Mengurai Akar Kemiskinan: Tahun Pertama Luthfi dalam Mengangkat Martabat Warga Jawa Tengah
galih permadi November 18, 2025 12:32 PM

Oleh : Wahidin Hasan Pemerhati Kebijakan Publik LHKP PWM Jawa Tengah


DI tanah yang subur oleh gunung dan sungai, Jawa Tengah menyimpan ironi yang telah berpuluh tahun menghantui para pemimpinnya: kemiskinan yang membandel. Setiap pergantian gubernur membawa janji baru, strategi baru, retorika baru, tetapi garis pergulatan kemiskinan selalu memerlukan kerja panjang dan menyita energi birokrasi.

Dalam satu tahun masa kepemimpinan Gubernur Ahmad Luthfi, publik bertanya: apakah arah baru Jawa Tengah dalam menurunkan kemiskinan mulai memunculkan tanda-tanda keberhasilan? Atau, seperti dikatakan sosiolog Anthony Giddens, kebijakan tanpa transformasi struktur sosial hanya akan menjadi “intervensi kosmetik”—mengubah permukaan tetapi tak menyentuh akar persoalan?

Angka yang Bergerak, Tapi Belum Berlari

Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemiskinan Jawa Tengah pada Maret 2025 berada di level 9,48 persen, menurun tipis dari 9,58 persen pada September 2024—sekitar 0,10 poin persentase. Puluhan ribu warga keluar dari kategori miskin, tetapi secara substansi penurunan ini belum mendekati terobosan besar.

Demografer Asep Suryahadi dari SMERU Research Institute mengingatkan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia cenderung “rigid” dan hanya bergerak tipis jika tidak didorong percepatan ekonomi dan kebijakan yang menyentuh akar struktural. Penurunan kecil di Jawa Tengah dalam setahun pertama menunjukkan roda kebijakan mulai bergerak, tetapi belum pada kecepatan yang mampu mengubah lanskap sosial secara signifikan.

Konvergensi: Dari Jargon Menjadi Gerakan Lapangan

Dalam berbagai forum, Luthfi menekankan pentingnya pendekatan konvergensi—sinergi antara pemprov, kabupaten/kota, akademisi, swasta, dan kekuatan sosial lokal. Pendekatan ini sejalan dengan World Development Report (2015) yang menyebut penanggulangan kemiskinan efektif bila dilakukan multi-aktor dan multi-level.

Kelebihan Luthfi terletak pada keberanian mendorong konvergensi hingga level lapangan, bukan berhenti sebagai jargon kebijakan.

RTLH dan Martabat Manusia yang Diperbaiki

Salah satu program paling menonjol adalah perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Dengan target 17 ribu unit pada 2025, kebijakan ini menyentuh inti persoalan kemiskinan dari sisi hunian—yang oleh Amartya Sen disebut sebagai basic capability dalam Development as Freedom.

Rumah yang layak adalah fondasi kemampuan manusia untuk hidup sehat, bekerja produktif, dan mendidik generasi berikutnya. Dengan memperbaiki ribuan rumah, pemerintah bukan hanya memberi atap bagi warga miskin, tetapi mengembalikan martabat mereka.

Namun, tantangannya tidak kecil: verifikasi penerima manfaat, sinergi desa, kualitas konstruksi, hingga keterlibatan swasta. Beberapa daerah mengeluhkan lambatnya validasi data. Sejalan dengan pandangan Merilee Grindle dari Harvard, kebijakan sebaik apa pun dapat mandek tanpa birokrasi operasional yang kuat.

Luthfi mulai mengatasi problem ini dengan memperkuat data bottom-up dan pengawasan internal.

Graduasi Kemiskinan: Mengangkat, Bukan Sekadar Membantu

Program lain yang menjadi perhatian adalah “graduasi kemiskinan”—pendampingan intensif rumah tangga sangat miskin agar naik kelas sosial. Program ini memadukan edukasi ekonomi, pelatihan kerja, penguatan usaha kecil, hingga monitoring rutin oleh babinsa, bhabinkamtibmas, dan perangkat desa.

Dari perspektif Pierre Bourdieu, program ini mengintervensi modal sosial dan modal budaya sekaligus. Keterampilan adalah modal budaya; pendampingan desa adalah modal sosial. Keduanya penting memutus kemiskinan struktural.

