Ledakan Penipuan Digital, Saat Suara dan Wajah Kita Bisa Dipalsukan AI
Sponsored Content November 04, 2025 04:33 PM

Ledakan Penipuan Digital: Saat Suara dan Wajah Kita Bisa Dipalsukan AI

TRIBUNNEWS.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga 9 Juli 2025, pihaknya menerima lebih dari 74.000 pengaduan terkait penipuan berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), termasuk modus kloning suara dan deepfake wajah yang kian marak digunakan untuk menipu masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kejahatan siber di Indonesia kini tidak hanya menargetkan kelemahan teknis, tetapi juga memanfaatkan sisi emosional dan kepercayaan manusia dalam komunikasi digital.

Tren ini berdampak langsung pada sektor keuangan nasional. Dalam periode November 2024 hingga Februari 2025, kerugian akibat penipuan berbasis deepfake dan electronic Know Your Customer (eKYC) sintetis di bank digital serta platform layanan keuangan tercatat melebihi Rp700 miliar.

Otoritas Jasa Keuangan juga melaporkan bahwa jenis penipuan paling dominan berasal dari jual-beli daring (39.108 kasus), disusul panggilan palsu (fake call, 20.628 laporan), dan investasi (14.533 laporan), banyak di antaranya memanfaatkan teknologi AI seperti voice cloning atau wajah palsu untuk meyakinkan korban.

Kegagalan Perlindungan Anti-Penipuan 

  1. Eksploitasi Data Publik oleh Bot

    Di Indonesia, ribuan akun palsu terdeteksi mendaftar bantuan sosial (bansos) dan program subsidi pemerintah menggunakan data warga lain, mengakibatkan penyaluran dana publik salah sasaran dan merugikan penerima yang sah.
  2. Peniruan Sintetis (Deepfake dan Kloning Suara)

    Pelaku penipuan kini semakin sering memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk meniru suara dan wajah figur publik ataupun tokoh berpengaruh di media sosial. Teknologi ini digunakan untuk membuat pesan suara atau video palsu yang tampak meyakinkan bagi calon korban.

    Berdasarkan laporan lembaga keamanan digital VIDA, kasus deepfake meningkat lebih dari 1.550 persen dalam dua tahun terakhir. Kini setiap panggilan video, pesan suara, atau konten promosi di dunia digital mulai menimbulkan pertanyaan: apakah lawan bicara kita benar-benar manusia, atau hanya tiruan algoritmik yang sempurna?
  3. Rusaknya Jaringan Kepercayaan akibat Akun Palsu

    Aplikasi kencan di Indonesia juga tidak kebal dari penipuan. Sebuah kasus yang diungkap oleh Bareskrim menunjukkan para pelaku menggunakan empat profil palsu di aplikasi seperti Tinder dan Bumble untuk membangun hubungan emosional sebelum meminta korban melakukan investasi palsu senilai Rp 20 juta.

    Bahkan, survei Populix mendukung gambaran ini, ternyata dari 732 responden pengguna aplikasi kencan online, 71 persen pernah tertipu oleh profil palsu.  Modus ini semakin memperkuat bahwa jaringan kepercayaan online mudah rusak, terutama ketika banyak “orang” dalam platform sebenarnya hanya avatar atau tipuan demi keuntungan finansial.
  4. Sintesis dan Pembajakan Identitas

    Penjahat siber menciptakan identitas sintetis menggunakan data curian dari e-commerce dan KTP palsu untuk membuka rekening atau kartu kredit digital, sering kali lolos dari sistem deteksi selama bertahun-tahun. 

Mengapa Pertahanan Saat Ini Masih Lemah 

Keamanan digital tradisional biasanya hanya menanyakan: “Apakah kata sandimu benar?” atau Apakah kamu menerima kode OTP lewat SMS?” 

Namun, sistem seperti ini mengasumsikan bahwa pengguna sudah pasti manusia. Ia memang mengamankan pintu, tapi tidak pernah memeriksa siapa yang benar-benar lewat di baliknya, manusia asli atau program canggih yang berpura-pura menjadi manusia. 

Solusinya membutuhkan perubahan mendasar, yaitu mengembangkan bukti keunikan manusia (proof of human) sejak dari lapisan paling dasar sistem, bukan sebagai tambahan belakangan. Hal ini mencakup: 

  • Verifikasi dengan Privasi sebagai Prioritas - Pembuktian bahwa seseorang adalah manusia unik tanpa harus mengungkapkan data pribadi. Bukti kriptografis memastikan keaslian manusia tanpa perlu pengawasan atau pelacakan.
  • Interoperabilitas Universal - Satu sistem verifikasi yang dapat digunakan lintas layanan, menghilangkan kebutuhan pemeriksaan berulang sekaligus mencegah pelacakan antar platform. 
  • Dirancang Anti-Penipuan - Berbeda dari kata sandi yang bisa dicuri, sistem proof of human menciptakan bentuk verifikasi yang tidak bisa dipalsukan, ditransfer, atau disintesis. 
  • Aksesibilitas Global - Harus dapat digunakan oleh siapa pun, di mana pun, tanpa bergantung pada perangkat tertentu atau kemampuan teknis tinggi. 

Membangun Jaringan Manusia Asli untuk Meningkatkan Kepercayaan Digital 

World ID mewujudkan prinsip-prinsip ini melalui teknologi proof of human, yaitu sistem yang membuktikan keunikan manusia secara aman dan terverifikasi. Dengan satu kali proses verifikasi, setiap individu dapat berinteraksi di berbagai layanan digital dengan keyakinan bahwa seluruh pengguna lain di dalam jaringan tersebut benar-benar manusia, bukan bot atau identitas palsu. 

Seiring meningkatnya kemampuan kecerdasan buatan (AI), waktu untuk membangun sistem verifikasi manusia yang andal semakin sempit. Organisasi yang mulai menerapkan konsep proof of human sejak dini akan berada di posisi terbaik untuk melayani pelanggan nyata, melindungi pengguna asli, dan menjaga kepercayaan digital. Di era ketika mesin dapat meniru manusia dengan sempurna, pembuktian bahwa kita benar-benar manusia menjadi fondasi dari setiap interaksi bermakna di dunia maya.

Bulan Oktober diperingati sebagai Bulan Kesadaran Keamanan Siber (Cybersecurity Awareness Month), momen yang tepat untuk memahami bagaimana membangun internet yang lebih manusiawi. Pelajari lebih lanjut di world.org.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.