Jatah Preman Gubernur Riau: Niat Jahat Sejak Awal, Anak Buah Dikorbankan, Hasilnya untuk Plesiran
Acos Abdul Qodir November 06, 2025 02:31 AM
Ringkasan Berita:
  • Baru dilantik, Gubernur Riau langsung ditangkap KPK karena “jatah preman”.
  • Anak buah diperas, sampai gadai sertifikat demi setoran ke gubernur.
  • Duit japrem dipakai plesiran ke luar negeri, KPK curiga pola menyebar ke dinas lain.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Belum genap satu tahun sejak mengucap sumpah jabatan di hadapan Presiden RI Prabowo Subianto untuk tidak melakukan korupsi, Gubernur Riau Abdul Wahid kini mengenakan rompi oranye bertuliskan “Tahanan KPK”.

Ia dilantik pada Kamis, 20 Februari 2025 di Istana Kepresidenan Jakarta, bersama 480 kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024. Namun, janji integritas yang diikrarkan saat pelantikan itu runtuh cepat.

  • 20 Februari 2025: Abdul Wahid dilantik sebagai Gubernur Riau periode 2025–2030
  • 3 November 2025: Terjaring OTT KPK di Pekanbaru bersama dua orang dekatnya
  • 5 November 2025: Ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan KPK

Pada Senin, 3 November 2025, Abdul Wahid terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pekanbaru, Riau.

Ia ditangkap bersama dua orang dekatnya yakni Kepala Dinas PUPR PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M. Nursalam, yang juga dikenal sebagai mantan Ketua DPRD Riau dan tokoh senior PKB. Abdul Wahid sendiri menjabat sebagai Ketua DPW PKB Riau. 

Tujuh orang lain turut diamankan petugas KPK, namun akhirnya mereka dilepaskan karena tidak cukup keterlibatan mereka dalam tindak pidana korupsi.

Barang bukti berupa dokumen, alat komunikasi, dan uang tunai senilai Rp1,6 miliar turut diamankan dalam OTT itu.

Uang itu terdiri dari pecahan rupiah, dolar Amerika Serikat, dan pound sterling, ditemukan di lokasi berbeda di Riau dan Jakarta.

Penangkapan ini menjadi titik awal pengungkapan skandal korupsi pemerasan bermodus “jatah preman” alias “japrem”, yang secara resmi tercatat sebagai perkara dugaan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

Skema ini diduga telah berlangsung sejak awal masa jabatan Abdul Wahid sebagai gubernur.

Minta Fee Sejak Awal Menjabat, Kode “7 Batang”

KPK mengungkap, sejak awal menjabat sebagai Gubernur Riau, Abdul Wahid telah membangun pola komunikasi yang menekankan loyalitas mutlak dari jajarannya.

Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut Wahid langsung mengumpulkan seluruh SKPD, termasuk kepala dinas dan staf.

"Jadi, awal menjabat, dia sudah mengumpulkan seluruh SKPD termasuk dengan kepala-kepala dan staf-stafnya. Salah satu yang dikumpulkan adalah kepala-kepalanya di Dinas PUPR termasuk Kepala UPT Jalan dan Jembatan," ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).

“Saat dikumpulkan itulah, yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa mataharinya adalah satu, harus tegak lurus kepada mataharinya, artinya kepada Gubernur,” lanjutnya.

Ancaman evaluasi bagi yang tidak patuh dipahami sebagai risiko mutasi atau pencopotan jabatan.

Setelah itu, Wahid mulai meminta fee 5 persen dari nilai proyek infrastruktur di Dinas PUPR-PKPP, melalui Kepala Dinas M. Arief Setiawan.

Total nilai proyek mencapai Rp177,4 miliar, naik dari Rp71,6 miliar.

Wahid diduga mengincar jatah Rp7 miliar, dengan setoran yang telah diterima mencapai Rp4,05 miliar. Permintaan itu dikemas dalam istilah internal “7 batang”.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebut praktik ini sebagai bentuk pemerasan sistematis.

“Permintaan ini dikenal sebagai ‘jatah preman’. Jika tidak dipenuhi, kepala UPT diancam dimutasi atau dicopot,” tegas Johanis.

Anak Buah Terpaksa Gadai Sertifikat

Ironisnya, uang yang disetor ke Abdul Wahid bukan berasal dari anggaran resmi atau pihak ketiga, melainkan dari kantong pribadi para kepala UPT.

Beberapa di antaranya bahkan harus meminjam ke bank dan menggadaikan sertifikat tanah demi memenuhi permintaan tersebut.

Situasi ini terjadi di tengah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau yang mencapai Rp2,5 triliun.

Namun, tekanan dari atasan membuat mereka tak punya pilihan.

“Ada yang pakai uang pribadi, ada yang pinjam, bahkan ada yang gadai sertifikat,” ungkap Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.

Uang Setoran Dipakai untuk Lawatan ke Luar Negeri

KPK menyebut dana hasil pemerasan digunakan untuk membiayai perjalanan Abdul Wahid ke luar negeri.

Beberapa negara yang telah dikunjungi antara lain Inggris dan Brasil. 

Ia juga dijadwalkan ke Malaysia, namun rencana itu batal karena keburu ditangkap KPK.

“Ada uang dalam bentuk pound sterling. Itu terkait lawatan ke Inggris. Dana dikumpulkan oleh tenaga ahlinya, Dani M. Nursalam,” ujar Asep Guntur.

KPK Curiga Pola Serupa di Dinas Lain

GUBERNUR RIAU TERSANGKA — KPK telah menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, dan dua anak buahnya sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan, Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
GUBERNUR RIAU TERSANGKA — KPK telah menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, dan dua anak buahnya sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan, Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). (Ilham Rian Pratama)

KPK tidak menutup kemungkinan bahwa pola pemerasan serupa terjadi di dinas lain di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Lembaga antirasuah itu kini tengah menelusuri aliran dana dan komunikasi antara Abdul Wahid dan pejabat lainnya.

“Kami akan dalami apakah pola ini terjadi di SKPD lain. Jika ditemukan bukti, tentu akan kami tindak lanjuti,” tegas Asep Guntur.

Berganti Rompi Oranye

Usai menjalani pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka pasca-terjaring OTT KPK di Gedung Merah Putih Jakarta, Abdul Wahid dan dua tersangka lainnya akhirnya ditahan di Rumah Tahanan KPK untuk 20 hari pertama.

Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

KPK juga menyebut bahwa total dugaan penerimaan Abdul Wahid dari berbagai proyek bisa mencapai Rp22,5 miliar.

Cak Imin Tak Ingin Terulang Lagi

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menilai kasus ini harus jadi pelajaran bagi seluruh kader dan kepala daerah.

“Semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” ujar Muhaimin di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Ia menyebut belum ada permintaan bantuan hukum dari Abdul Wahid. Soal statusnya sebagai Ketua DPW PKB Riau, partai akan menunggu proses internal.

“Belum ada permintaan (bantuan hukum). Ya pasti akan ada proses internal,” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal mendorong agar proses penyelidikan dilakukan secara terbuka dan menyeluruh.

Ia menekankan pentingnya mengungkap secara terang siapa saja pihak yang terlibat.

Sumpah Jabatan Bukan Seremoni

Kasus ini menjadi pengingat bahwa sumpah jabatan bukan sekadar seremoni, melainkan komitmen hukum dan moral yang harus dijaga.

Di tengah harapan publik terhadap integritas kepala daerah, skandal ini menegaskan pentingnya pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap jenjang pemerintahan. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.