BANJARMASINPOST.CO.ID- Dentang lonceng itu pernah menjadi penanda pagi bagi warga Banjarmasin. Setiap pukul tujuh, bunyinya dari menara Gereja Katedral Keluarga Kudus Jalan Lambung Mangkurat Kota Banjarmasin menyebar di pusat kota yang masih sepi.
Dari menara yang sama, menurut kesaksian sejumlah orang, Bendera Merah Putih pernah dikibarkan pada masa perang kemerdekaan. Gigihkan para pejuang kemerdekaan Indonesia
kembali diperingati pada Hari Pahlawan 10 November, Senin (10/11/2025). Ketika itu bangunan 17 meter tersebut menjadi yang tertinggi di Banjarmasin.
Kesaksian itu menjadi bagian dari kajian Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Banjarmasin hingga Gereja Katedral ditetapkan sebagai Cagar Budaya Provinsi Kalimantan Selatan.
Pada era kolonial Belanda, kawasan gereja dikenal dengan nama Residen de Haan Weg dan Boomstraat, jalan penghubung utama yang dikelilingi toko dan permukiman Eropa. Gereja ini berseberangan dengan penjara, yang kini menjadi Kantor Pos Indonesia.
Ada pun cikal bakal gereja adalah sebuah losmen kayu, yang dibeli Missionariorum a Sacra Familia (MSF) pada 1931. Misa pertama digelar pada 28 Juni 1931, yang menjadi tanda berdirinya gereja Katolik pertama di Banjarmasin.
Empat tahun kemudian, misionaris mendapat tanah kosong milik perusahaan dagang Borsumij di persimpangan Jalan Lambung Mangkurat dan Jalan Pangeran Samudera tersebut.
Pembangunan gereja dimulai pada 20 November 1935 menggunakan bata dan semen, yang belum umum pada masa itu. Menara setinggi 17 meter ikut didirikan, yang menjadi bagian paling menonjol.
Gereja baru diberkati pada 19 April 1936. Sejak bangunan ini dikenal warga sebagai Gereja Batu, karena berbeda dengan lingkungan sekitarnya yang didominasi bangunan kayu.
Ketika Jepang masuk pada 1942, Gereja Katedral dialihfungsikan menjadi gedung pengadilan.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Banjarmasin berada dalam situasi penuh pengawasan. Jepang belum sepenuhnya hengkang, sementara Sekutu dan Belanda mulai kembali.
Pada Juni 1946, Sekutu menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda yang kemudian menyusun kembali struktur kekuasaannya melalui Konferensi Malino dan Denpasar.
Dalam suasana itu, muncul catatan lisan bahwa bendera Merah Putih dikibarkan di puncak menara Gereja Katedral pada 1945-1949. Kesaksian ini tercantum dalam kajian TACB Kota Banjarmasin.
Sejarawan yang juga anggota TACB Banjarmasin, Mursalin, menjelaskan kondisi kota pada masa itu memungkinkan peristiwa tersebut terlihat luas.
“Katedral satu-satunya tempat tertinggi di Banjarmasin dan dapat dilihat orang banyak waktu itu,” ujarnya, Minggu (9/11/2025).
Belum ditemukan arsip resmi yang mencatat pelaku pengibaran bendera. Namun, Mursalin menyebut beberapa organisasi pergerakan aktif di Banjarmasin pada masa itu, termasuk Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) yang berdiri pada 19 Januari 1946 dan dipelopori Dr DS Diapari, AA Rivai dan Asinaga.
“Saya berkemungkinan yang mengibarkan itu orang-orang SKI. Alasannya, yang getol melawan penjajahan dengan diplomasi dan simbolik, salah satunya orang-orang dari organisasi ini,” ujar Mursalin.
Saat dikunjungi pada Minggu, suasana menjelang ibadah sore di Gereja Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin berlangsung tenang. Beberapa jemaat mulai berdatangan. Sementara cahaya senja menyentuh bangunan tua itu.
Di halaman, Kepala Gereja Katedral, Pastor Ignasius Tari, menyampaikan kisah pengibaran Bendera Merah Putih di menara pada masa awal kemerdekaan.
Pastor Ignasius menyampaikan, informasi tersebut juga muncul dalam catatan tertulis Prof Malkianus Paul (MP) Lambut, sejarawan dan agamawan Kristen dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
“Sepengetahuan saya, berdasarkan catatan Profesor Lambut, pasca Perang Dunia II kurang lebih 1946-1949, Banjarmasin menjadi pusat kekuasaan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Seharusnya saat itu yang berkibar adalah bendera Belanda, merah putih biru. Tetapi berdasarkan kesaksian dan catatan sejarah Prof Lambut, waktu itu berkibar di atas menara gereja ini bendera Merah Putih,” ceritanya.
Ia menilai kesaksian tersebut memberi gambaran mengenai peran tokoh gereja dalam masa transisi kemerdekaan.
“Bagi saya, itu adalah sebuah kesaksian sejarah yang menjelaskan bahwa gereja Katolik, paling tidak tokoh-tokoh agama pada saat itu, memiliki peran dalam usaha memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melalui simbol bendera Merah Putih,” katanya.
Tepat pada momentum Hari Pahlawan 10 November 2025, Pastor Ignasius juga menyampaikan makna personal yang ia tangkap dari peristiwa tersebut.
“Saya memaknai agar semangat kepahlawanan itu selalu ada dalam diri kita masing-masing sebagai warga negara,” tuturnya.
Ia mencontohkan figur Insinyur Surya Pranoto yang dikenal dengan semboyan 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.
“Itu menunjukkan bahwa orang Katolik harus memiliki semangat kepahlawanan,” ujarnya.
Pastor Ignasius menyebut, nilai itu masih relevan, terutama bagi generasi muda.
“Salah satu teladan yang bisa saya katakan dan semoga juga ada dalam diri anak muda adalah patriotisme. Patriotisme itu adalah cintah tanah air,” ucapnya. (msr)