TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Warga Semarang memperoleh fakta bahwa air hujan yang mengguyur kota mereka mengandung mikroplastik.
Fakta ini diperoleh mereka saat melakukan uji sampel dalam acara Invisible Threat if Mickroplastics yang diselenggarakan Greenpeace, Ecoton dan Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima) di Rumah Pohan, Kota Lama Semarang, Selasa (25/11/2025) petang.
"Iya tadi ada kawan komunitas yang membawa sampel air hujan selepas diuji ternyata mengandung mikroplastik," ujar Linggayani Soentoro, Jaringan Peduli Iklim dan Alam kepada Tribun.
Lingga dan beberapa teman komunitasnya tidak hanya menguji air hujan.
Mereka juga menguji beberapa sampel air yang dibawa dari rumah meliputi air hasil dimasak sendiri, air dari galon Reverse Osmosis (RO), es batu balok, air keran, air dari hasil pemurnian (water purifier).
Hasil dari uji mereka yang dibantu tim dari Ecoton menunjukkan bahwa hanya dua air yang tidak mengandung mikroplastik yakni air dimasak sendiri dan air permunian.
Sisanya, semua air mengandung mikroplastik.
"Jadi, kami deg-degan maka dari kegiatan hari ini semoga kami dan masyarakat bisa tercerahkan," jelasnya.
Warga Rejosari, Semarang Timur itu menyebut, mikroplastik juga bisa berdampak ke rahim perempuan.
Ia tidak menyangka, tempat teraman di rahim ibu saja sudah terpapar mikroplastik.
"Ya kita harus segera mawas diri dengan tidak menggunakan atau meminimalisir penggunaan mikroplastik," bebernya.
Hasil uji yang dilakukan warga Semarang tersebut selaras dengan hasil penelitian Ecoton dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), dalam riset itu menunjukkan Semarang menduduki posisi keempat sebagai kota dengan kontaminasi mikroplastik di udara paling tinggi pada Juni 2025.
Penelitian yang dilakukan di 18 kota/kabupaten di Indonesia ini menemukan hubungan erat antara cemaran mikroplastik di udara dengan kebiasaan membakar sampah yang membawa partikel mikroplastik naik ke udara dan, pada akhirnya, ikut mencemari air hujan.
Pendiri Ecoton Foundation Prigi Arisandi mengatakan, penelitian secara langsung juga dilakukan pihaknya di Semarang pada November ini.
Mereka mengumpulkan air hujan di Semarang sebanyak 1 liter. Hasil uji laboratorium menunjukkan sekitar 44 partikel mikroplas plastik , 32 jenis fiber, 12 jenis filamen.
"Uji sampel di daerah Mataram (Jalan MT Haryono Semarang Tengah) Kota Semarang," ujar Prigi kepada Tribun.
Tidak hanya Semarang, penelitian serupa dilakukan pula di daerah lain di Jawa Tengah seperti Boyolali dan Solo.
Dua daerah tersebut juga mendapatkan fakta serupa berupa air hujannya terpapar mikroplastik.
Untuk daerah solo, konsentrasi mikroplastik tertinggi ditemukan di Jalan Slamet Riyadi dengan 125 partikel/liter.
Kemudian di Boyolali ditemukan di daerah Jalan Tol Ngemplak Boyolali dengan hasil 78 partikel/liter.
Temuan ini didominasi oleh mikroplastik jenis fiber (serat) dan sebagian kecil film/filamen.
Pencemaran mikroplastik yang tinggi menjadi ancaman kesehatan. Pencemaran itu juga tingginya penggunaan plastik sekali pakai, baik secara lokal, nasional, maupun global.
Tak ayal juga di Kota Semarang. Merujuk data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), terdapat total 434.244 ton sampah di tahun 2024 di Semarang.
Sekitar 17,2 persen dari total sampah tersebut merupakan sampah plastik.
Persentase ini sedikit lebih rendah dibanding komposisi sampah plastik nasional sebesar 19,78 persen dari total sampah di tahun lalu.
Prigi mengamini, ada tiga penyebab tingginya mikroplastik di air hujan di Semarang, Solo dan Boyolali.
Pertama, Aktivitas pembakaran sampah terbuka, terutama plastik multilayer dan tekstil sintetis, yang melepaskan fiber ke atmosfer.
Kedua, abrasi ban kendaraan bermotor dan rem kendaraan.
Ketiga, banyak sampah plastik yang dibuang sembarangan kemudian tercecer di lingkungan, yang turut melepaskan mikroplastik ke udara dan terbawa oleh air hujan.
"Ini harus di berikan warning bagi masyarakat di Semarang dan sekitarnya, jangan bakar sampah, kemudian kurangi penggunaan sampah plastik," bebernya.
Greenpeace Indonesia bersama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengungkap, mikroplastik juga ditemukan di dalam urin, darah, hingga feses manusia.
Studi yang dilakukan pada Januari 2023-Desember 2024 ini menemukan mikroplastik pada 95 persen sampel dari 67 partisipan.
Jenis plastik PET (Polyethylene Terephthalate), yang biasa ditemukan di kemasan plastik sekali pakai seperti botol air minum dalam kemasan (AMDK), adalah jenis mikroplastik yang paling banyak mengontaminasi tubuh partisipan dengan total 204 partikel terdeteksi.
Tim Peneliti Mikropalstik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus Ahli Saraf FKUI dr. Pukovisa Prawirohardjo, SP.S(K)., Ph.D. menyebut, hasil studi kolaborasi yang tengah dilakukan peer review ini menemukan bahwa partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup diantaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” ujarnya.
Peneliti Greenpeace Indonesia, Afifa Rahmi Andini mendesak pemerintah untuk melakukan dua langkah berupa mitigasi dan adaptasi dalam menanggulangi bahaya mikroplastik.
Terkait mitigasi, pemerintah harus mempertegas penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Sejauh ini, kata Afifa, aturan itu kurang efektif. Sebab, peraturan yang efektif sejak tahun 2020 itu tidak dipatuhi oleh tiga perusahaan sasaran yakni manufaktur, retail dan horeca ( Hotel, Restaurant, dan Catering).
Target aturan ini, dari kebijakan itu ada dengan target pengurangan sampah sebesar 30 persen pada tahun 2029.
"Nah, sayangnya perusahaan yang submit terkait kebijakan itu masih di bawah angka 100 perusahaan . Jadi sisanya ini ke mana komitmennya?. Ketika kita masih menunggu implementasi aturan itu pada tahun 2030 dengan progres yang sangat lamban ini ya kita akan sangat-sangat keteteran," katanya.
Pemerintah ini juga harus menerapkan prinsip Polluter pays principle yakni produsen-produsen plastik yang mencemar harus bertanggung jawab terhadap beban lingkungan yang mereka timbulkan.
Beban itu jangan hanya dibebankan kepada masyarakat yang menanggung pencemaran.
"Sedangkan produsen hulunya ini sama sekali tidak dikenakan sanksi disinsentif apapun," ucap Afifa.
Ia menjelaskan, langkah yang harus dilakukan pemerintah berikutnya yakni mekanisme untuk beralih ke sistem guna ulang atau daur ulang.
Dalam sistem ini, pemerintah ini harus memberikan insentif kepada pihak yang memiliki inisiatif dengan memberikan solusi pengurangan sampah dari hulu dengan mendesain sistem pengemasan dan juga distribusinya.
"Itu yang harus diberikan insentif karena kan sebenarnya banyak solusi-solusi yang harus didorong atau diarusutamakan menjadi solusi utama guna ulang," katanya. (*)