ketika user mendaftar, ada sistem biometrik wajah yang jadi dasar pencarian foto. Jadi idealnya, yang bisa menemukan foto itu ya orang yang difoto sendiri. Tapi yang perlu dipertanyakan, apakah keamanan datanya terjamin? Bayangin seluruh Indonesia wajahnya terekam di sistem Fotoyu,” ujarnya.
Ia menilai, di luar platform semacam itu, banyak fotografer yang masih mengandalkan penyimpanan manual seperti Google Drive atau kolase foto di media sosial. Maka tanggung jawab pribadi fotografer terhadap hasil fotonya jadi sangat penting.
“Kalau ada orang yang keberatan, ya hapus. Harus ada komitmen etis antara pemotret dan subjek,” tegasnya.
Ari bahkan mengusulkan adanya semacam “model release” sederhana, yakni kesepakatan verbal atau tertulis antara fotografer dan subjek yang difoto, agar hak kedua belah pihak sama-sama terlindungi.
Di akhir perbincangan, Ari memberi pesan untuk fotografer muda agar tidak asal ikut tren memotret di jalanan. “Perbanyak literasi, pahami aturan dan resikonya. Fotografer jalanan itu bukan fotografer ngamen,” ujarnya. (sul)