Tantangannya adalah kontinuitas. Pengentasan kemiskinan bukan event, tetapi hubungan jangka panjang. Tahun pertama adalah fondasi; tahun kedua dan ketiga akan menentukan apakah program ini menjadi transformasi atau sekadar eksperimen.

Infrastruktur Dasar Sebagai Pengungkit Mobilitas Sosial

Luthfi juga mendorong penguatan infrastruktur dasar: jalan kabupaten, air bersih, sanitasi, dan sekolah ramah keluarga miskin. Todaro dan Smith dalam Economic Development menegaskan infrastruktur sosial memiliki efek multipel: menurunkan biaya ekonomi dan membuka mobilitas sosial.

Skalanya belum sebesar era APBD besar, tetapi arah kebijakannya jelas: membangun fondasi kesejahteraan jangka panjang.

Pendidikan dan Human Capital: Mencegah Kemiskinan Generasi Baru

Provinsi memperkuat beasiswa untuk siswa miskin, vokasi industri, dan kolaborasi akademik dalam pemberdayaan desa. Ini sejalan dengan teori human capital Gary Becker: kualitas manusia menentukan kemiskinan jangka panjang.

Pertanyaan besarnya masih sama: apakah industri benar-benar mampu menyerap lulusan vokasi? Apakah ekosistem inovasi daerah benar-benar hidup?


Ahli demografi seperti Eko Prasetyono dan Sugiyanto mengingatkan bahwa Jawa Tengah menghadapi penuaan penduduk lebih cepat dibanding provinsi tetangga. Penduduk produktif yang menyusut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperberat pengentasan kemiskinan.

Artinya, kebijakan Luthfi harus menyelesaikan dua masalah sekaligus: kemiskinan hari ini dan kesiapan tenaga kerja masa depan.

Kemiskinan Agraris dan Jebakan Lintas Generasi

Kemiskinan di Jawa Tengah adalah kemiskinan agraris—berkelindan dengan akses pendidikan rendah, lahan sempit, dan mobilitas sosial terbatas. Sosiolog rural T. Shanin menyebutnya sebagai “status struktural” yang sulit diputus tanpa intervensi komprehensif.

Konvergensi lintas-sektor Luthfi berupaya menjawab ini, tetapi realisasi kebijakan tetap menjadi kunci.

Kebijakan Bergerak, Tapi Dampak Harus Dibuktikan

Dalam setahun kepemimpinan, sejumlah langkah konkret layak diapresiasi: RTLH berjalan, data kemiskinan diperbaiki, pendampingan keluarga miskin diperkuat, kolaborasi antaraktor meningkat.

Namun Jeffrey Sachs mengingatkan: keberhasilan anti-kemiskinan harus diukur dari dampaknya, bukan jumlah programnya. Jawa Tengah membutuhkan sistem monitoring dan evaluasi yang transparan dan berbasis data agar publik dapat menilai perkembangan secara jernih.

Wajah Manusia dalam Angka Statistik

Pada akhirnya, kemiskinan adalah wajah manusia: ibu yang mengatur uang belanja pas-pasan, anak sekolah dengan sepatu bolong, petani yang cemas saat harga padi jatuh. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mengembalikan martabat mereka.

Satu tahun pertama Ahmad Luthfi memberi sinyal arah baru. Tetapi, seperti kata Amartya Sen, pembangunan adalah proses memperluas kebebasan manusia. Kebijakan yang tidak memperluas kebebasan warga untuk hidup sehat, berpendidikan, dan bermartabat—tak layak disebut pembangunan.

Arah Panjang Menuju Transformasi Sosial

Tahun-tahun berikutnya adalah panggung pembuktian. Jika konvergensi berjalan, data diperkuat, infrastruktur sosial dibangun, dan manusia diperlakukan sebagai subjek pembangunan, bukan objek kebijakan, maka kemiskinan di Jawa Tengah bisa turun tidak hanya beberapa angka—tetapi turun secara historis.

Sejarah akan mencatat: apakah tahun pertama ini hanya pemanasan, atau menjadi pijakan bagi kisah besar perubahan sosial di Jawa Tengah. *

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.