Konflik Tesso Nilo Memanas, Warga dan Satwa Liar Berebut Ruang Hidup
Argia Melanie Pramesti November 27, 2025 03:34 PM

Grid.ID – Konflik di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, kembali ramai dibicarakan publik. Kawasan ini dikenal sebagai rumah gajah sumatera serta habitat hewan lainnya sekaligus tempat tinggal warga.

Masalah mulai mencuat setelah pemerintah melakukan penertiban terhadap kebun sawit ilegal di kawasan TN. Langkah ini dianggap penting untuk menyelamatkan hutan yang semakin menyempit dengan adanya ladang sawit dan rumah warga.

Namun di sisi lain, penertiban tersebut membuat sebagian warga khawatir akan nasib tempat tinggal mereka. Ada rencana relokasi yang disebut-sebut bisa berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari.

Dikutip dari Kompas.com, kawasan Tesso Nilo merupakan rumah bagi satwa langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan berbagai jenis Primata.

Mongabay mencatat, ada 1.107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil, dan tiga jenis primata. Kawasan tersebut juga menjadi tempat tumbuhnya sekitar 360 jenis flora.

Kemudian, ada 215 jenis tanaman pohon dan 305 jenis tanaman anak pohon. Seiring berjalannya waktu, tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 hektare atau sekitar 15,36 persen hutan alam dari total luas areanya.

Hal inilah yang memicu konflik antara manusia dan satwa yang juga sama-sama mencari ruang hidup. Gajah yang kehilangan hutan kadang masuk ke kebun dan merusak tanaman warga.

Pemerintah mengaku tidak ingin memindahkan warga secara paksa. Namun rencana relokasi tetap menjadi pembahasan serius di lapangan.

Masalah lain yang bikin heboh adalah temuan sertifikat hak milik (SHM) ilegal di kawasan taman nasional. Beberapa di antaranya bahkan sudah dicabut karena terbukti tidak sesuai aturan.

Warga yang merasa memiliki lahan sejak lama mengaku bingung dengan status legalitas yang berubah-ubah. Mereka berharap ada kejelasan sebelum ada tindakan lanjutan dari pemerintah.

Sementara itu, para pemerhati lingkungan menilai penertiban memang perlu dilakukan untuk menyelamatkan ekosistem Tesso Nilo. Hutan yang tersisa dianggap sangat penting sebagai habitat satwa langka.

Meski begitu, banyak pihak menyarankan agar pemerintah tetap melibatkan warga dalam mencari solusi. Pendekatan yang manusiawi disebut akan memperkecil potensi konflik di lapangan.

Kementerian Kehutanan memastikan bahwa semua aktivitas ilegal di kawasan taman nasional akan ditindak tegas. Restorasi hutan juga terus dilakukan secara bertahap.

Untuk mengamankan hasil penertiban dan mencegah munculnya kembali aktivitas ilegal, tambahan personel Polisi Kehutanan tersebut diperbantukan untuk memperkuat patroli rutin, menjaga titik-titik rawan perambahan, mengawasi pos jaga, portal, dan parit batas. Selain itu juga mengawal pelaksanaan pemulihan ekosistem yang menargetkan sekitar 8.000 hektare areal prioritas.

Penguatan ini menegaskan bahwa negara tidak mundur ketika fasilitasnya dirusak, tetapi justru memperkuat kehadirannya secara terukur untuk menjaga Tesso Nilo sebagai taman nasional, bukan kebun sawit.

Di media sosial, konflik Tesso Nilo juga mendapat respons beragam dari netizen. Banyak yang mendukung penyelamatan hutan, namun juga meminta pemerintah memperhatikan hak warga.

Situasi ini menyisakan pertanyaan: bagaimana menjaga keseimbangan antara pelestarian alam dan kehidupan masyarakat? Jawabannya masih terus dicari hingga hari ini.

Konflik Tesso Nilo menjadi pengingat bahwa hutan bukan hanya soal pohon dan satwa, tetapi juga tentang kehidupan manusia. Harapannya, semua pihak menemukan jalan tengah yang paling adil bagi semua.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.