Jakarta (ANTARA) - Arsip memiliki nilai penting dalam penyelenggaraan negara. Setiap kebijakan akan selalu dicarikan dokumen pendahulu untuk mendapatkan informasi kebijakan yang telah ada. Bahkan, proses-proses hukum yang berjalan juga menggunakan dokumen arsip sebagai alat bukti yang sah.

Berbagai dokumen kearsipan yang diciptakan dan digunakan dalam instansi perlu diatur sedemikian rupa untuk dapat menjaga keamanan, agar tidak hilang, rusak atau terjadi perubahan dalam isinya, serta tidak berada di tangan yang salah, dan bisa disalahgunakan. Arsip-arsip ini, dalam pengelolaannya sesuai dengan regulasi yang ada di Indonesia, terdapat instrumen-instrumen yang digunakan dalam pengelolaan kearsipan.

Instrumen-instrumen ini mutlak diperlukan guna menjaga arsip itu sendiri, serta menjaga nilai guna yang ada di dalamnya, yakni nilai guna primer yang terdiri dari empat nilai guna. a) Nilai guna administratif; b) nilai guna keuangan; c) nilai guna legal atau hukum; sera d) nilai guna ilmiah dan teknologi. Selain itu, arsip juga memiliki nilai guna sekunder, yakni nilai evidensial atau nilai bukti tentang keberadaan organisasi dan nilai informasional, yakni nilai arsip tentang informasi orang, benda, peristiwa, dan lain-lain yang tidak berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi organisasi.

Berdasarkan PP 28 tahun 2012 dalam pengelolaan arsip aktif disebutkan apa saja yang menjadi pedoman dalam pengelolaannya. Dalam pasal 32 ayat (2) disebutkan bahwa “Pembuatan dan penerimaan arsip dilaksanakan berdasarkan tata naskah dinas, klasifikasi arsip serta sistem keamanan dan akses arsip”. Selanjutnya, di Pasal 42 ayat (2) disebutkan bahwa “Pemberkasan arsip aktif dilaksanakan berdasar klasifikasi arsip".

Hal yang menjadi tantangan dalam pengelolaan arsip adalah, dengan kemajuan teknologi, saat ini bisa menjadi jawaban untuk pengelolaan arsip yang lebih efektif dan efisien. Terlebih saat ini telah banyak digunakan arsip yang bersifat elektronik, namun belum semua instansi pemerintah menggunakan dan mengelolanya dengan optimal.

Pengelolaan elektronik

Dengan adanya arsip elektronik yang tidak bisa dipisahkan dengan pengelolaan pemerintahan digital (e-government), maka diperlukan landasan hukum yang menjadi acuan penyelenggaraan arsip elektronik. Dengan kata lain, pengelolaan pemerintahan digital dengan arsip elektronik, sebagai salah satu unsurnya, tidak bisa berjalan, tanpa adanya landasan hukum dalam proses pelaksanaannya, sumber daya manusia yang mumpuni, serta perangkat komputer yang mengikuti perkembangan teknologi informasi.

Hal ini menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan, mengingat, saat ini, bisa dikatakan dalam masa transisi, dimana sudah berjalan penciptaan dan pengelolaan arsip elektronik berbasis digital dan di sisi yang lain, karena alasan tertentu, masih ada penciptaan arsip secara konvensional.

Dalam implementasi pemerintahan digital, telah diterbitkan pedoman umum pengelolaan arsip elektronik yang diatur dalam Peraturan Arsip Nasional Nomor 6 Tahun 2021. Meskipun begitu, terkait pengaturan tata naskah dinas, masing-masing instansi, harus segera dirumuskan oleh instansi terkait agar keabsahan dokumen dan pengelolaan arsip bisa dilakukan dengan baik, sejalan dengan peraturan.

Belum adanya ketentuan terkait pedoman teknis arsip elektronik di sejumlah instansi dapat menimbulkan kebingungan dan tidak adanya acuan dalam pembuatan dokumen secara elektronik, karena sifat maupun tata kelola yang berbeda dengan arsip konvensional.

Jika tidak dilakukan antisipasi, ketiadaan pedoman elektronik ini juga menjadikan tidak adanya standar baku dalam penciptaan arsip, sehingga arsip yang tercipta tidak bisa dikenali sebagai identitas resmi institusi. Hal ini menimbulkan kesulitan identifikasi keaslian ataupun keabsahan arsip elektronik, jika terjadi manipulasi.

