Ledakan Penipuan Digital: Saat Suara dan Wajah Kita Bisa Dipalsukan AI
TRIBUNNEWS.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga 9 Juli 2025, pihaknya menerima lebih dari 74.000 pengaduan terkait penipuan berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), termasuk modus kloning suara dan deepfake wajah yang kian marak digunakan untuk menipu masyarakat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kejahatan siber di Indonesia kini tidak hanya menargetkan kelemahan teknis, tetapi juga memanfaatkan sisi emosional dan kepercayaan manusia dalam komunikasi digital.
Tren ini berdampak langsung pada sektor keuangan nasional. Dalam periode November 2024 hingga Februari 2025, kerugian akibat penipuan berbasis deepfake dan electronic Know Your Customer (eKYC) sintetis di bank digital serta platform layanan keuangan tercatat melebihi Rp700 miliar.
Otoritas Jasa Keuangan juga melaporkan bahwa jenis penipuan paling dominan berasal dari jual-beli daring (39.108 kasus), disusul panggilan palsu (fake call, 20.628 laporan), dan investasi (14.533 laporan), banyak di antaranya memanfaatkan teknologi AI seperti voice cloning atau wajah palsu untuk meyakinkan korban.
Keamanan digital tradisional biasanya hanya menanyakan: “Apakah kata sandimu benar?” atau Apakah kamu menerima kode OTP lewat SMS?”
Namun, sistem seperti ini mengasumsikan bahwa pengguna sudah pasti manusia. Ia memang mengamankan pintu, tapi tidak pernah memeriksa siapa yang benar-benar lewat di baliknya, manusia asli atau program canggih yang berpura-pura menjadi manusia.
Solusinya membutuhkan perubahan mendasar, yaitu mengembangkan bukti keunikan manusia (proof of human) sejak dari lapisan paling dasar sistem, bukan sebagai tambahan belakangan. Hal ini mencakup:
World ID mewujudkan prinsip-prinsip ini melalui teknologi proof of human, yaitu sistem yang membuktikan keunikan manusia secara aman dan terverifikasi. Dengan satu kali proses verifikasi, setiap individu dapat berinteraksi di berbagai layanan digital dengan keyakinan bahwa seluruh pengguna lain di dalam jaringan tersebut benar-benar manusia, bukan bot atau identitas palsu.
Seiring meningkatnya kemampuan kecerdasan buatan (AI), waktu untuk membangun sistem verifikasi manusia yang andal semakin sempit. Organisasi yang mulai menerapkan konsep proof of human sejak dini akan berada di posisi terbaik untuk melayani pelanggan nyata, melindungi pengguna asli, dan menjaga kepercayaan digital. Di era ketika mesin dapat meniru manusia dengan sempurna, pembuktian bahwa kita benar-benar manusia menjadi fondasi dari setiap interaksi bermakna di dunia maya.
Bulan Oktober diperingati sebagai Bulan Kesadaran Keamanan Siber (Cybersecurity Awareness Month), momen yang tepat untuk memahami bagaimana membangun internet yang lebih manusiawi. Pelajari lebih lanjut di world.org.