KPK: Gubernur Riau Sejak Awal Kumpulkan Bawahan, Minta Patuh ke Satu 'Matahari'
kumparanNEWS November 06, 2025 10:40 AM
KPK menyebut Gubernur Riau, Abdul Wahid, mengumpulkan seluruh perangkat daerah sejak awal menjabat sebagai gubernur. Hal itu dilakukan Abdul Wahid untuk menjalankan praktik pemerasan di Pemprov Riau.
"Jadi awal-awal menjabat dia sudah mengumpulkan seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), seluruh dinas dikumpulkan. Termasuk juga dengan kepala-kepalanya yang di bawahnya dia, staf-stafnya," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
"Salah satu yang dikumpulkan itu salah satu dinasnya adalah Dinas PUPR dengan Kepala UPT [Unit Pelaksana Teknis] yang Kepala UPT I, II, III, sampai VI, ini khusus UPT jalan dan jembatan, UPT yang lainnya ada tapi ini yang I sampai VI ini adalah UPT jalan dan jembatan," jelas dia.
Saat itu, kata Asep, Abdul Wahid menekankan anak buahnya itu harus patuh dan tegak lurus bahwa hanya ada satu komando, dengan mengibaratkan hanya ada satu 'matahari'.
"Nah, saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa, mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya. Artinya, ada gubernur," ucap Asep.
"Dan kepala dinas ini adalah kepanjangan tangan dari gubernur, sehingga apa pun yang disampaikan kepala dinas itu adalah perintahnya gubernur," paparnya.
Asep menjelaskan, para bawahan Abdul Wahid itu dipaksa untuk mematuhi perintah dari sang gubernur. Jika tidak, mereka diancam akan dicopot atau dimutasi dari jabatannya.
"Disampaikan demikian, dan kalau yang tidak ikut atau tidak nurut akan dievaluasi," tutur Asep.
"Nah, kata-kata dievaluasi itu diartikan oleh para Kepala UPT dan yang lainnya itu, ya, kalau tidak nurut nanti akan diganti dan lain-lain, jadi mutasi dan lain-lain seperti itu. Jadi, sejak awal memang sudah disampaikan seperti itu," imbuhnya.
Ia menerangkan, barulah beberapa bulan setelahnya, Abdul Wahid menyampaikan permintaan untuk meminta 'jatah preman' tersebut kepada bawahannya, khususnya Kepala Dinas PUPR PKPP Riau.
"Nah, kemudian di bulan-bulan berikutnya, adalah permintaan-permintaan yang penyampaiannya melalui kepala dinasnya, khusus yang PUPR melalui kepala dinas PUPR, dan nanti kepada Kepala UPT tersebut," kata Asep.
KPK menunjukan sejumlah tumpukan barang bukti dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Riau Abdul Wahid di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
KPK menunjukan sejumlah tumpukan barang bukti dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Riau Abdul Wahid di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sebelumnya, Abdul Wahid ditangkap terkait kasus dugaan pemerasan yang terungkap dalam operasi senyap KPK di Provinsi Riau.
Dalam kasus itu, KPK menjelaskan bahwa Abdul Wahid melalui orang kepercayaannya diduga meminta 'jatah preman' kepada para pejabat di Dinas PUPR PKPP Riau atas penambahan anggaran 2025.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyebut bahwa awalnya penyidik memperoleh informasi adanya pertemuan di salah satu kafe di Pekanbaru pada Mei 2025.
Pertemuan itu terjadi antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau bersama enam Kepala UPT Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP Riau.
"Untuk membahas kesanggupan pemberian fee yang akan diberikan kepada Saudara AW [Abdul Wahid] selaku Gubernur Riau, yakni sebesar 2,5 persen," ucap Tanak.
"Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar atau terjadi kenaikan Rp 106 miliar," jelas dia.
Selanjutnya, kata Tanak, Ferry menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau.
KPK menunjukan sejumlah tumpukan barang bukti dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Riau Abdul Wahid di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
KPK menunjukan sejumlah tumpukan barang bukti dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Riau Abdul Wahid di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Saat itu, Arief yang juga merepresentasikan Abdul Wahid, meminta fee tersebut dinaikkan menjadi 5 persen. Para pejabat di Dinas PUPR Riau kemudian diwajibkan untuk menuruti perintah untuk menyetorkan uang.
Tanak menjelaskan, muncul ancaman pencopotan hingga mutasi dari jabatan bagi yang tidak mematuhi perintah tersebut.
"Saudara MAS [M. Arief Setiawan] yang merepresentasikan Saudara AW, meminta fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar," ungkap Tanak.
"Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman'," sambungnya.
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Atas permintaan itu, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau bertemu lagi lalu menyepakati pemberian fee 5 persen.
Realisasi pemberian fee itu pun terjadi sebanyak tiga kali dengan total uang Rp 4,05 miliar sudah diberikan kepada Abdul Wahid dkk. Dalam pemberian terakhir pada November 2025, KPK kemudian membongkarnya.
Pada 3 November 2025, kemudian Abdul Wahid bersama Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR, Kadis PUPR, Sekdis PUPR, dan orang kepercayaannya diamankan dalam OTT KPK.
Selain itu, Tenaga Ahli Gubernur, Dani M. Nursalam, yang sebelumnya dilakukan pencarian oleh tim KPK, datang menyerahkan diri ke Gedung KPK.
Para pihak yang diamankan kemudian dilakukan pemeriksaan secara intensif. Usai pemeriksaan secara intensif, tiga orang kemudian dijerat sebagai tersangka, yakni:
Dalam OTT itu, KPK juga mengamankan barang bukti uang senilai Rp 1,6 miliar dalam bentuk pecahan rupiah, dolar AS, dan poundsterling.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12e dan atau pasal 12f dan atau pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ketiga tersangka pun sudah ditahan.
Abdul Wahid, Arief, dan Dani belum berkomentar mengenai kasus yang menjeratnya tersebut.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.