Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI menegaskan penegakan hukum saja tidak cukup dalam mengatasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO), sehingga perlu ada berbagai upaya yang lebih preventif, sistematis, dan kolaboratif.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengatakan kehadiran negara, melalui aparatur pemerintahan, sangat penting dan dibutuhkan dalam melakukan berbagai upaya preventif sebelum terjadinya korban atau adanya korban berulang.
"Terutama pada orientasi untuk perlindungan warga negara sejak awal," ujar Najih dalam acara Diskusi Publik dan Penyerahan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, tujuan perdagangan orang sangat beragam, mulai dari eksploitasi secara seksual, kerja paksa, sampai pada tahap penjualan organ tubuh.
Dikatakan bahwa rentetan tujuan perdagangan orang tersebut tidak hanya dipandang sebagai perbuatan pidana, tetapi juga perbuatan yang sangat melanggar hak asasi manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Maka dari itu, Ombudsman membuat kajian sistemik bertajuk Integrasi Sistem Pengawasan Perlintasan Orang Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang, guna mencegah malaadministrasi pelayanan publik terkait TPPO.
"Hasil kajian Ombudsman ini bukan hanya sebagai dokumen, melainkan panduan aksi nyata dalam mencegah korban TPPO yang berkelanjutan atau berulang," tuturnya.
Ombudsman RI, kata Najih, sebagai lembaga negara yang diberikan mandat oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, turut memiliki beban moral untuk melakukan berbagai tugas pencegahan atas terjadinya kejahatan kemanusiaan, termasuk perdagangan orang.
Berdasarkan data pada lima tahun terakhir, yakni antara rentang tahun 2019 sampai tahun 2024, yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, tercatat kurang lebih 2.567 warga negara Indonesia terindikasi menjadi korban TPPO.
Pada bulan Maret 2025, sambung dia, terdapat 554 warga negara Indonesia berhasil dipulangkan dari Myawaddy, Myanmar.
Selain itu, ia menambahkan terdapat pula para korban dari kejahatan penipuan daring yang terorganisir.
"Negara-negara seperti Kamboja dan Arab Saudi tercatat sebagai tujuan terbanyak, dengan korban yang sebagian besar bekerja sebagai admin judi daring, scammer (penipu), atau asisten rumah tangga," tutur Najih.







