kemampuan bercerita bukan hanya sekadar bentuk hiburan, tapi dapat menjadi alat yang kuat yang membentuk identitas nasional, memperkuat komunitas, dan dapat mendorong pertumbuhan sosial-ekonomi suatu bangsa.

Jakarta (ANTARA) - Kemampuan bercerita atau storytelling tak hanya berdampak pada kehidupan personal seseorang, tetapi dalam jangka panjang memiliki kaitan dengan perkembangan bangsa.

Penelitian yang dilakukan Pachucki dan kawan-kawan dari Universitas Innsbruck, Austria, pada 2021 menunjukkan kemampuan bercerita memainkan peran strategis dalam pemasaran dan branding, yang memengaruhi perilaku dan persepsi konsumen.

Contohnya, dalam industri pariwisata, bercerita telah terbukti dapat meningkatkan keterlibatan dan citra merek destinasi, serta mendorong niat wisatawan untuk mengunjungi destinasi tersebut

Berbicara di hadapan 1.332 wisudawan LSPR Institute di Jakarta, Kamis, pengusaha yang juga Menteri Perdagangan periode 2011-2014, Gita Wirjawan, mengatakan kemampuan bercerita itu memiliki peranan penting dalam perkembangan suatu bangsa.

Ia mencontohkan kaitan kemampuan bercerita dengan skala perdagangan. Dalam konteks Asia Tenggara, skala perdagangan di kawasan hanya 23 persen. Berbeda dengan di Uni Eropa, yang skala perdagangan di kawasan itu sudah mencapai 65 persen.

"Berarti kita masih kurang bercerita satu sama lain. Kita sering berjabat tangan, tetapi tidak memahami barang atau jasa apa yang bisa dikirim atau peluang apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan skala perdagangan," kata Gita.

Menurut dia, Indonesia memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas untuk bercerita. Jika dilihat dari sisi publikasi yang merupakan manisfestasi dari kemampuan bercerita, total publikasi di Asia Tenggara hanya sekitar 375.000 dari total publikasi secara keseluruhan di dunia yang mencapai 140 juta publikasi. Padahal penduduk Asia Tenggara yang berjumlah 700 juta merupakan sembilan persen dari populasi dunia.

"Hanya sekitar 0,27 persen dari jumlah populasi yang memiliki kemampuan bercerita. Ini agak tidak masuk akal bagi saya," kata dia lagi.

Dia menambahkan apa yang dilakukan perguruan tinggi seperti LSPR, yang membekali lulusannya dengan kemampuan bercerita yang baik, sebagai inisiatif yang sangat penting. Kemampuan bercerita tidak hanya sekadar literasi tetapi juga kemampuan numerasi.

"Saya melihat ke depan, planet bumi yang berisi 8 miliar jiwa ini, akan terus menerus mengalami percepatan yang semakin meningkat, terkait geopolitik, ekonomi, teknologi dan iklim. Banyak yang mengedepankan narasi keberlanjutan, tapi banyak yang tidak memahami pengedepanan narasi keberlanjutan tidak mudah," katanya.


Datangkan modal

Gita memandang untuk mendatangkan modal teknologi maupun ekonomi agar Indonesia bisa menjadi negara maju, maka dibutuhkan banyak storyteller, yang bisa membawa Indonesia ke level yang berbeda. Dengan demikian, diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik, memiliki kredibilitas, dan bisa menterjemahkan dari ketidakpastian menjadi kepastian. Menurut dia hal itu penting dalam alokasi modal.

"Ketidakpastian itu tidak bisa diukur, tidak bisa dinilai. Tapi risiko itu sesuatu yang bisa diukur, semakin kita bisa mengukur semakin proses translasi yang dilakukan lewat komunikasi maka kemungkinan penanaman modal itu bisa terjadi," imbuhnya lagi.

Kemampuan bercerita tersebut bisa dilatih dari jenjang pendidikan mulai usia dini hingga perguruan tinggi. Selain kemampuan bercerita, Gita menggarisbawahi pentingnya pendidikan STEM yakni sains, teknologi, teknik, dan matematika yang berhasil membawa Tiongkok menjadi negara yang maju. Meski demikian, ia menggarisbawahi pentingnya peran guru yang bisa menginspirasi, menyuntikkan imajinasi, dan menyalakan ambisi siswanya.

Founder & CEO LSPR Institute, Dr. (H.C.) Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR,FIPR saat prosesi wisuda LSPR di Jakarta, Kamis (20/11/2025). (ANTARA/HO-LSPR)

Dengan demikian, kemampuan bercerita bukan hanya sekadar bentuk hiburan, tapi dapat menjadi alat yang kuat yang membentuk identitas nasional, memperkuat komunitas, dan dapat mendorong pertumbuhan sosial-ekonomi suatu bangsa.

Dalam kesempatan itu, Gita juga mengingatkan para lulusan untuk dapat memanfaatkan "kemewahan" yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Pasalnya 88 persen kepala rumah tangga di Indonesia tidak memiliki pendidikan hingga jenjang sarjana. "Kemewahan" yang dimiliki bisa digunakan untuk membangun kehidupan bermasyarakat lebih baik lagi.

Founder & CEO LSPR Institute, Dr. (H.C.) Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR,FIPR menekankan bahwa pihaknya berkomitmen melahirkan lulusan yang tidak hanya siap memasuki dunia kerja, tetapi juga mampu bersaing dalam ekosistem global yang dinamis, memimpin, dan berkontribusi dalam dinamika industri global.

Ia menyebut bahwa pengetahuan, karakter, dan empati lintas budaya menjadi tiga pilar penting yang terus dijaga dalam sistem pendidikan LSPR Institute.

"Kami bangga menjadi bagian dari komunitas pendidikan yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan, tetapi juga karakter, integritas, dan empati lintas budaya,” kata Prita.

Komitmen itu diwujudkan melalui penguatan jaringan internasional LSPR Institute bersama institusi bergengsi kelas dunia, termasuk University College London (UCL) dan Royal Holloway, University of London yang telah terjalin per tanggal 3 November 2025 di London.

LSPR Institute juga mengumumkan kerja sama dan pembaruan hubungan akademik dengan Woosong University, salah satu universitas terkemuka di Korea Selatan yang berada di bawah Woosong Education Foundation. LSPR Institute juga menjalin kolaborasi dengan Futurebound.

Melalui kolaborasi strategis itu, Prita berharap mahasiswa memperoleh kesempatan mengikuti program pertukaran pelajar, riset bersama, kurikulum berbasis global, serta berbagai peluang pengembangan diri yang memperkaya kompetensi mereka di pasar kerja internasional.