Bejatnya Polisi Cabuli Anak Tiri yang Masih SD, Beraksi Saat Istri Pergi dari Rumah, Aipda SAT Mabuk
December 16, 2025 04:57 PM

TRIBUNJAMBI.COM – Dugaan kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur kembali mencoreng institusi penegak hukum. Seorang oknum polisi di Nusa Tenggara Timur (NTT) kini harus berhadapan dengan proses hukum setelah diduga mencabuli anak tirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Kasus ini kini berada dalam penanganan Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT.

Terduga pelaku diketahui merupakan anggota Polda NTT berpangkat Aipda berinisial SAT (45). Aksi bejat tersebut diduga dilakukan saat sang istri tidak berada di rumah dan pelaku dalam kondisi dipengaruhi minuman keras.

Korban berinisial LJT, seorang bocah perempuan berusia 12 tahun yang masih berstatus pelajar SD.

Peristiwa ini terungkap setelah ibu korban, MI (41), melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Alak, Kota Kupang, pada Sabtu (13/12/2025).

Kepala Bidang Humas Polda NTT, Komisaris Besar Polisi Hendry Novika Chandra, membenarkan adanya laporan tersebut dan memastikan kasusnya kini ditangani secara internal oleh Propam.

“Benar, laporan dugaan pencabulan ini sudah diterima dan saat ini penanganannya dilakukan oleh Bidang Propam Polda NTT,” ujar Hendry, Selasa (16/12/2025).

Baca juga: Dipaksa Buka Celana, Pak Guru Digerebek Bersama Pria Muda di Toilet Masjid: Ngapain Kalian Didalam

Baca juga: Nelangsa Ridwan Kamil Kini Dicerai Atalia Praratya, Benarkah Pengaruh Lisa Mariana?

Baca juga: Pita Tak Kaget Arya Daru Sudah 24 Kali Ngamar dengan Vara di Hotel, Pernah Dapat Foto Setahun Lalu

Beraksi Saat Istri Tak di Rumah

Berdasarkan keterangan awal, dugaan perbuatan cabul itu terjadi di rumah keluarga mereka yang berada di Kecamatan Alak, Kota Kupang.

Saat kejadian, ibu korban diketahui sedang berada di luar rumah. Pelaku diduga melakukan aksinya ketika berada di bawah pengaruh alkohol.

Korban sempat berusaha melawan sehingga aksi tersebut tidak berlanjut. Dalam kondisi ketakutan, korban kemudian mengunci diri di kamar dan menghubungi ibunya agar segera pulang.

Ketika MI tiba di rumah, ia mendapati suaminya masih mengonsumsi minuman keras. Saat itulah korban memberanikan diri menceritakan kejadian yang dialaminya.

Merasa terpukul dan tidak terima, MI langsung membawa anaknya ke Polsek Alak untuk melaporkan peristiwa tersebut.

“Karena terlapor merupakan anggota Polda NTT, maka penanganan perkara dialihkan ke Propam,” kata Hendry.

Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual Anak

Menanggapi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, psikolog sekaligus seksolog, Dr. Baby Jim Aditya, M.Psi., menyebut kasus-kasus yang terungkap ke publik sejatinya hanya sebagian kecil dari persoalan yang ada.

Menurutnya, fenomena ini ibarat puncak gunung es, karena masih banyak korban yang memilih diam dan tidak melapor.

“Korban sering kali takut, malu, merasa bersalah, atau khawatir akan dipermalukan. Akibatnya, mereka mengalami reviktimisasi,” ujar Baby dalam wawancara sebelumnya dengan Kompas.com.

Ia menilai salah satu penyebab utama terjadinya kekerasan seksual adalah lemahnya kontrol diri pelaku, meskipun setiap individu sejatinya mengetahui batasan antara benar dan salah.

Selain itu, relasi kuasa yang timpang dan budaya patriarki turut memperparah situasi.

“Relasi kuasa yang kuat, terutama dalam budaya patriarki, membuat suara perempuan dan anak sering diabaikan. Inilah yang membuat pelaku merasa aman mengulangi perbuatannya,” jelas Baby.

Faktor lain yang turut berkontribusi adalah lemahnya sanksi sosial dan moral terhadap pelaku.

“Pengawasan sosial kita belum memberi efek jera. Bahkan dalam beberapa kasus, pelaku tidak mendapatkan hukuman sosial yang setimpal,” katanya.

Dampak Psikologis Jangka Panjang bagi Korban

Baby menegaskan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap anak tidak berhenti pada masa kanak-kanak, tetapi dapat terbawa hingga dewasa.

Trauma yang dialami korban bisa memengaruhi kepercayaan diri, hubungan sosial, hingga pandangan terhadap pernikahan dan relasi interpersonal.

“Bukan hanya soal seksualitas, tapi juga soal kepercayaan kepada orang lain, terutama figur otoritas. Ada korban yang menjadi sangat curiga, takut disentuh, bahkan mengalami gangguan dalam membangun hubungan,” ungkapnya.

Karena itu, ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas, pendampingan psikologis bagi korban, serta edukasi seksual sejak dini.

Anak-anak, kata Baby, perlu diajarkan bahwa mereka memiliki hak penuh atas tubuhnya, mengetahui batasan sentuhan, serta berani melapor jika mengalami tindakan yang tidak pantas.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.