Beijing (ANTARA) - Pemeritah China mengakui keputusan untuk kembali menutup keran impor produk akuatik dari Jepang karena pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi soal Taiwan.

"Perlu saya tegaskan kembali bahwa karena tindakan PM Sanae Takaichi yang keterlaluan dan keliru mengenai Taiwan dan isu-isu utama lainnya, telah terjadi kemarahan dan kecaman keras dari rakyat China. Dalam situasi saat ini, tidak akan ada pasar untuk produk akuatik Jepang meskipun produk tersebut masuk ke China," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing, Rabu (19/11).

Pada 7 November 2025 lalu PM Jepang Sanae Takaichi di hadapan parlemen Jepang mengatakan penggunaan kekuatan militer China terhadap Taiwan, dapat "menimbulkan situasi yang mengancam kelangsungan hidup bagi Jepang" dan menegaskan bahwa ia tidak akan menarik pernyataan itu.

Pernyataan tersebut dianggap dapat mendorong Jepang untuk menggunakan hak bela diri kolektif jika suatu kondisi dinilai "mengancam kelangsungan hidup", meskipun Konstitusi Jepang menolak perang.

Artinya, pemerintah Jepang mengizinkan Pasukan Bela Diri bertindak untuk mendukung Amerika Serikat jika China memberlakukan blokade maritim terhadap Taiwan atau melakukan bentuk tekanan lainnya.

China pertama kali melarang impor hasil laut Jepang pada Agustus 2023 sebagai respons atas pembuangan air yang mengandung kadar rendah tritium radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi.

Impor tersebut sempat dibuka sebagian pada 29 Juni 2025, tetapi baru berjalan pada 5 November ketika hanya tiga dari 697 perusahaan terdaftar yang diizinkan mengirimkan produk.

Jepang, kata Mao Ning, berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawab regulasi dalam menjamin kualitas dan keamanan produk akuatiknya yang diekspor ke China.

"Hal itu merupakan prasyarat bagi Tiongkok untuk mengimpor produk akuatik Jepang, tetapi sejauh ini Jepang belum dapat menyediakan materi teknis sesuai komitmennya," tambah Mao Ning.

Larangan impor produk akuatik oleh China merupakan pukulan telak bagi industri makanan laut Jepang, terutama ekspor kerang dan teripang mengingat China merupakan pasar luar negeri terbesar untuk makanan laut Jepang.

Menurut Mao Ning, pernyataan PM Takaichi tersebut merupakan alarm yang perlu diwaspadai untuk menghidupkan kembali militerisme di Jepang.

"Padahal Jepang berkomitmen dalam Konstitusinya untuk 'selamanya meninggalkan perang dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai cara menyelesaikan sengketa internasional' dan menetapkan prinsip yang berorientasi pada pertahanan secara eksklusif. Bersama-sama, mereka mengkodifikasi kewajiban Jepang sebagai negara yang kalah," ungkap Mao Ning.

Ia pun menegaskan bahwa tragedi sejarah tidak boleh terulang dan komunitas internasional harus mewaspadai dan dengan tegas menggagalkan segala upaya untuk menghidupkan kembali militerisme , bersama-sama menegakkan tatanan internasional pasca-Perang Dunia II dan menjaga perdamaian dunia.