Ketika Pasar Berpihak: Menuju Nasionalisme Ekonomi
Kuntoro Boga Andri November 24, 2025 03:40 PM
Bayangkan panggung perdagangan dunia, di mana setiap negara besar memainkan kartu proteksionismenya demi melindungi kepentingan mereka sendiri. Di balik retorika tentang pasar bebas, raksasa ekonomi seperti China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sesungguhnya tak segan menegakkan tembok perlindungan untuk industri strategis nasional mereka. Amerika Serikat misalnya, secara terbuka mengusung politik “America First”. Negeri Paman Sam memberlakukan tarif impor tinggi pada komoditas kunci dan menerapkan aturan “Buy American” yang mewajibkan proyek-proyek pemerintah memakai produk buatan lokal. Dari baja hingga teknologi, berbagai kebijakan dijalankan agar industri domestik tetap dominan di rumah sendiri.
Sementara itu, China memainkan langkah proteksionisnya dengan gaya terselubung namun tak kalah efektif. Pemerintah Tiongkok memberikan subsidi besar-besaran kepada perusahaan lokal dan memberlakukan regulasi ketat yang membatasi ruang gerak produk asing. Raksasa teknologi global kesulitan menembus “Tembok Besar” digital China, platform lokal diproteksi, kompetitor luar diblokir atau dihambat. Hasilnya, lahirlah perusahaan-perusahaan nasional yang menguasai pasar domestik dan kemudian merambah dunia dengan kekuatan penuh.
Uni Eropa pun, meski kerap menyanjung prinsip pasar terbuka, tetap menjaga sektor-sektor pentingnya dengan berbagai cara halus. Kebijakan subsidi pertanian yang besar membuat produk pangan Eropa aman dari gempuran impor murah. Standar kualitas dan regulasi lingkungan yang tinggi, seperti pajak karbon dan regulasi keamanan pangan, acapkali berfungsi sebagai benteng bagi produsen lokal sekaligus rintangan bagi produk luar. Singkatnya, tiga kekuatan ekonomi dunia ini sama-sama menunjukkan bahwa nasionalisme ekonomi adalah resep mujarab membangun kemakmuran, secara terang-terangan atau diam-diam, mereka utamakan rakyat dan industri sendiri.
Wujud Nasionalisme Ekonomi
Pemerintah Indonesia mulai menapaki jalan hilirisasi sebagai wujud nyata dari nasionalisme ekonomi. Kementerian Pertanian telah melaksanakanprogram Hilirisasi Perkebunan yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Sejumlah langkah konkret pun telah dilakukan, dan beberapa di antaranya layak diapresiasi.
Sebagai produsen sawit terbesar dunia, Indonesia tidak lagi puas hanya menjadi eksportir crude palm oil. Pemerintah telah menjalankan program B30 yang mewajibkan pencampuran 30% biodiesel sawit ke dalam solar nasional. Kebijakan ini menciptakan permintaan domestik yang besar, menstabilkan harga tandan buah segar di tingkat petani, dan secara langsung mengurangi ketergantungan pada impor solar. Dampaknya bersifat ganda, di satu sisi memperkuat ketahanan energi nasional, di sisi lain melindungi jutaan petani dari gejolak harga global. Tak berhenti di situ, pemerintah telah mencanangkan target B50, artinya separuh kebutuhan solar nasional akan dipenuhi dari biodiesel berbasis sawit lokal. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa pasar domestik mulai berpihak secara serius pada produk anak bangsa. Di luar biodiesel, hilirisasi sawit juga diperluas ke sektor produk turunan seperti minyak goreng, margarin, dan oleokimia, dengan pembangunan pabrik-pabrik pengolahan di berbagai daerah agar nilai tambah tetap dinikmati di dalam negeri.
Kakao dan kelapa, dua komoditas unggulan yang selama ini kurang mendapat perhatian, kini mulai menunjukkan potensi besar dalam program hilirisasi. Kakao, bahan baku utama cokelat, selama bertahun-tahun diekspor dalam bentuk biji mentah sehingga nilai tambahnya dinikmati negara lain. Kini, dengan tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri, mulai dari penggilingan biji menjadi bubuk dan lemak kakao, hingga produsen cokelat lokal, pendapatan petani pun meningkat dan lapangan kerja baru tercipta. Hal serupa juga terjadi pada kelapa. Sebagai salah satu produsen terbesar dunia, Indonesia selama ini menjual kelapa dalam bentuk butiran atau kopra mentah. Melalui hilirisasi, kelapa kini mulai diolah menjadi berbagai produk bernilai tinggi seperti minyak kelapa, VCO, santan kemasan, hingga gula kelapa. Nilai jualnya pun melonjak berkali-kali lipat, bahkan mendekati seratus kali lipat dalam beberapa jenis produk.
