Mengapa Diversifikasi Pangan Tak Kunjung Jadi Prioritas?
Sapraji November 24, 2025 03:40 PM
Ketahanan pangan di Indonesia pada 2025 kembali berada di panggung utama kebijakan nasional. Dengan lonjakan produksi padi, target pengadaan besar oleh Bulog dan prediksi iklim yang menantang, pemerintah menegaskan komitmennya pada kemandirian pangan. Namun, di balik semua upaya ini, tampak bahwa diversifikasi komoditas pangan yang sangat penting untuk resiliensi jangka panjang belum benar-benar menjadi prioritas strategis.
Apa penyebabnya? Dan apakah dalam konteks 2025, kegagalan mendorong diversifikasi bisa menjadi risiko besar?
Data BPS menunjukkan bahwa produksi padi terus meningkat secara signifikan. Pada Juli 2025, luas panen padi mencapai 0,94 juta hektare, naik 33,2% dibanding Juli 2024. Produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) untuk bulan itu diperkirakan mencapai 4,81 juta ton, juga naik 35,11% dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, pada September 2025, luas panen padi meningkat lagi menjadi 1,13 juta hektare, dengan produksi GKG mencapai 5,95 juta ton.
Perbesar
Petani menanam padi di Aceh, Senin (19/5/2025). Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP
Lonjakan produksi ini menunjukkan betapa padi tetap menjadi tulang punggung sistem pangan Indonesia. Namun, preseden ini menimbulkan paradoks kebijakan; meskipun stok pangan dan produksi melonjak, konsentrasi sumber daya (anggaran, subsidi, infrastruktur) tetap sangat terfokus pada padi.
Politik pangan pun menguntungkan padi. Bulog—lembaga pengadaan pangan milik negara—menetapkan target pengadaan domestik beras 3 juta ton pada 2025, lebih dari dua kali lipat dibanding target tahun sebelumnya. Kebijakan ini memperkuat insentif bagi petani untuk terus menanam padi, bukan beralih ke komoditas lain sekaligus menutup ruang bagi diversifikasi.
Salah satu alasan mendesak mengapa diversifikasi pangan penting adalah meningkatnya risiko iklim. BMKG memprediksi bahwa puncak musim kemarau pada tahun 2025 akan terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Meskipun BMKG dalam pemutakhiran Mei 2025 menyatakan durasi musim kemarau bisa lebih pendek dari normal di sejumlah zona musim, banyak wilayah tetap berisiko mengalami kekeringan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada padi—tanaman yang sangat bergantung pada pasokan air—bisa menjadi kelemahan sistem ketahanan pangan nasional. Diversifikasi dengan tanaman seperti sorgum, umbi-umbian (singkong, talas), atau pangan lokal lainnya akan memberikan buffer terhadap fluktuasi iklim dan mengurangi risiko gagal panen massal.
Perbesar
Panen singkong Kediri Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Namun, meski risiko ini nyata, kebijakan nasional tampak belum mengadopsi langkah-langkah diversifikasi yang sistematis dan berkelanjutan. Alih-alih memperluas komoditas yang tahan kekeringan, struktur insentif masih sangat berpihak pada padi.
Mengapa Diversifikasi Tetap Sekadar Wacana?
Beberapa faktor menjelaskan mengapa diversifikasi komoditas belum naik ke puncak agenda kebijakan, meskipun tantangannya makin nyata.
Pertama, alokasi anggaran yang timpang. Sebagian besar bantuan dan subsidi pertanian masih mengalir ke komoditas utama seperti padi dan jagung. Komoditas alternatif seperti sorgum, sagu, atau umbi-umbian tidak mendapatkan dukungan anggaran yang signifikan, terutama dalam hal riset, benih unggul, dan pengolahan pascapanen.
Kedua, subsidi pupuk yang tidak fleksibel. Skema pupuk bersubsidi cenderung diarahkan untuk kebutuhan padi. Petani—yang mungkin ingin berdiversifikasi ke tanaman lain—kesulitan karena biaya produksi tanaman alternatif lebih tinggi jika tidak mendapat subsidi serupa.
