Pada liputan khusus berjudul “Hutan Sumatera Lenyap” disebutkan, hutan di tiga provinsi yang tersapu banjir hebat tersebut rata-rata hilang 36.306 hektare per tahun selama 1990-2024.
Berdasar data Global Forest Watch (GFW), sepanjang 2024 Kalsel kehilangan sekitar 2,2 ribu hektare hutan alam.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Goodstats menempatkan Kalsel di peringkat ke-8 nasional dengan akumulasi lahan sawit mencapai 478 ribu ha selama 2001–2024.
Dua angka ini bukan sekadar statistik. Keduanya adalah potret telanjang tentang arah kebijakan, tata kelola, dan keberpihakan pembangunan. Mengapa? Kehilangan hutan alam, meskipun “terlihat kecil” di atas kertas, menyimpan dampak berlapis.
Di Kalsel, yang saban tahun menghadapi siklus banjir dan kekeringan ekstrem, hilangnya hutan alam berarti memperbesar risiko bencana ekologis. Setiap hektare hutan yang lenyap menambah beban sungai, mempercepat limpasan air, dan memperlemah daya dukung lingkungan.
Kontrasnya, perluasan sawit berjalan nyaris tanpa jeda. Dengan akumulasi 478 ribu hektare, sawit telah menjadi lanskap dominan di banyak wilayah Kalsel.
Industri ini kerap dipromosikan sebagai lokomotif ekonomi daerah. Dikatakan sebagai penyerap tenaga kerja, penggerak investasi, dan penyumbang pendapatan.
Namun, pertanyaan mendasarnya jarang dijawab secara jujur. Siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang menanggung biayanya? Ketika keuntungan terakumulasi pada segelintir korporasi dan pemilik modal, biaya ekologis dan sosial justru ditanggung masyarakat. Seperti, petani kecil, nelayan sungai, dan warga desa yang hidup berdampingan dengan kerusakan lingkungan.
Persoalan krusial lain adalah tata kelola lahan. Alih fungsi hutan kerap terjadi di wilayah yang semestinya dilindungi atau setidaknya dikelola secara ketat.
Lemahnya pengawasan, tumpang tindih perizinan, serta penegakan hukum yang tebang pilih membuka ruang bagi praktik eksploitatif.
Pemerintah tak bisa terus berlindung di balik narasi “pembangunan” tanpa menimbang daya dukung lingkungan.
Ketika banjir semakin sering, kualitas air menurun, dan konflik lahan meningkat, maka biaya pemulihan akan jauh melampaui keuntungan jangka pendek.
Akhirnya, data baik dari GFW maupun BPS harus dibaca sebagai peringatan keras. Kalsel masih punya kesempatan membalik arah untuk melindungi hutan yang tersisa, menertibkan ekspansi lahan, dan menata pembangunan yang berkeadilan ekologis.
Tanpa koreksi serius, kita hanya akan mewariskan lanskap rusak, bencana berulang, dan penyesalan.(*)