Pemerintah mendorong pembangunan pabrik-pabrik pengolahan di sentra produksi, memberdayakan industri rumahan dan UMKM. Hasilnya, petani tak lagi terjebak dalam rantai pasok bernilai rendah dan bisa langsung mengakses pasar ekspor dengan produk jadi. Kakao dan kelapa pun menjadi simbol bagaimana nasionalisme ekonomi bisa bekerja secara konkret di akar rumput.
Hilirisasi seperti ini jelas mencerminkan strategi pasar yang memihak rakyat. Dengan memproses sumber daya alam di dalam negeri, Indonesia memetik banyak manfaat sekaligus. Nilai tambah finansial tidak lari ke luar negeri, tetapi menetap dan berputar di dalam negeri melalui keuntungan industri lokal, gaji pekerja, dan penerimaan negara. Lapangan kerja baru tumbuh di desa maupun kota seiring berkembangnya industri pengolahan. Petani yang dulu tersisih kini terlibat dalam rantai nilai yang lebih adil. Di tingkat global, hilirisasi meningkatkan posisi tawar Indonesia. Ketika kita mengurangi ekspor bahan mentah dan memperkuat pengolahan di dalam negeri, kita sekaligus melindungi komoditas strategis dari tekanan harga internasional dan mengurangi kerentanan ekonomi nasional terhadap gejolak pasar dunia. Semua ini adalah bagian dari langkah besar Indonesia untuk mandiri, berdikari, dan menjadikan pasarnya sebagai benteng sekaligus mesin pertumbuhan ekonomi nasional.
Kopi komoditas utama perkebunan Indonesia  yang memiliki prospek pasar terus meningkat
zoom-in-whitePerbesar
Kopi komoditas utama perkebunan Indonesia yang memiliki prospek pasar terus meningkat
Konsistensi Kebijakan Pasar
Langkah-langkah berani yang telah ditempuh pemerintah tentu perlu dilanjutkan dengan keberanian, konsistensi, dan visi jangka panjang terkait pasar komoditas. Dalam dinamika politik kebijakan, godaan untuk berbalik arah selalu ada, terutama di tengah tekanan lobi internasional atau perubahan situasi ekonomi global. Namun, demi kedaulatan ekonomi nasional, Indonesia membutuhkan keteguhan sikap. Diperlukan keberanian untuk terus bersikap tegas bahwa pasar Indonesia harus menjadi ladang subur bagi produk dan pelaku usaha nasional terlebih dahulu.
Namun keberanian saja tidak cukup tanpa konsistensi. Kebijakan hilirisasi dan nasionalisme ekonomi melalui keberpihakan terhadap produk dan pasar dalam negeri harus dijalankan lintas waktu dan pemerintahan. Tidak cukup jika semangat ini hanya bergelora sesaat, lalu menguap karena pergantian pejabat atau perubahan arah politik. Dunia usaha, khususnya sektor pengolahan, butuh kepastian bahwa pemerintah akan terus berpihak kepada mereka. Begitu pula petani dan pengusaha lokal perlu diyakinkan bahwa program swasembada dan hilirisasi bukanlah proyek temporer, melainkan pijakan jangka panjang pembangunan nasional. Konsistensi ini mencakup penegakan regulasi, pengendalian impor pangan yang berkelanjutan, serta keberlanjutan dukungan anggaran, riset, dan teknologi untuk mendukung hilirisasi dari hulu ke hilir.
Yang tak kalah penting adalah arah kebijakan jangka panjang yang terang dan terukur. Visi besar nasionalisme ekonomi harus menggambarkan Indonesia masa depan yang mampu mencukupi pangannya sendiri, menjadi eksportir produk olahan berkelas dunia, dan mandiri secara energi melalui sumber daya terbarukan. Visi ini perlu diterjemahkan dalam peta jalan konkret, dengan target kapasitas pengolahan per komoditas, peningkatan kualitas SDM sektor pertanian, dan adopsi teknologi industri yang progresif. Jika arah ini dijalankan dengan konsisten dan menyeluruh, maka nasionalisme ekonomi kita tak akan berhenti sebagai wacana, melainkan menjadi fondasi kokoh kedaulatan dan kemakmuran bangsa.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.