TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Awan hitam yang perlahan datang dari hulu aliran Sungai Batu Busuk, mempercepat langkah Marnis menuju posko pengungsian di Mushola Al Barkah Rimbo Panjang, Batu Busuk, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Selasa (16/12/2025).
Sekitar pukul 16.03 WIB, ibu lima anak itu sudah mengangsur langkahnya ke posko pengungsian, sambil menjinjing tas kain berwarna merah.
Langkahnya pelan dan perlahan, menapaki pendakian bersudut 30 derajat.
Tanjakan sepanjang 700 meter itu, sudah rutin ia lewati selama enam hari terakhir, sejak banjir bandang makin menjadi-jadi di Batu Busuk.
Baca juga: Rumah Hasil Tani Alizar Hilang Disapu Galodo Padang, Hanya Bisa Tertawa Meski Sesak Menahan Air Mata
“Biasanya jam 17.00 WIB, saya baru ke posko pengungsian. Tapi karena sudah mendung mau turun hujan, saya lebih cepat saja,” ujarnya.
Perempuan berusia 70 tahun itu, pergi ke posko pengungsian untuk tidur, akibat rasa cemas banjir bandang dan tanah longsor yang masih mengancam.
Bencana ini sudah hampir dua pekan silih berganti menghantam kawasan Batu Busuk, dari hanya menggerus dinding sungai sampai menghanyutkan rumah.
Kejadian berulang ini membuat Marnis takut untuk menghuni rumahnya saat malam hari, terlebih kondisinya yang sudah tua.
Baca juga: Rumah Hancur Dekat Sungai, Leni Siap Ikuti Relokasi Banjir Bandang Pemko Padang
Terlebih anggota Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah menyarankannya untuk mengungsi, sejak hari pertama bencana.
“Saya takut merepotkan, kalau nanti air naik atau terjadi tanah longsor. Nanti anak saya dan warga kesulitan pula. Mending saya ke pengungsian,” ujarnya.
Sebenarnya Upik (sapaan akrabnya) sudah mengungsi sejak banjir bandang pertama melanda daerah tersebut, pada Selasa (25/11/2025) di posko pengungsian SMPN 44 Kota Padang.
Kecemasannya akan tragedi longsor 14 tahun silam masih membekas erat.
Longsor yang saat itu menimbun habis rumahnya, rumah yang saat ini kembali ia tempati setelah dibangun ulang.
“Sebenarnya satu pekan sebelum banjir bandang pertama, saya sudah kurang tidur, cemas longsor dan air naik. Bahkan kadang menumpang di rumah tetangga yang lebih aman,” ujarnya, yang tinggal bersama dua anak laki-lakinya.
Baca juga: Kisah Duka dari SDN 33 Koto Alam, Sembilan Bangku Kosong Selamanya
Di posko pertama itu, Upik pergi dengan kendaraan roda dua, diantar anaknya atau menumpang dengan orang lain yang sedang melintas.
Kebetulan anak Upik setiap harinya tidur di rumah itu, jika tidak terjadi hujan.
“Kalau anak-anak masih muda, mereka bisa menyelamatkan diri. Tapi kalau hujan sudah turun saya larang,” ujarnya yang mengaku sudah memerintahkan anaknya untuk tidur di pengungsian mala mini.
Namun, akibat banjir bandang susulan yang makin parah membuat posko pengungsian itu dialihkan ke tempat sekarang.
Baca juga: Lampu Kepala Jadi Penunjuk Jalan, Idris Tembus Lumpur Sedada Tanpa Alas Kaki Demi Anak Istri
Alhasil, Upik harus menempuh jalan sekitar 10 menit setiap harinya ke atas, dan 10 menit ke bawah.
Syukur-syukur ada kendaraan lewat, ia bisa menumpang.
Namun sejak lima hari terakhir sudah tidak ada kendaraan melintas akibat akses jalan putus, akibatnya langkah Upik makin panjang.
Jalan itu putus akibat dihantam banjir bandang, aliran sungai sejak banjir bandang pertama makin tidak karuan hingga menghanyutkan badan jalan.
Baca juga: Kisah Revi Selamat dari Banjir Bandang di Agam, Terjepit Lemari Saat Menyelamatkan Cucu
“Ganti-ganti olahraga saja, setidaknya kaki kembali kuat,” ujarnya yang sehari-hari berladang dan mencari kayu bakar, sebelum banjir bandang melanda.
Upik mengaku, setiap pagi ia akan mengangsur jalan ke rumah, soalnya ia harus memasak untuk dirinya dan anak-anak.
Ia memilih memasak karena nasi di Posko Pengungsian baru datang pada siang hari, sedangkan ia sudah terbiasa sarapan makan nasi.
Kalau di rumah upik memasak nasi, lauknya terkadang mie, terkadang cabai merah giling dicampur minyak panas dan telur ayam.
Baca juga: Perjuangan Idris Menjemput Istri dan Dua Anaknya yang Bertahan 3 Jam di Tengah Banjir Bandang Agam
“Kalau siang masih aman, air naik atau segala macamnya saya masih bisa lihat jadi bisa antisipasi. Malam yang agak susah,” ujarnya.
Upik baru kembali ke pengungsian pada sore hari, untuk pergi kesana biasanya ia membawa kain sarung, mukena, jaket dan kain selimut, semuanya ia masukan dalam tas kain.
Kalau malam Upik tidak terlalu bingung di pengungsian masalah perut, soalnya selalu ada makanan yang diantarkan dari dapur umum.
Dalam pendakian panjang itu, air muka Upik terlihat datar, helaan nafasnya masih teratur.
Ia melangkah dengan gontai, sesekali kepalanya menoleh ke kanan melihat aliran Sungai dan hamparan rumah yang sudah rata dengan tanah.
Upik berharap cuaca serupa ini bisa segera berakhir, ia ingin kembali menjalankan aktivitas hariannya, ke ladang dan mencari kayu.
Baca juga: Dua Rumahnya Lenyap Diterjang Galodo di Agam, Yusrizal: Tak Ada Tersisa, tapi Kami Masih Selamat
“Kalau saya berharapnya, cepat normal. Sudah capek pula seperti ini terus hampir satu bulan,” ujarnya.
Belum selesai Upik menapaki pendakian itu, hujan sudah turun di Batu Busuk, alat berat langsung menepi, tim gabungan bergegas pergi dan para warga kembali berjalan keluar mengambil motornya yang di parkir di sekitar jembatan. (TribunPadang.com/Panji Rahmat)