TRIBUNSUMSEL.COM -- Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah salah satu risiko penyakit yang makin meningkat beberapa tahun terakhir.
IMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual vaginal, oral, atau anal, serta kontak kulit-ke-kulit.
IMS dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit, dan contohnya termasuk klamidia, gonore, sifilis, HIV, herpes, dan HPV.
Bila terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan memicu masuknya virus HIV/AIDS.
Jika tidak diobati, IMS dapat menyebabkan komplikasi kesehatan jangka panjang. Pintu masuk terjangkitnya HIV/Aids, mengalami kemandulan, masalah pada sistem saraf, bahkan kanker.
Data dari kementerian kesehatan Republik Indonesia menerangkan, dalam tiga tahun terakhir, risiko penyakit IMS meningkat, termasuk di kelompok usia muda.
Dikutip dari laman kemenkes.go.id, Kemenkes mencatat 23.347 kasus sifilis pada tahun 2024, mayoritas merupakan sifilis dini (19.904 kasus), dan 77 di antaranya adalah sifilis kongenital, yang menular dari ibu ke bayi.
Penyakit Gonore --salah satu kategori penyakit IMS --juga tercatat tinggi dengan 10.506 kasus, terutama di DKI Jakarta.
IMS bukan hanya masalah kesehatan pribadi, ini masalah kesehatan masyarakat. IMS membuka pintu bagi penularan HIV, dan kasus terbanyak terjadi di usia produktif 25-49 tahun, bahkan kini mulai meningkat pada usia remaja 15-19 tahun.
Sementara penyakit infeksi Human Papillomavirus (HPV) --salah satu IMS -- yang dapat memicu kanker serviks masih menjadi ancaman serius bagi perempuan, khususnya jika tidak terdeteksi sejak dini.
Dr. dr. Hanny Nilasari dari Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM menyoroti perlunya edukasi kesehatan reproduksi yang menyeluruh.
Menurutnya, IMS dan infeksi saluran reproduksi (ISR) sering kali tidak bergejala, terutama pada perempuan, sehingga kerap terlambat ditangani.
Jika tidak ditangani dengan tepat, IMS bisa menyebabkan komplikasi seperti radang panggul, kehamilan ektopik, bahkan infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan IMS juga berisiko mengalami kematian neonatal, berat lahir rendah, atau lahir prematur.
Pentingnya Skrining Rutin
Dr Hany menegaskan pentingnya skrining rutin dan perilaku seksual yang aman. “Tren kejadian IMS dari tahun ke tahun terus meningkat, dan usia penderita makin muda. Sudah banyak kasus IMS maupun kehamilan tidak diinginkan pada remaja, dan ini mendorong tingginya angka aborsi,” jelas dr. Hanny
Gejala IMS dapat berupa luka atau lenting di area kelamin, cairan abnormal dari vagina atau penis, gatal atau nyeri saat buang air kecil, pembengkakan kelenjar di lipat paha, dan ruam di kulit. Penularan dapat terjadi melalui hubungan seksual (oral, vaginal, anal), pertukaran cairan tubuh, hingga dari ibu ke anak saat kehamilan atau menyusui.
Kemenkes terus memperluas akses layanan untuk mencapai target eliminasi HIV dan IMS. Target utama adalah mencapai 95-95-95 pada 2030, yaitu 95 persen ODHIV mengetahui statusnya, 95?ri mereka menjalani pengobatan, dan 95?ri yang diobati mencapai supresi virus.
Selain itu, pemerintah juga menargetkan eliminasi sifilis dan gonore hingga 90 persen , serta mendorong triple elimination HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak.
Demikian Waspada Penyakit Sifilis, Gonore, HPV dan Penyakit IMS Lainnya, Pintu Masuk Virus HIV/Aids. (lis/berbagai sumber)
Baca juga: Data Terkini Penderita HIV/AIDS di Indonesia, Kemkes Targetkan Mengakhiri Epidemi AIDS pada 2030
Baca juga: Tema Peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2025 Bersama Hadapi Perubahan Jaga Keberlanjutan Layanan HIV
Baca juga: Puluhan Orang di Muara Enim Positif HIV, Wabup Dorong Perluasan Tes Gratis dan Sosialisasi
Baca juga: Selang 30 Cm Tertinggal di Tubuh, Kisah Mistono Diduga Korban Malapraktik di Batang, Divonis HIV