Marketplace Publik: Ide Membuat Layanan Pemerintah Toko yang Bisa Dipercaya
Sapraji November 24, 2025 03:40 PM
Di era ketika warga bisa memesan ojek, membeli kebutuhan rumah tangga, hingga mengakses layanan kesehatan dari satu aplikasi saja, sebuah pertanyaan besar muncul: Mengapa layanan pemerintah justru masih terasa terpencar, lambat, dan sulit ditebak?
Di tengah gelombang transformasi digital nasional, kita masih melihat antrean panjang, ketidakpastian proses, hingga pengalaman warga yang berbeda-beda antardaerah. Pada saat yang sama, masyarakat semakin terbiasa dengan standar baru, layanan yang cepat, transparan, dan terintegrasi.
Pertanyaannya: Bisakah layanan publik disajikan layaknya marketplace sebuah toko besar yang bisa dipercaya oleh semua warga?
Gagasan marketplace publik bukan tentang menjadikan negara seperti perusahaan e-commerce. Ide ini justru menempatkan negara sebagai penjamin integritas, pengelola standar, dan penjaga keadilan layanan, sementara proses penyediaan layanan berjalan secara modular, kolaboratif, dan berbasis kebutuhan warga.
Perbesar
Ilustrasi belanja online di e-commerce. Foto: Shutterstock
Dengan kata lain, pemerintah menyediakan etalase tunggal tempat masyarakat bisa mengakses berbagai layanan secara jelas, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Fragmentasi dan Kepercayaan Publik yang Rapuh
Salah satu akar persoalan layanan publik di Indonesia adalah fragmentasi kelembagaan. Setiap kementerian membuat aplikasinya sendiri, setiap daerah membangun platform-nya sendiri, dan setiap jenis layanan memiliki prosedur berbeda. Hasilnya adalah apa yang sering disebut sebagai application sprawl, ledakan aplikasi yang tidak saling terhubung dan justru membingungkan warga.
Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap layanan pemerintah kerap turun bukan karena niat buruk negara, melainkan karena ketidakpastian pengalaman. Lalu, berapa lama prosesnya? Dokumen apa yang dibutuhkan? Apakah status bisa dipantau? Jika ada kendala, ke mana seseorang harus bertanya?
Marketplace publik menawarkan jawaban; bukan lagi pemerintah menjual janji, melainkan memberikan jaminan kepastian proses, transparansi waktu, dan standar layanan yang bisa dibandingkan.
Perbesar
Ilustrasi digital marketing. Foto: Shutter Stock
Marketplace publik tidak sama dengan e-commerce. Namun, ada tiga prinsip kunci yang dapat diadopsi.
Pertama, satu etalase, banyak penyedia layanan. Semua layanan pemerintah dari izin usaha, bantuan sosial, pendidikan, jaminan kesehatan, pembayaran pajak, hingga dokumen kependudukan harus terkumpul dalam satu platform besar. Warga tidak perlu mengunduh 10 aplikasi. Cukup satu pintu yang memetakan kebutuhan.
Ini bukan sekadar integrasi aplikasi, melainkan integrasi perjalanan layanan (service journey). Misalnya, ketika warga membuka usaha kecil, sistem langsung menawarkan seluruh layanan terkait: NIB, izin lokasi, perpajakan UMKM, pelatihan, hingga akses pembiayaan. Logikanya mirip dengan marketplace yang merekomendasikan produk relevan, tetapi untuk kepentingan publik.
Kedua, rating dan akuntabilitas instansi. Salah satu inovasi terbesar marketplace adalah sistem penilaian. Dalam konteks layanan publik, rating bukan untuk mempermalukan instansi, melainkan sebagai mekanisme akuntabilitas real-time. Warga dapat menilai kepuasan layanan yang mana pemerintah dapat melihat mana layanan yang perlu perbaikan; kementerian, lembaga, atau daerah dapat mempelajari standar baru secara terbuka.
Perbesar
Ilustrasi Belanja Online. Foto: Shutterstock
Rating ini juga dapat mendorong kompetisi sehat antarinstansi; bukan kompetisi bisnis, melainkan kompetisi pelayanan publik.
