Rehabilitasi Prabowo ke Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi: Jawaban Atas Suara Publik
kumparanNEWS November 25, 2025 09:00 PM
Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada eks Dirut PT ASDP Ira Puspadewi. Ira sempat divonis 4 tahun 6 bulan atas dugaan korupsi.
Selain Ira, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP 2020-2024, Harry Muhammad Adhi Caksono; dan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP 2019-2024, Muhammad Yusuf Hadi juga mendapat rehabilitasi.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan, mengatakan, keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga mantan pejabat ASDP—dalam perkara No. 68 Pidsus TPK 2025 PN Jakarta Pusat—menjadi penegasan bahwa negara tidak hanya memiliki fungsi menghukum, tetapi juga memulihkan.
Kebijakan ini bukan hasil keputusan sepihak, melainkan respons atas aspirasi publik yang disampaikan melalui jalur konstitusional oleh DPR RI, serta kajian hukum menyeluruh dari pemerintah. Kita menyaksikan bahwa proses ini lahir bukan dari tekanan politik, tetapi dari konsensus antara aspirasi rakyat dan pertimbangan hukum yang matang.
"Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangannya menegaskan bahwa sejak Juli 2024, berbagai aduan masyarakat mengenai kasus ASDP diterima DPR. Aspirasi tersebut kemudian tidak berhenti pada ruang keluhan, tetapi diolah melalui mekanisme konstitusional: pengkajian oleh Komisi Hukum DPR yang melibatkan pakar serta analisis mendalam terhadap proses penyelidikan," kata Iwan dalam keterangannya, Selasa (25/11).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya memberikan keterangan pers soal rehabilitasi kepada Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk di Kantor Presiden, Jakarta pada Selasa (25/11/2025) Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya memberikan keterangan pers soal rehabilitasi kepada Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk di Kantor Presiden, Jakarta pada Selasa (25/11/2025) Foto: Luthfi Humam/kumparan
Hasil dari aspirasi dan kajian hukum ini kemudian disampaikan kepada pemerintah. Harapannya, negara meninjau kembali putusan yang dinilai mengandung persoalan substansial keadilan.
Iwan menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Hukum juga menerima berbagai masukan masyarakat. Mensesneg Prasetyo Hadi, menjelaskan pemerintah melakukan telaah internal dan mendapat rekomendasi resmi dari Menteri Hukum agar Presiden mempertimbangkan penggunaan hak rehabilitasi.
Proses ini dibahas dalam rapat terbatas sebelum akhirnya Presiden Prabowo memutuskan untuk menandatangani pemulihan nama baik tiga mantan direksi ASDP: Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Hari Muhammad Adhi Caksono.
"Langkah ini menunjukkan sebuah pesan penting: negara tidak membiarkan pelayan publik dibiarkan sendirian ketika menghadapi proses hukum yang berpotensi keliru. Rehabilitasi dari Presiden bukanlah “kebaikan hati personal”, tetapi sebuah koreksi negara terhadap potensi ketidakadilan," kata Iwan.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya memberikan keterangan pers soal rehabilitasi kepada Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk di Kantor Presiden, Jakarta pada Selasa (25/11/2025) Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya memberikan keterangan pers soal rehabilitasi kepada Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk di Kantor Presiden, Jakarta pada Selasa (25/11/2025) Foto: Luthfi Humam/kumparan
Iwan menilai, keputusan rehabilitasi ini memberi dampak psikologis yang sangat signifikan bagi lingkup BUMN dan penyelenggara pelayanan publik. Dalam ekosistem layanan publik yang padat regulasi, ketakutan untuk mengambil keputusan sering kali lebih besar daripada keberanian untuk berinovasi.
"Ketika risiko kriminalisasi muncul meski seseorang bekerja sesuai prosedur, inovasi mandek dan pelayanan publik terhambat. Pada titik ini, rehabilitasi bukan hanya soal tiga nama, melainkan sinyal bahwa negara hadir untuk memberi keberanian kepada profesional yang bekerja jujur," tutur dia.
Iwan menilai, keputusan ini menegaskan penegakan hukum harus dijalankan secara adil, transparan, dan proporsional. Negara tidak boleh sekadar menjadi mesin penghukum, negara juga wajib menjadi penjaga martabat warganya.
"Ketika prosedur hukum berpotensi melukai orang yang bekerja sesuai aturan, negara memiliki kewajiban moral untuk membetulkannya," tambah dia.
Terdakwa kasus dugaan korupsi di PT ASDP Ira Puspadewi berjalan usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/11/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi di PT ASDP Ira Puspadewi berjalan usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/11/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Iwan mengatakan, berkaca dari kasus ASDP, pemerintah sedang membangun tata kelola baru dalam penanganan hukum terhadap pejabat publik. Negara menunjukkan profesionalisme dalam pelayanan publik dilindungi, bukan dikorbankan. Bahwa penegakan hukum bukan hanya tugas penguatan sanksi, tetapi juga pemulihan nama baik ketika keadilan substansial harus ditegakkan.
"Keputusan Presiden Prabowo hadir sebagai respons terhadap suara publik, tetapi bukan sekadar populisme. Keputusan ini lahir dari kajian, rapat terbatas, dan mekanisme konstitusional yang ditempuh oleh DPR dan pemerintah. Ini adalah praktik demokrasi yang matang: berbasis aspirasi rakyat, diproses oleh institusi negara, dan diputuskan oleh kepala negara," kata Iwan.
Dia berharap keputusan ini menjadi fondasi bagi iklim kepastian hukum yang lebih sehat bagi para pelayan publik. Karena negara yang kuat bukanlah negara yang banyak menghukum, tetapi negara yang berani memulihkan.

Latar Belakang Kasus

Ira Puspadewi dkk dituding terlibat kasus dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi kapal PT Jembatan Nusantara. KPK mendakwa perbuatan Ira dkk memperkaya orang lain dalam kasus tersebut dan perbuatan mereka disebut telah merugikan keuangan negara hingga Rp 1,27 triliun.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan ketiga terdakwa bersalah. Meski, Hakim pun menyatakan tidak ada keuntungan pribadi yang diterima ketiganya dari kasus tersebut.
Salah satu Hakim yakni Sunoto bahkan menyatakan perbedaan pendapat dengan menilai ketiga terdakwa seharusnya lepas.
Sunoto menyebut, perkara yang menjerat Ira dkk dinilai sebagai keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgment rule alih-alih perbuatan tindak pidana.
"Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan tidak terpenuhi secara meyakinkan," terang dia dalam pertimbangan dissenting opinion.
"Bahwa oleh karena itu, perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan tapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, karena keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgment rule dan unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi," ungkapnya.
Dengan pertimbangan itu, Hakim Sunoto menilai bahwa seharusnya Ira dkk harus divonis lepas.
"Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan tidak terpenuhi secara meyakinkan," ucap Sunoto.
"Maka berdasarkan Pasal 191 ayat 2 KUHAP, para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag," imbuh Sunoto.
Meski demikian dua hakim lain yakni Mardiantos dan Nur Sari Baktiana menyatakan Ira Puspadewi dkk bersalah melakukan korupsi. Lantaran mayoritas suara menyatakan bersalah, Ira dkk kemudian divonis pidana penjara.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.