Ketiga, minimnya rantai nilai pasar (off-taker). Agar diversifikasi berhasil, harus ada industri pengolahan lokal yang siap menyerap komoditas non-padi. Saat ini, banyak tanaman lokal berpotensi belum memiliki pasar pengolahan yang memadai, misalnya sagu yang belum diproses secara industri besar, atau umbi-umbian yang sulit disimpan tanpa teknologi pascapanen.
Terakhir, ukuran keberhasilan kebijakan yang sempit. Indikator kinerja kebijakan pertanian sering diukur dalam tonase produksi. Karena itu, diversifikasi komoditas yang mungkin menghasilkan volume lebih rendah, tapi lebih tahan iklim atau bernutrisi tinggi, tidak dianggap sebagai prioritas utama.
Sangat ironis bahwa Indonesia sebenarnya sangat cocok untuk diversifikasi pangan.
Banyak lahan marginal (kering, pegunungan, pesisir) yang kurang ideal untuk padi, tetapi sangat cocok untuk tanaman lokal seperti sorgum atau umbi-umbian.
Komoditas pangan lokal, seperti singkong, talas, dan sagu, bukan hanya sumber karbohidrat alternatif, melainkan juga bagian dari warisan budaya pangan Nusantara.
Di wilayah timur Indonesia, sagu masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat dan bisa dikembangkan untuk pasar modern dengan dukungan teknologi pengolahan.
Diversifikasi bukan hanya menyangkut kuantitas; keragaman gizi komoditas lokal bisa menjadi solusi untuk memperbaiki pola konsumsi masyarakat dan beban gizi (malnutrisi, obesitas).
Perbesar
Ilustrasi Food Estate atau lumbung pangan. Foto: Dok. Kementerian Pertanian
Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan karena insentif kebijakan belum mendukung transisi struktural dari padi-sentris ke ekosistem pangan beragam.
Langkah Strategis Menuju Ketahanan Pangan yang Resilien
Untuk menjadikan diversifikasi komoditas pangan sebagai prioritas nyata dalam kebijakan ketahanan pangan 2025, berikut beberapa rekomendasi strategis.
Pertama, reorientasi anggaran pertanian. Alihkan sebagian anggaran dari intensifikasi padi ke program diversifikasi: penelitian, penyuluhan, pengembangan benih lokal, dan dukungan infrastruktur pascapanen.
Kedua, subsidi yang fleksibel dan berbasis ekosistem. Desain ulang skema subsidi pupuk agar tidak hanya berfokus pada padi, tetapi dapat diakses oleh petani diversifikasi tanaman pangan lokal.
Ketiga, penguatan rantai nilai lokal. Dorong investasi untuk fasilitas pengolahan tanaman lokal (misalnya pabrik sagu, pabrik pengolahan umbi), serta kemitraan antara petani, pengusaha pengolahan, dan lembaga pemerintah.
Perbesar
Ilustrasi Pabrik. Foto: Shutterstock
Kemudian, pengadaan publik dan kampanye konsumsi. Pemerintah (pusat dan daerah) bisa menggunakan anggaran pengadaan publik (sekolah, rumah sakit, instansi) untuk menyerap produk diversifikasi. Di samping itu, kampanye konsumsi (gizi, pangan lokal) penting agar masyarakat lebih menerima dan mengonsumsi komoditas alternatif.
Terakhir, pendekatan kebijakan berbasis risiko iklim. Integrasikan prediksi iklim BMKG dalam perencanaan komoditas pangan: prioritas tanaman yang tahan kekeringan di wilayah yang diprediksi mengalami kemarau lebih panjang atau fluktuatif.
Kebijakan ketahanan pangan Indonesia pada 2025 menghadapi dilema klasik produksi tinggi dan stok beras besar, tetapi kerentanan struktural karena ketergantungan pada satu komoditas utama. Diversifikasi pangan—yang bukan sekadar ide baik di atas kertas ini—adalah salah satu strategi paling rasional untuk meningkatkan resiliensi terhadap iklim, memperkaya gizi masyarakat, dan membangun kedaulatan pangan yang lebih adil.
Jika pemerintah terus menegakkan prioritas padi-sentris tanpa memperkuat komoditas alternatif, ketahanan pangan Indonesia akan tetap rapuh dalam jangka panjang. Saatnya mengubah paradigma dari produksi maksimal menuju sistem pangan beragam dan resilien.