Ketiadaan pedoman dalam pengelolaan arsip elektronik juga bisa menjadikan tidak adanya standar baku dalam penyimpanan dan penggunaan, ataupun pemeliharaanya. Risikonya adalah aspek keamanan arsip elektronik menjadi tidak terjamin.

Meskipun secara fungsi kearsipan, antara konvensional dan arsip elektronik kedudukannya sama, dalam konteks pelaksanaan pemerintahan digital, keduanya harus memiliki standar penciptaan dan pengelolaan, sehingga setiap instansi pemerintah memiliki standar yang sama. Hal ini memudahkan dalam pengelolaan arsip secara nasional sebagai memori kolektif bangsa.

Dalam penyelenggaran pemerintahan digital ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Apabila kita lihat dalam peraturan presiden tersebut, SPBE ditujukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel, serta pelayanan yang berkualitas dan terpercaya.

Srikandi

Guna implementasi penyelenggaraan arsip elektronik dalam penerapan pemerintahan digital di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE, kemudian ditetapkan adanya aplikasi umum yang ditetapkan untuk digunakan dalam instansi dan lembaga negara, baik di pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun di lembaga pendidikan tinggi negeri berdasarkan Keputusan Menpan RB Nomor 679 Tahun 2020 tentang Aplikasi Umum Bidang Kearsipan Dinamis. Aplikasi umum bidang kearsipan ini kemudian diberi nama Srikandi yang merupakan singkatan dari Sistem Informasi Kearsipan Dinamis Terintegrasi.

Aplikasi Srikandi, dengan fitur-fitur yang disiapkan, dapat meningkatkan kualitas dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kearsipan serta menjaga memori kolektif bangsa di semua lembaga pemerintah. Hal ini bisa terwujud karena pengelolaan kearsipan sudah terintegrasi dalam satu sistem informasi berbasis digital yang terekam dengan baik, serta dengan keterhubungan dalam satu aplikasi memudahkan koordinasi antarinstansi dalam pemerintah.

Manfaat implementasi Srikandi adalah terciptanya proses birokrasi yang lebih efisien karena mengurangi penggunaan kertas serta mempercepat dalam distribusi dokumen arsip. Selain itu, aplikasi ini juga mendukung sistem pemerintahan yang lebih ramah lingkungan.

Hingga Mei 2025 ada 708 instansi yang sudah menggunakan aplikasi Srikandi. Sejumlah lembaga yang belum menggunakan aplikasi ini beralasan karena tidak ramah pada pengguna, terutama bagi instansi yang sebelumnya telah menggunakan aplikasi sejenis di lingkungan mereka. Selain itu, aplikasi sejenis yang telah digunakan sebelumnya telah memiliki keunggulan dalam hal integrasi dengan berbagai data dari aplikasi sistem informasi lainnya, misalnya sistem informasi kepegawaian instansi.

Aplikasi ini dengan segala fitur dan fungsinya masih bisa terus dikembangkan untuk lebih bisa memenuhi kebutuhan penggunanya, sehingga target seluruh instansi pemerintah menggunakan aplikasi Srikandi bisa tercapai untuk mendukung efektivitas pengelolaan arsip elektronik. Sehingga amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2018 dan Keputusan MenPAN RB 679 tahun 2020 bisa terlaksana.

Peningkatan kapasitas

Tantangan berikutnya dalam pengelolaan arsip elektronik untuk penyelenggaraan pemerintahan digital adalah sumber daya manusia yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memahami dan menggunakan perangkat komputer dan aplikasi kearsipan, serta jaringan internet.

Sumber daya manusia demikian mutlak diperlukan, karena arsip-arsip elektronik ini tidak bisa dengan sendirinya terkelola sesuai dengan kebutuhan, apabila tidak didukung oleh kemampuan penguasaan teknologi. Perangkat pendukung berupa komputer dengan berbagai spesifikasi dan aplikasi pendukung terkait pengelolaan arsip, serta jaringan internet hanya akan menjadi sarana yang tidak optimal jika tidak diawaki oleh SDM yang kapabel.

Upaya yang harus dilakukan adalah mendorong dan memberikan kesempatan kepada SDM kearsipan, yakni arsiparis atau pengelola arsip, untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, dan bimbingan teknis berkaitan dengan penyelenggaraan dan tata kelola arsip elektronik, dan penguasaan teknologi informasi yang mendukung kearsipan.

*) Fouri Gesang Sholeh adalah Pranata Humas di Kementerian Komdigi yang juga terlibat dalam pengelolaan kearsipan