TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Nagara Institute dan Akbar Faizal Uncensored (AFU) kembali menyelenggarakan Round Table Discussion (RTD) dengan topik yang masih sama, terkait Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Ruang Ballroom Hotel Sahid Raya & Convention Yogyakarta menjadi saksi lahirnya sejumlah pemikiran-pemikiran kritis para peneliti dan pemikir negeri yang mengemukakan hasil riset mengenai kebijakan yang diambil pemerintah.
Setelah sukses di Surabaya pada 2 Desember 2025 lalu, RTD Jilid II hadir di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengangkat tema ‘Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara’.
RTD Nagara Institute-AFU di Kota Pelajar ini merupakan kelanjutan dari rangkaian diskusi publik nasional yang rencananya menyambangi sepuluh kota besar.
Forum ini sangat urgen, mengingat BPI Danantara menjadi sebuah identitas baru ekosistem Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lahir dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, kini menjadi entitas super holding raksasa.
Entitas tersebut mengelola tujuh BUMN induk/strategis dengan anak perusahaan yang mencapai 844 entitas, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maupun Perusahaan Umum (Perum).
Total nilai aset yang BPI Danantara kelola mencapai USD900 miliar, perkiraan angkanya pun akan terus meningkat seiring bertambahnya aset di bawah naungannya.
Sebagai entitas yang mengelola kekayaan publik dengan skala yang sangat masif, BPI Danantara wajib bertanggung jawab kepada publik atas semua kebijakan dan tindakannya.
Pengelolaan, kelembagaan, hingga pengawasan dan pertanggungjawaban menjadi isu sentral yang tak hanya menyoroti besaran dana modal sebesar seribu triliun rupiah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3G Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2025 Tentang BUMN, tetapi juga tata kelolanya.
“Kita akui saja bahwa BUMN menjadi entitas politik,” kata Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal.
Dia menegaskan bahwa RTD ini adalah upaya untuk mengambil peran memediasi pemikiran publik tentang apakah kehadiran BPI Danantara merupakan jalan keluar atau justru tetap sebuah problem.
“Pemerintahan yang silih berganti sebagai konsekuensi dari rotasi kekuasaan, sejatinya juga menawarkan cara pandang baru berikut harapan baru. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, sebuah keputusan politik lahir bernama Danantara, identitas baru ekosistem BUMN. Danantara diharapkan menjadi jalan keluar, bukan sebaliknya,” ungkap Akbar Faizal.
Dia menyatakan bahwa Nagara Institute melakukan kajian mendalam untuk forum ini dengan para pemikir, pembuat kebijakan, dan kritikus kebijakan.
Seluruh proses pendiskusian akan tayang secara eksklusif melalui kana YouTube politik @AkbarFaizalUncensored untuk memastikan jangkauan dan transparansi.
“Sebuah buku akan dibuat dari diskusi ini dan akan kami serahkan kepada Presiden dan pihak Danantara Indonesia sebagai tawaran ide dan gagasan,” tutur Akbar Faizal. (hda)