Ketiga, proses yang terstandar, waktu yang terukur. Marketplace selalu menampilkan estimasi pengiriman. Mengapa hal itu sulit dilakukan untuk layanan negara? Dengan digitalisasi proses dan tata kelola data yang baik, estimasi waktu pemrosesan dokumen bisa diprediksi. Warga ingin kepastian, bukan janji abstrak.
Di sinilah transformasi digital pemerintah menemukan maknanya; bukan hanya memindahkan formulir ke internet, melainkan membangun janji kepastian layanan.
Mengapa Marketplace Publik Penting Sekarang?
Ada tiga alasan besar mengapa saat ini merupakan momentum ideal. Pertama, ekspektasi publik sudah berubah. Generasi digital, terutama Gen Z dan milenial, tumbuh dengan logika on-demand. Mereka adalah pembayar pajak, penerima layanan, sekaligus warga aktif. Mereka tidak menuntut negara menjadi sempurna, tetapi menginginkan negara yang mudah diakses.
Perbesar
Ilustrasi Belanja Online. Foto: Shutterstock
Kedua, infrastruktur sistem pemerintah sudah lebih mapan. Sistem seperti Satu Data Indonesia, identitas digital, dan integrasi layanan sudah mulai terbentuk. Tinggal bagaimana mendorong interoperabilitas lintas sektor agar seluruh proses benar-benar terhubung.
Ketiga, krisis kepercayaan publik perlu dijawab dengan transparansi. Kepercayaan publik adalah modal politik terbesar negara. Marketplace publik dapat menjadi langkah strategis untuk memulihkan dan memperkuat legitimasi pemerintah melalui pengalaman layanan yang konsisten dan dapat diprediksi.
Tentu tidak ada konsep kebijakan yang berjalan mulus tanpa tantangan. Ada tiga risiko besar yang harus diantisipasi.
Pertama, resistensi birokrasi. Integrasi layanan berarti perubahan kewenangan, model kerja, hingga alur birokrasi. Sebagian instansi mungkin khawatir kehilangan kontrol. Solusinya adalah pergeseran mindset; bukan kehilangan peran, melainkan membangun peran baru yang lebih strategis.
Kedua, perlindungan data warga. Marketplace publik mengumpulkan banyak data sensitif. Karena itu, negara harus memperkuat keamanan, transparansi pengelolaan data, dan memastikan warga memahami hak mereka atas data.
Ketiga, kesenjangan digital. Tidak semua warga mengakses layanan digital dengan mudah. Marketplace publik tidak boleh menggantikan layanan luring, tetapi melengkapinya. Kantor layanan harus tetap ada, tetapi lebih ramping dan modern.
Untuk mewujudkan gagasan ini, ada tiga langkah sederhana tetapi strategis.
Pertama, bangun super platform pemerintah. Bukan sekadar super-app, melainkan platform negara yang terhubung dengan data kependudukan, layanan dasar, dan integrasi lintas daerah.
Perbesar
Ilustrasi Belanja Online. Foto: Shutterstock
Kedua, terapkan kontrak kinerja digital. Setiap layanan memiliki standar waktu, indikator keberhasilan, dan target kepuasan yang dipantau secara digital.
Ketiga, libatkan publik dalam evaluasi. Warga bukan hanya pengguna, melainkan inspektur yang memberikan penilaian dan masukan rutin. Evaluasi berbasis warga adalah kunci dalam marketplace layanan publik.
Marketplace publik bukan tentang meniru industri digital, melainkan menjembatani harapan warga dengan performa negara. Dengan logika transparansi, rating, integrasi, dan kepastian layanan, pemerintah dapat menghadirkan pengalaman baru: sederhana, cepat, manusiawi, dan dapat dipercaya.
Jika marketplace bisa menyediakan kebutuhan kita dalam hitungan menit, mengapa negara tidak bisa menyediakan layanan dasar dengan kepastian yang sama? Saatnya pemerintah menjadi toko terbesar bukan karena menjual barang, melainkan karena memberikan kepercayaan.